• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Antara Sustainable Fashion atau Fast Fashion, Perjuangan untuk Kesadaran Konsumerisme di Indonesia

MAHASISWA BERSUARA: Antara Sustainable Fashion atau Fast Fashion, Perjuangan untuk Kesadaran Konsumerisme di Indonesia

Mengubah pola pikir dari membeli pakaian mengikuti tren menjadi produk yang lebih berkelanjutan dapat mengurangi dampak negatif industri “fashion” pada ekosistem.

Falika Tantri Arsani

Mahasiswa Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung

Warga melakukan fashion show di atas zebra cross. Disambut sorak-sorai. Kesulitan hidup sesaat sirna. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

27 Desember 2024


BandungBergerak.id – Jika kamu membuka lemari pakaianmu, bisakah kamu menghitung ada berapa pakaian milikmu yang merupakan produk fast fashion? Mungkin banyak yang bertanya “Memang kenapa? Apa kaitannya dengan lingkungan?” atau bahkan ada yang belum mengetahui apa itu fast fashion. Secara general, fast fashion didefinisikan sebagai sebuah produk pakaian yang diproduksi dengan cepat dan memiliki harga yang murah untuk mengikuti tren mode yang terus-terusan berganti.

Namun, di balik murahnya produk fast fashion, ada dampak yang terkadang tidak terpikirkan oleh para konsumen. Industri pakaian dianggap telah menyumbang limbah dengan jumlah besar di dunia dan sering kali menggunakan sumber daya alam secara berlebihan, dengan proses produksi yang menghasilkan emisi karbon tinggi. Di Indonesia, kesadaran akan dampak fast fashion masih tergolong rendah, meskipun gerakan sustainable fashion mulai berkembang.

Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Pembiayaan Infrastruktur di Indonesia, antara Dilema Utang dan Ancaman pada Kedaulatan Ekonomi Indonesia
MAHASISWA BERSUARA: Penerapan Arsitektur Berkelanjutan sebagai Pendekatan Inovatif untuk Mewujudkan Smart City
MAHASISWA BERSUARA: Pemilu oleh Rakyat Harus Tetap Diselenggarakan Lagi dan Lagi

Konsumerisme dan Budaya Belanja di Indonesia

Saat ini, pakaian tidak hanya berfungsi sebagai penutup tubuh, tetapi juga sering kali memengaruhi gaya hidup sebagian besar masyarakat. Pakaian yang dianggap fashionable bisa menjadi simbol yang memungkinkan seseorang untuk mengekspresikan identitas dan status sosialnya. Melalui busana yang dipakai, seorang individu dapat menunjukkan kualitas gaya hidup mereka, serta berpartisipasi dalam tren sosial yang berlaku. Fenomena ini menjadikan fashion sebagai bentuk konsumsi yang berlebihan, di mana kebiasaan berbelanja dijadikan ukuran untuk menilai kesuksesan seseorang dalam hidup. Banyak barang yang dibeli biasanya hanya untuk dicoba, tanpa memiliki arti penting dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari (Ancok, 1995).

Dikutip dari United Nations Association Indonesia (UNA Indonesia), YouGov (2017) memperoleh data bahwa dalam setahun, sebanyak 66% orang dewasa di Indonesia membuang kurang lebih satu pakaiannya. Angka ini mencerminkan pola konsumsi yang tidak berkelanjutan dan menunjukkan betapa cepatnya siklus hidup produk fashion saat ini. Globalisasi yang pesat juga meningkatkan kemudahan akses bagi masyarakat terhadap merek-merek fast fashion. Dengan meningkatnya aksesibilitas terhadap merek-merek fast fashion, banyak konsumen merasa terdorong untuk membeli lebih banyak barang dengan harapan dapat mengikuti tren terbaru.

Lebih jauh lagi, fenomena ini tidak hanya memengaruhi individu secara pribadi tetapi juga memiliki dampak sosial yang lebih luas. Ketika konsumen terjebak dalam siklus belanja impulsif dan konsumsi berlebihan, mereka sering kali mengabaikan nilai-nilai keberlanjutan dan tanggung jawab sosial.

Dampak Fast Fashion bagi Lingkungan dan Eksploitasi Pekerja

Di balik anggapan fashionable, produk-produk fast fashion telah terbukti memberikan dampak yang negatif bagi lingkungan dan juga para pekerja yang berkontribusi dalam membuat produk tersebut. Konsumsi pakaian yang berlebihan, seperti membeli dan membuang pakaian secara cepat mendorong penumpukan limbah tekstil yang tidak terkendali. Annika Rachmat sebagai Co-Founder Our Reworked World mengatakan bahwa setiap tahun terkumpul sekitar satu juta limbah tekstil dari 33 juta ton pakaian yang diproduksi. Menurut laporan dari United Nations Environment Programme atau UNEP (2021), 92 juta ton limbah tekstil telah dihasilkan oleh industri fast fashion setiap tahun, dan sebagian besar tidak didaur ulang. Limbah tekstil yang tidak didaur ulang dan dibiarkan menumpuk tentunya menciptakan sebuah masalah bagi lingkungan, seperti pencemaran air dan tanah.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, industri fast fashion membutuhkan air yang sangat besar dalam proses produksinya, yakni sekitar 1,5 triliun liter air per tahun, dan sekitar 20% dari total air tersebut telah tercemar oleh limbah berbahaya dari industri ini (Ramadhan, 2024). Pewarna azo dan formaldehida sebagai bahan kimia yang berbahaya biasanya dipakai dalam proses pembuatan produk fast fashion. Limbah dari proses produksi pakaian ini sering dibuang ke perairan tanpa pengelolaan yang tepat dan aman, hal ini akan menyebabkan masalah seperti pencemaran air. Pencemaran air dapat mengakibatkan kematian bagi organisme yang hidup di perairan tersebut. Bukan hanya ekosistem akuatik saja yang terancam, kesehatan masyarakat yang bergantung pada sumber air tersebut akan ikut terancam.

Selain menghasilkan efek buruk terhadap lingkungan, fast fashion sering kali dikaitkan dengan eksploitasi pekerja. Kondisi kerja di industri fast fashion sangat buruk. Sebagian besar pekerja ini bekerja dalam waktu yang panjang dengan gaji yang sedikit. Di Bangladesh, para pekerja biasanya bekerja lebih dari 8 jam sehari di tempat kerja yang berbahaya bagi kesehatan dengan risiko kecelakaan yang tinggi dan bahan kimia berbahaya. Tragedi Rana Plaza pada tahun 2013 menjadi contoh nyata dari eksploitasi ini, di mana lebih dari 1.100 pekerja kehilangan nyawa mereka akibat runtuhnya gedung pabrik.

Nyatanya, retakan besar telah ditemukan satu hari sebelum kejadian tersebut. Hal ini sayangnya dianggap remeh oleh pemilik gedung, ia tetap memaksa para pekerja untuk kembali bekerja dan mengancam mereka yang menolak dengan pemotongan gaji. Selain melakukan pelanggaran hak asasi manusia, pemilik gedung juga tidak memberikan para pekerja fasilitas yang layak. Kurangnya ventilasi menyebabkan para pekerja sering terkena paparan zat beracun, hal ini mengancam kesehatan para pekerja. Dengan fasilitas yang tidak layak dan jam kerja yang tidak masuk akal, banyak dari mereka mengalami kelelahan ekstrem karena kurangnya waktu istirahat dan makan. Hal ini menunjukkan betapa rendahnya nilai keselamatan dan kesejahteraan pekerja dalam pandangan manajemen pabrik.

Alternatif untuk Fast Fashion yaitu Fashion yang Berkelanjutan

Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, dampak sustainable fashion mulai berkembang di Indonesia. Menurut Wildan & Nurfebriaraning (Gunawan, 2020) Sustainable fashion memiliki konsep yang sama dengan slow fashion, yaitu bertujuan untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan masalah pencemaran lingkungan. Oleh karena itu, kehadiran sustainable fashion ini sangat diharapkan dapat mengatasi semua dampak buruk dari fast fashion, yang tidak hanya unggul di produknya namun secara menyeluruh. Namun, tidak sedikit juga dari fast fashion brand yang mulai memproduksi dan mempromosikan produk sustainable mereka. Pemilihan bahan yang ramah lingkungan, proses produksi yang mengutamakan lingkungan kerja dengan baik, hingga cycle produk dari pakaiannya sendiri.

Dikutip dari Good News from Indonesia (2020), Sejauh Mata Memandang yang didirikan oleh Chitra Subyakto merupakan salah satu dari banyaknya brand lokal Indonesia yang sudah mengusung sustainable fashion dengan memanfaatkan teknik tradisional seperti tenun dan batik. Jika melihat website official dari brand ini, kita dapat menemukan berbagai macam model produk yang tidak kalah menarik dengan fast fashion.

Lebih lanjut, berdasarkan data yang dikutip dari Fibre2Fashion, sekitar 18,6 juta ton limbah tekstil dibuang ke tempat pembuangan akhir dengan rata-rata sebesar 60% konsumen yang juga membuang pakaiannya setelah setahun membeli. Hal ini menandakan bahwa pakaian yang mereka gunakan paling tidak hanya mampu bertahan selama satu tahun. Dengan adanya sustainable fashion yang memanfaatkan produk ramah lingkungan dan desain tahan lama, hal-hal seperti pembuangan limbah tekstil akan berkurang, serta konsumen dapat menggunakan atau menyimpan pakaiannya untuk jangka waktu yang lama namun tetap modis. Dengan demikian, khususnya di Indonesia, sangat mengharapkan alternatif dari fast fashion yaitu sustainable fashion yang dapat membantu kita dalam mengatasi masalah yang terjadi di lingkungan agar bumi dapat lebih terlindungi.

Kesimpulan

Banyaknya produk fast fashion yang beredar di kalangan masyarakat Indonesia menjadi salah satu alasan dari munculnya permasalahan baru. Masyarakat Indonesia perlu menyadari bahwa pilihan mereka dalam berbelanja dapat memengaruhi lingkungan tempat mereka tinggal dan beraktivitas. Dengan mengubah pola pikir dari membeli pakaian hanya untuk mengikuti tren menjadi memilih produk yang lebih berkelanjutan, kita turut berkontribusi pada pengurangan dampak negatif industri fashion terhadap ekosistem.

Sebagai anak bangsa, kita bisa mendukung merek-merek lokal yang menerapkan prinsip sustainable fashion, seperti Sejauh Mata Memandang yang memanfaatkan teknik tradisional. Dengan mengadopsi konsep circular fashion dan upcycling, Sejauh Mata Memandang mengolah pakaian yang sudah tidak terpakai menjadi karya busana yang menarik dan ramah lingkungan. Jika kita mengubah pola pikir kita dan mulai memilih untuk membeli produk buatan anak bangsa, kita tidak hanya mendukung para pengrajin lokal dan mendapatkan barang berkualitas, tetapi juga kita dapat menjaga warisan budaya.

Langkah kecil yang kita ambil mulai dari hari ini akan berubah menjadi sebuah hal yang besar suatu saat nanti. Dengan menggunakan produk pakaian yang berkelanjutan, kita tidak hanya menjaga lingkungan tetapi juga membantu menciptakan industri mode yang lebih adil dan berkelanjutan di Indonesia. Setiap individu perlu berkontribusi pada perubahan positif dalam industri fashion.

 *Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain Mahasiswa Bersuara

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//