• Opini
  • SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: Bahaya Self-diagnosis, Overthinking Akibat Informasi tidak Akurat

SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: Bahaya Self-diagnosis, Overthinking Akibat Informasi tidak Akurat

Untuk menghindari dampak buruk dari self-diagnosis, kita bisa mengurangi mencari terlalu banyak informasi medis di internet atau media sosial.

Loveline Destin Hwang

Mahasiswa Teknik Industri Universitas Katolik Parahyangan (Unpar)

Ilustrasi. Aktivitas manusia dengan gawainya di era teknologi digital. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)

27 Desember 2024


BandungBergerak.id - Pernahkah kalian merasa tidak enak badan kemudian mencari informasi di sosial media atau internet? Bukannya menyelesaikan permasalahan, hal tersebut malah menambah stres berujung overthinking. Informasi-informasi yang tersedia dapat ditulis oleh siapa saja bahkan orang yang tidak berpengalaman di bidang medis. Bahkan beberapa informasi yang tersedia tidak sepenuhnya akurat. Namun ada saja orang yang mempercayainya dan berakhir mensugesti diri bahwa mereka terkena penyakit tersebut. Dalam istilah medis, kondisi ini dinamakan hipokondria. 

Hipokondria atau gangguan kecemasan kesehatan merupakan kecemasan dan perhatian yang berlebihan atau dibesar-besarkan pada penyakit tertentu yang sebenarnya tidak dialami (Octamelia et al., 2022). Walaupun tidak ada gejala yang jelas atau tidak ditemukan penyakit apa pun setelah pemeriksaan, penderitanya tetap mempercayai bahwa dia terkena suatu penyakit. Kebanyakan orang yang terkena hipokondria menjadi sering mencari informasi medis lebih dari yang dibutuhkan. Ini merupakan salah satu dampak dari self-diagnosis. 

Mendiagnosa Diri Sendiri Tanpa Bantuan Medis 

Setiap harinya, orang akan selalu membuka media sosial, baik untuk mencari hiburan ataupun berita-berita terkini. Dari sekian banyak video yang muncul, akan ada video-video medis yang menyajikan nama penyakit beserta gejalanya. Biasanya konten yang disajikan merupakan penyakit yang mengancam kehidupan seperti kanker, gagal ginjal ataupun kista. 

Mungkin pada awalnya rasa penasaran muncul saat melihat video tersebut, namun lama kelamaan beberapa orang merasa cocok dengan gejala yang disebut kemudian lanjut mencari informasi. Padahal gejala tiap orang dapat berbeda-beda dan belum tentu juga mereka menderita penyakit yang disebutkan. Namun karena terlanjur percaya dan ketakutan mereka menjadi overthinking dan merasa bahwa mereka menderita penyakit tanpa berkonsultasi terlebih dahulu dengan tenaga medis. 

Diagnosis ini bukanlah hal yang bisa kita lakukan sembarang berdasarkan informasi yang tidak akurat dan belum terbukti kebenarannya, namun harus ada pengarahan dan keputusan dari dokter. Proses diagnosa memerlukan evaluasi yang mendalam. Perlu juga dilakukan tes-tes terkait, bukan hanya dengan melihat gejalanya saja. Bahkan gejala yang kita kira alami, belum tentu benar adanya, bisa jadi itu hanya bayangan kita saja. Tentu saja tidak semua edukasi di media sosial salah. Terdapat beberapa informasi yang diberikan oleh dokter, sehingga akan lebih baik jika kita bijak dalam memilih informasi yang masuk. 

Self-Diagnosis dapat Berujung Fatal bagi Kesehatan

Masalah utama dan serius dari self-diagnosis adalah kecenderungan untuk mencari obat obatan tanpa resep dokter. Setelah mereka merasa menderita suatu penyakit, mereka langsung mencari obat apa yang baik dikonsumsi, padahal obat-obatan tidak boleh asal digunakan karena terdiri dari bahan kimia dan memiliki efek samping. Obat-obatan harus sesuai resep dokter dan memperhatikan kondisi dari tubuh pasien, apalagi bila yang diminum adalah obat keras.

Konsumsi obat tanpa resep yang tepat dapat menimbulkan beberapa efek samping yang serius seperti resistensi antibiotik, kerusakan hati, mual bahkan overdosis (Rosalya dalam Trikirik et al., 2021). Resistensi antibiotik merujuk pada keadaan mikroorganisme atau virus di dalam tubuh menjadi tahan terhadap efek obat-obatan sehingga saat kita menderita suatu penyakit, obat-obatan yang dikonsumsi akan menjadi tidak efektif. Bila kita salah mendiagnosa diri dan salah mengkonsumsi obat akibatnya adalah bakteri dalam tubuh mengembangkan resistensi terhadap antibiotik. Hal ini bisa menyebabkan kematian.

Selain berdampak negatif ke tubuh, finansial atau keuangan kita juga dapat terganggu. Obat-obatan yang dijual kebanyakan memiliki harga yang mahal. Apalagi bila kita melakukan pengecekan di rumah sakit seperti USG, rontgen, atau CT Scan yang memiliki tarif mahal. Jutaan dapat terbuang sia-sia hanya karena kecemasan yang tidak pasti. 

Baca Juga: SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: Kesenjangan Digital sebagai Wajah Baru Ketidakadilan Sosial di Indonesia
SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: Begini Rasanya Hidup di Negara yang Serius untuk tidak Serius
SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: Patronase Politik Mantan Presiden Mengikis Demokrasi di Indonesia

Sugesti Diri Penyebab Peningkatan Stres

Saat kita merasa cemas, kelenjar adrenal memproduksi hormon adrenalin dan kortisol secara berlebihan. Jika hal ini terjadi secara terus menerus, akan berdampak negatif terhadap tubuh dan kita dapat terkena penyakit. Salah satunya adalah penyakit diabetes. Diabetes kerap disebut sebagai penyakit kronis yang menjadi silent killer, karena penderitanya sering tidak sadar akan penyakit ini dan baru mengetahuinya ketika muncul gejala atau komplikasi. Saat hormon adrenalin meningkat, pelepasan glukosa dari asam amino atau lemak dalam tubuh juga meningkat dan membuat gula darah melonjak naik (Farida et al., 2023). 

Penyakit lainnya yang juga tidak kalah berbahaya adalah hipertensi atau yang dikenal dengan nama tekanan darah tinggi. Hipertensi adalah kondisi tekanan darah yang melebihi 140/90 mmHg. Hipertensi yang tidak terkontrol dapat menyebabkan berbagai macam penyakit hingga kematian. Stres mengakibatkan tekanan darah tinggi karena menstimulasi sistem saraf dalam meningkatkan hormon yang menyempitkan pembuluh darah (Hidayati et al., 2022). 

Kecemasan juga menyebabkan lambung menjadi sensitif sehingga menimbulkan rasa tidak nyaman. Asam lambung juga dapat diproduksi secara berlebih oleh tubuh. Asam lambung bertugas membunuh kuman yang masuk ke tubuh bersama makanan. Namun, bila diproduksi secara berlebihan pencernaan kita dapat terganggu (Suminah dan Ciputri 2023). 

Mengatasi Dampak Negatif Self-Diagnosis 

Untuk menghindari dampak buruk dari self-diagnosis kita dapat melakukan beberapa cara. Kita bisa mengurangi mencari terlalu banyak informasi medis di internet. Lebih baik mencari tips kesehatan daripada membandingkan tubuh dengan gejala-gejala penyakit. Bila terdapat gejala atau sakit di bagian tubuh, dapat segera diperiksa ke dokter. 

Kita juga dapat meningkatkan pemahaman tentang bahaya self-diagnosis ke masyarakat. Edukasi ini bisa melalui seminar atau media sosial. Semakin banyak informasi yang diketahui, semakin kecil kemungkinan orang melakukan hal tersebut. Jika telah mengalami kecemasan, maka akan lebih baik melakukan medical check up dan dapatkan diagnosis yang pasti dari rumah sakit. Medical check up juga dapat dilakukan secara berkala untuk meminimalkan risiko terkena penyakit yang tidak ada gejalanya.

*Kawan-kawan yang baik, silakan mengunjungi esai-esai Mahasiswa Bersuara Mahasiswa Bersuara atau Sayembara Esai Mahasiswa Bersiara

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//