• Berita
  • RESENSI BUKU: Leila Khalid, Sosok Perempuan Pejuang Revolusi Palestina

RESENSI BUKU: Leila Khalid, Sosok Perempuan Pejuang Revolusi Palestina

Leila Khaled menjadi ikon perlawanan perempuan Palestina terhadap Israel. Wajahnya dilukiskan di dinding-dinding kota penjuru dunia.

Buku Leila Khaled, Kisah Pejuang Perempuan Palestina oleh Sarah Irving (Penerbit Marjin Kiri, 2023). (Foto: Yopi Muharam/BandungBergerak)

Penulis Yopi Muharam22 Desember 2024


BandungBergerak.id - Membaca konflik Palestina acap kali dibenturkan dengan agama. Padahal, membaca konflik di tanah para nabi ini tidak cukup dilihat dari satu kacamata saja. Konflik ini sebetulnya jauh dari itu, sangat kompleks, dan terkait erat dengan perjuangan rakyat Palestina untuk membebaskan tanahnya dari penjajahan Israel.

Peperangan yang mulanya terjadi puluhan tahun silam, kini telah berubah menjadi genosida yang mencekam. Kendati demikian, rakyat Palestina masih berjuang untuk mempertahankan ruang hidupnya dari penjajahan dan upaya apartheid yang dilakukan rezim Zionis Israel.

Perjuangan tersebut tak lepas dari berbagai sosok revolusi. Tahun 1948 menjadi awal mula titik konflik di Palestina yang segera menggelinding seperti bola salju. Di tahun itu, Israel telah resmi berdiri sebagai negara. Tiga tahun sebelumnya, lahir pula seorang anak perempuan yang nantinya akan mempengaruhi perjuangan rakyat Palestina dari penjajahan. Dia adalah Leila Khaled.

Kisah Leila ini dibukukan oleh penulis asal Kanada, Sarah Irving berjudul Leila Khaled, Kisah Pejuang Perempuan Palestina. Buku ini tidak hanya sekadar otobiografi. Sarah mencoba mengulik sisi sejarah yang tak banyak diketahui orang. Tulisannya ini diperkuat dengan ratusan referesnsi dan wawancara secara langsung dengan Leila pada tahun 2008, hingga bertukar pesan melalui mailing hingga tahun 2011.

Leila lahir pada 9 April 1944 di Kota Pelabuhan Haifa, Palestina. Ayahnya, Ali Khaled, mempunyai kedai, bisnis yang dirintis selama 20 tahun. Sedangkan ibunya adalah ibu rumah tangga. Leila adalah anak keenam dari 12 bersaudara. Adiknya yang bungsu, lahir ketika Leila dan sekeluarga mengungsi ke Tirus, Lebanon, saat perang pecah di kotanya.

Haifa merupakan kota yang menjadi awal mula negara Israel berdiri. Kota ini sering dipamerkan oleh Israel sebagai kota multi-etnik, sebuah konsep yang memperlihatkan ikon kebersamaan bangsa Arab dan Yahudi bisa hidup berdampingan. Akan tetapi, ikon yang dipamerkan ke dunia merupakan muslihat belaka. Banyak teror yang dialami rakyat Palestina oleh masyarakat imigran Yahudi yang datang ke sana.

Pada tahun 1946, permusuhan di Haifa mulai kental. Palmach, organisasi bawah tanah Yahudi menyerang langsiran kereta di Haifa. Penyerangan itu membuat anggota Palmach dikurung oleh otoritas mandat Britania, 3.000 aktivis Zionis ditahan. Pada akhir 1947, Irgun -pasukan bersenjata Zionis- kembali melakukan penyerangan ke kampung-kampung Arab di sekitaran kota Haifa. Hal tersebut dibalas pula oleh pasukan Palestina dengan menyerang permukiman Yahudi.

Perang semakin tak terkendali. Pada 13 April 1948 keluarga Leila mengungsi. Perang tersebut juga diperparah saat pasukan Inggris menarik diri dari ke arah pelabuhan. Kota Haifa segera diambil alih oleh pasukan Haganah –pasukan militer yang jadi cikal bakal tentara Israel.

Setelah merebut kota kelahiran Leila, Israel semakin leluasa menggencarkan serangan terhadap rakyat Palestina. Kendati demikian, dalam berbagai otobiografinya Leila menyebut masa kecilnya bahagia. Orang tuanya memberi Leila kebebasan berpikir.

Masa Kecil Sang Tokoh Revolusi

Di masa kecil Leila bersahabat dengan gadis kecil Yahudi bernama Tamara. Akan tetapi, pada tahun 1947, persahabatan mereka harus sirna karena PBB memutuskan membagi wilayah Palestina dan Israel.

“Tamara diberi 56 persen dari tanah airku, sementara aku diharapkan untuk menerima keputusan itu dan memberi selamat pada kaum Tamara,” ujar Leila. Akibat pemisahan tersebut, keluarga Leila segera meninggalkan tempat pengungsian di Haifa.

Masa kecil Leila tak seindah kehidupan anak-anak pada umumya. Leila sering berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya demi menghindari konflik bersenjata yang dapat membahayakan keluarganya.

Leila kecil dikenal sebagai gadis tomboy. Selama di sekolah anak-anak (TK) dia kerap kali memberontak. Ia merasa pelajaran bermain di masa TK monoton. Dia akhirnya dipindahkan ke sekola Gereja Evangelis, sebuah sekolah darurat yang didirikan di bawah tenda pengungsian. Leila dinilai cerdas dalam pelajaran bahasa Arab dan matematika.

Konflik yang tak berkesudahan membuat Leila kecil mulai terbiasa dengan tabiat politik di negaranya. Keenam saudaranya, baik perempuan dan laki-laki terlibat dalam Gerakan Nasionalis Arab (ANM), organisasi yang didirikan oleh George Habash dan Wadia Haddad ketika berkuliah di American University of Beirut (AUB).

Kaka sulungnya sangat aktif berpolitik di kampus AUB yang membawanya bergabung ke ANM. Doktrin ANM mengharuskan anggota keluarga terlebih dahulu direkrut. Maka, kaka sulung Leila berhasil meyakinkan ideologi politik kepada kaka-kakak Leila yang lainnya.

Saat itu, Leila masih berumur 8 tahun. Sedangkan sang kakak sulungnya berusia 17 tahun. Di usinya yang kehitung belia, Leila sering dihadapkan perdebatan kakak sulung dengan ayahnya mengenai politik. Perlahan, Leila kecil mulai paham mengenai alasan kenapa dia harus dipindahkan ke tenda pengusian yang disesakki banyak orang Palestina.

Leila sadar, sejak kecil ia dan anak-anak sekolah yang jadi pengungsi sudah menyadari 3 hari yang sangat penting atas nasib rakyat Palestina. Tanggal 12 Mei diperingati hari Nakba – bencana pendirian negara Israel. Tanggal 2 November adalah deklarasi Balfour, bangsa Yahudi resmi berdiri. Dan tanggal 29 November adalah resolusi yang membagi wilayah Palestina-Israel oleh PBB.

“Aku tidak melebih-lebihkan, tapi semua anak tahu bahwa pada tanggal-tanggal ini kami akan pergi berdemo,” ujarnya.

Leila sudah ikut berdemonstrasi sejak umur 10 tahun. Saat Leila beranjak remaja, dia diberi tugas yang tak kalah berbahaya dengan pejuang yang bertempur di garis depan medan pertempuran.

Banyak anak seusianya ditugaskan membawa perbekalan untuk pejuang di garis depan. Dia membawa perbekalan dengan cara disunggi di atas kepala. Selain itu, dia juga handal dalam membuat makanan. Pernah sekali waktu dia membuat makanan dari 10 kilogram tepung yang ada di rumahnya untuk membuat roti goreng.

Di tengah peperangan yang berkecamuk, dia berlari perlahan ke garis depan pertempuran. Makanannya cukup untuk perbekalan satu resimen. Bukannya gentar atau takut, dia mengaku malah terkesima dengan peluru yang melesat di atas kepala.

Ketika peluru-peluru itu melesat tanpa arah, di sempat berteriak untuk menghentikan tembakan di kedua belah pihak yang bertikai. Keberaniannya membawa Leila saat dewasa nanti menenteng senjata untuk melawan penjajah. Dia dikenal sebagai wanita pemberani sehingga mendapatkan tiket untuk bergabung dengan ANM sebagai anggota resmi begitu perang berakhir.

Baca Juga: RESENSI BUKU: Entrok Karya Okky Madasari, Manifesto Feminis dalam Novel
RESENSI BUKU: Pergolakan Batin Pelacur dan Stigma Berkepanjangan
RESENSI BUKU: Mengenal Jurnaslime Sastrawi dan Mengapa itu Penting

Sang Pejuang

Pada 5 Juni 1967 perang pecah di semenanjung Sinai dan Jalur Gaza dari serangan Mesir, Tepi Barat dan Yerusalem Timur dari serangan Yordania, serta Dataran Tinggi Golan dari serangan Suriah. Namun pasukan perang Arab tersebut kalah telak oleh Israel dalam perang yang dikenal perang enam hari.

Atas kekalahan tersebut, Leila bersikukuh ingin dilatih perang oleh Front Rakyat untuk Pembebasan Palestina (PLFP). Namun pimpinan di organisasi itu meminta Leila untuk bersabar.

Untuk dapat mengikuti pelatihan militer, Leila diberi syarat agar merekrut 10 anggota masuk ke PLFP. Akan tetapi dia justru merekrut lebih dari yang ditugaskan, 20 calon anggota dalam tempo 10 bulan, termasuk dua adiknya! Atas kegigihan itu, dia diperbolehkan untuk ikut serta latihan perang di kamp sebelah utara kota Amman, Yordania. Akhirnya hal yang diidam-idamkan Leila tercapai.

Di sana dia dilatih teknik merakit senjata dan granat. Leila juga diberi pelatihan taktik militer dan bela diri dengan tangan kosong. Leila menikmati setiap  pelatihan yang diajarkan kepadanya. “Bahkan saking bahagianya, tiga hari tiga malam aku tak bisa tidur,” terang Leila.

Pelatihan itu tidak hanya diikuti anggota yang bergabung dengan PFLP, tetapi faksi-faksi lain juga melakukan pelatihan militer bersama. Makanya, kamp-kamp pelatihan militer itu sering diburu oleh pesawat Israel. Lokasi pelatihan pun harus berganti-ganti.

Hasil dari pelatihan Leila berbuah manis. Setelah pelatihan militer, dia dipilih mengikuti pelatihan khusus hingga akhirnya menerima panggilan operasi bersama petinggi PFLP, Wadia Haddad. Suatu hari dia menemui Wadia di Beirut, Lebanon untuk membicarakan suatu operasi.

Sesampainya di Beirut dan menemui Wadia, dia ditanya, “Apa kau siap untuk dipenjara, disiksa, dan tidak menyerah. Apakah kau siap mati?”. Leila mengiyakan pertanyaan itu. Dia pun diperintahkan untuk mengucap salam perpisahan kepada keluarganya yang mengungsi di Kuwait.

Memasuki tahun 1969, misi pertama Leila adalah membajak pesawat. Memang taktik ini identik dengan gerakan perlawanan Palestina yang disebut oleh media barat. Palestina bukan yang pertama kali melakukan perlawanan dalam membajak pesawat, Peru telah memakai teknik ini untuk pertama kalinya pada 1931.

Di Palestina pembajakan pertama dilakukan oleh Wadia Hadda pada 1968. Pesawat yang dibajak merupakan pesawat jet komersial bernomor TWA 840 milik Israel dan menyuruh pesawat tersebut diarahkan ke Aljazair dan menukar sandera tersebut dengan sandera Palestina yang mendekam di penjara-penjara Israel.

Dari Beirut, Leila ditugaskan untuk bertemu milisi PFLP lainnya di Roma. Kawan Leila kelak yang akan membajak bersamanya bernama Salim Issawi, pria kelahiran Haifa tapi besar di Suriah. Mereka berdua memesan tiket dekat dengan kokpit. Di sanalah mereka mulai melancarkan misinya untuk membajak pertama kalinya.

Selama pembajakan Leila tidak ditugaskan untuk membunuh para penumpang, pramugari/ra atau bahkan pilot. Karena menurut Leila itu tidak ada kaitannya dengan konflik. Tujuan dari pembajakan tersebut sama seperti dulu, yaitu mengabarkan kepada dunia tentang kondisi Palestina.

Pembajakan tersebut terbilang berjalan mulus atau bahkan sukses. Saat pesawat mendarat di Damaskus, Salim menyimpan peledak di kokpit TWA. Kokpit itu hancur dan menyisakan badan pesawat saja.

Akibat dari aksi ini, Leila banyak mendapat sorotan dunia. Saat itu Leila dikenal sebagai seorang perempuan pejuang Palestina yang dinilai sangat berani. Seluruh dunia tertuju padanya.

Satu tahun berikutnya, dia kembali melakukan aksi yang sama membajak pesawat. Akan tetapi untuk yang kedua kalinya ini, misinya terbilang tidak mulus seperti pembajakan yang pertama. Pada awal September 1970, Leila terbang dari Lebanon ke Eropa. Di sana Leila bertemu dengan Patrick, calon pendampingnya di pembajakan ini.

Namun mereka sudah dicurigai sejak pertama kali memasuki pesawat. Wajah Leila yang saat pembajakan pertama telah disebar di seluruh dunia, membuat salah satu penumpang dari angkatan laut AS mengenalinya. Padahal sebelumnya Leila sudah beberapa kali melakukan operasi plastik untuk menyembunyikan wajah aslinya.

Kali ini, Leila tidak duduk di dekat kokpit pesawat. Melainkan jauh di belakang. Saat dia melancarkan aksinya, nahas, pintu kokpit dikunci dari dalam. Kokpit yang merupakan mantan tentara langsung melancarkan tembakan ke arahnya. Namun Patrick melindungi Leila dengan tubuhnya, sehingga tubuhnya itu tertembak. Meskipun begitu, mantan tentara itu juga tertembak pada kakinya.

Dari keadaan yang genting itu, pilot menukikan pesawatnya yang membuat mereka oleng. Di saat itulah Patrick tertangkap oleh dua penumpang lainnya lalu memukulinya. Beberapa tulang rusuk Patrick patah. Patrick meregang nyawa. Leila merasa terpukul atas kejadian tersebut.

Sebetulnya banyak sekali perjuangan Leila dalam melakukan perlawanan terhadap penjajah Israel. Saking terkenalnya perlawanan Leila, wajahnya itu distensil di tiap tembok-tembok di setiap sudut kota di Palestina. Dia menjadi salah satu ikon perlawanan perempuan yang banyak diidolakan. Kini Leila berumur lebih dari setengah abad. Namun perlawanannya itu masih terkenang sebagai perempuan yang mengangkat senjata untuk berperang.

Informasi Buku

Judul buku: Leila Khaled, Kisah Pejuang Perempuan Palestina

Penulis: Sarah Irving

Penerbit: Marjin Kiri

Cetakan: Edisi kedua, 2023

Jumlah halaman: 198 halaman

ISBN: 978-979-1260-51-0.

*Kawan-kawan yang baik bisa membaca artikel-artikel lain dari Yopi Muharam, atau tulisan-tulisan menarik lain tentang Resensi Buku

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//