SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: Kesenjangan Digital sebagai Wajah Baru Ketidakadilan Sosial di Indonesia
Kesenjangan digital semakin tajam di Indonesia. Transformasi teknologi malah memperkuat stratifikasi sosial yang ada. Akses digital di perdesaan jauh tertinggal.
Anisa Dika Rahayu
Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta
25 Desember 2024
BandungBergerak.id – Transformasi digital telah menjadi simbol kemajuan global. Teknologi informasi, internet, dan perangkat digital kini mendominasi hampir setiap aspek kehidupan, dari ekonomi hingga pendidikan. Dari banyak narasi yang sering kita dengar, teknologi disebut-sebut sebagai "penyeimbang" yang mampu menciptakan kesempatan bagi semua orang, terlepas dari latar belakang sosial, ekonomi, dan geografis.
Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan narasi yang berbeda. Transformasi digital tidak hanya membawa kemajuan, tetapi juga memperdalam jurang ketimpangan. Di Indonesia, kesenjangan digital bukan sekadar masalah teknis tentang akses internet atau perangkat, tetapi sebuah potret ketidakadilan struktural yang mencerminkan pola pembangunan yang tidak merata dan eksklusif sistematis terhadap kelompok marginal.
Di saat sebagian masyarakat dengan mudah menikmati manfaat teknologi, banyak kelompok marginal yang justru terperangkap dalam jurang ketidakadilan baru. Kesenjangan digital ini bukan sekadar soal akses internet atau perangkat, melainkan potret ketimpangan yang mencerminkan kegagalan dalam pembangunan yang merata.
Ketimpangan digital di Indonesia adalah masalah yang kompleks. Berakar dari ketidakmerataan infrastuktur, ketidakmerataan ekonomi, hingga kebijakan yang kurang inklusif. Data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menunjukkan bahwa penetrasi internet di wilayah perkotaan mencapai lebih dari 90 persen, sedangkan di perdesaan dan daerah 3T angkanya jauh lebih rendah. Fakta ini sudah cukup membuktikan bahwa transformasi digital telah menjadi kemewahan yang tidak terjangkau oleh sebagian besar masyarakat marginal. Dan sayangnya angka-angka ini hanyalah puncak dari sebuah gunung es.
Masalah utama yang terkubur adalah masyarakat marginal sering kali tidak dilibatkan dalam narasi pembangunan digital. Pemerintah Indonesia telah meluncurkan berbagai program untuk mengatasi kesenjangan digital, seperti Program Desa Digital dan pembangunan infrastruktur jaringan Palapa Ring. Namun, efektivitas program-program ini patut dipertanyakan.
Pertama, pembangunan infrastruktur sering kali berfokus pada wilayah yang dianggap memiliki nilai ekonomi tinggi, yaitu perkotaan dan daerah dengan potensi industri yang besar. Sementara itu, wilayah 3T tetap tertinggal karena dianggap tidak menguntungkan secara komersial. Pendekatan ini mencerminkan bias ekonomi dalam kebijakan pembangunan, di mana daerah marginal selalu ditempatkan sebagai prioritas rendah.
Kedua, program-program pemerintah cenderung bersifat top-down, tanpa melibatkan masyarakat setempat dalam perencanaan dan implementasi. Akibatnya, program tersebut sering kali tidak sesuai dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat lokal. Misalnya, distribusi perangkat teknologi atau program pelatihan sering kali dilakukan tanpa mempertimbangkan tingkat literasi digital masyarakat.
Ketiga, kebijakan transformasi digital pemerintah sering kali lebih mementingkan pencapaian angka-angka statistik daripada dampak nyata di lapangan. Peningkatan jumlah pengguna internet, misalnya, sering dijadikan indikator keberhasilan, tanpa melihat apakah akses tersebut benar-benar meningkatkan kualitas hidup masyarakat marginal.
Baca Juga: SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: Demokrasi Rasa Feodalisme dan Dinasti Politik
SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: Memprioritaskan Beasiswa LPDP untuk Saintek, Mencampakkan Ilmu Soshum di Pinggir Jalan
SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: Patronase Politik Mantan Presiden Mengikis Demokrasi di Indonesia
Kesenjangan Digital
Dampak dari kesenjangan digital ini sangat kentara, salah satunya adalah keterasingan ekonomi. Digitalisasi yang digadang-gadang menjadi salah satu peluang besar di bidang ekonomi, nyatanya semakin memperlebar jurang ketimpangan sosial antara kaum marginal dan mereka yang memiliki akses.
Pelaku UMKM di daerah terpencil misalnya, mereka keteteran untuk bersaing dengan pelaku usaha di perkotaan yang telah memanfaatkan platform e-commerce untuk menjangkau pasar yang lebih luas. Akibatnya, produkproduk lokal dari daerah marginal kehilangan daya saing, bahkan di pasar domestik.
Ketimpangan ini diperparah oleh realitas bahwa masyarakat marginal hampir tidak memiliki peluang untuk memasuki sektor ekonomi berbasis teknologi. Di saat generasi muda perkotaan gencar beralih ke pekerjaan digital seperti pengembang aplikasi atau pekerja lepas (freelancer), kaum marginal semakin tergerus dengan pendapatan stagnan dari pekerjaan konvensionalnya.
Permasalahan lain adalah pendidikan yang kian tidak setara, di mana kesenjangan digital berperan penting dalam memperparah ketimpangan ini. Sebenarnya, fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga menjadi masalah global. Namun, di Indonesia, dampaknya sangat terasa karena infrastruktur pendidikan di banyak daerah memang sudah tertinggal jauh sebelum pandemi. Sekolah-sekolah di daerah terpencil sering kali kekurangan fasilitas dasar seperti ruang kelas yang layak dan buku pelajaran, apalagi perangkat teknologi seperti komputer atau tablet.
Akibatnya, ribuan siswa mengalami kehilangan pembelajaran (learning loss). Mereka tertinggal dalam pelajaran, kehilangan motivasi untuk belajar, dan bahkan dalam beberapa kasus, putus sekolah. Ketimpangan ini akan berdampak jangka panjang, menciptakan generasi muda yang tidak memiliki keterampilan yang dibutuhkan di pasar kerja modern.
Sehingga bisa dikatakan pandemi COVID-19 menjadi momen yang mengungkapkan fakta menyakitkan: ribuan siswa di daerah terpencil tidak mampu mengikuti pembelajaran daring karena tidak memiliki akses internet atau perangkat.
Persoalan lain adalah timbulnya sekat yang semakin melebar. Teknologi seharusnya menjadi alat pemersatu malah menciptakan kesenjangan digital hingga menimbulkan sekat yang sangat jelas bagi masyarakat yang tidak memiliki akses ke teknologi. Mereka secara jelas terisolasi baik secara sosial maupun ekonomi.
Di era modern layanan publik yang semakin bergeser ke platform digital, seperti pendaftaran bantuan sosial, layanan kesehatan, hingga administrasi kependudukan, menjadi tantangan bagi kelompok marginal. Mereka yang tidak memiliki akses internet atau keterampilan digital kesulitan mengakses layanan ini, meskipun mereka adalah kelompok yang paling membutuhkan.
Ironisnya, teknologi yang seharusnya menjadi alat untuk menciptakan inklusi sosial justru menciptakan lapisan baru ketidakadilan. Bagi masyarakat marginal, dunia digital bukanlah ruang yang inklusif, melainkan tembok yang menghalangi mereka untuk berpartisipasi penuh dalam kehidupan sosial dan ekonomi.
Teknologi Menjadi Alat Kekuasaan
Keterasingan ini melahirkan perasaan ketidakadilan mendalam. Bagi masyarakat marginal, dunia digital yang seharusnya inklusif justru menjadi pengingat akan status mereka sebagai ”orang luar” dalam sistem sosial modern.
Kesenjangan digital bukanlah masalah yang berdiri sendiri; ia mencerminkan ketimpangan sosial, ekonomi, dan geografis yang telah lama mengakar di Indonesia.
Ketidakmerataan pembangunan infrastruktur digital, misalnya, adalah cerminan dari kebijakan pembangunan yang lebih berorientasi pada keuntungan daripada pemerataan. Wilayah perkotaan mendapatkan prioritas karena dianggap memiliki potensi ekonomi yang lebih besar, sementara daerah 3T harus puas dengan janji-janji yang tidak pernah terealisasi.
Ketidakmampuan ekonomi masyarakat marginal untuk mengakses perangkat teknologi dan internet juga mencerminkan ketimpangan pendapatan yang terus memburuk. Harga perangkat digital dan biaya internet yang tinggi adalah bukti bahwa teknologi masih dianggap sebagai barang mewah, bukan kebutuhan dasar.
Lebih jauh, rendahnya literasi digital di kalangan masyarakat marginal adalah hasil dari sistem pendidikan yang tidak responsif terhadap kebutuhan zaman. Sekolah-sekolah di daerah terpencil sering kali kekurangan fasilitas, apalagi program yang mendukung penguasaan teknologi.
Kesenjangan digital adalah cerminan ketidakadilan sosial yang semakin tajam di era modern. Transformasi teknologi yang seharusnya membawa manfaat bagi semua lapisan masyarakat justru memperkuat stratifikasi sosial yang telah ada.
Realitas ini menuntut kita untuk tidak hanya melihat teknologi sebagai simbol kemajuan, tetapi juga sebagai alat kekuasaan yang dapat memperkuat atau melemahkan ketimpangan. Jika kesenjangan digital terus dibiarkan tanpa ada upaya serius untuk mengatasinya, Indonesia akan menghadapi risiko lahirnya masyarakat dua lapis: mereka yang maju bersama teknologi, dan mereka yang tertinggal jauh di belakang.
Lebih parahnya lagi, kesenjangan digital bukan hanya menyoal tentang akses tetapi juga soal keadilan. Dan ketika keadilan tidak hadir dalam transformasi teknologi, seluruh kemajuan digital hanya akan tetap menjadi mitos belaka.
*Kawan-kawan yang baik, silakan mengunjungi esai-esai Mahasiswa Bersuara Mahasiswa Bersuara atau Sayembara Esai Mahasiswa Bersiara