SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: Pekerja Kreatif yang Dilarang Kreatif
TIDAK SEMUA PNS BEGITU. Namun, itulah isi kepala dan pandangan saya terhadap para pegawai pemerintahan di tempat saya magang.
Fauzan Rafles
Mahasiswa jurusan bahasa Inggris Universitas Pasundan (Unpas) Bandung
5 Januari 2025
BandungBergerak.id - Judul tulisan ini mungkin terdengar seperti ironi, tetapi itulah kenyataan yang saya alami ketika membandingkan magang di startup dengan institusi pemerintah. Di startup, saya mendapat kebebasan dan ilmu yang berharga, di pemerintahan saya justru dihadapkan pada kekecewaan.
Tulisan ini tercipta dari keresahan tulus seorang mahasiswa yang sedang mengikuti program Kampus Merdeka. Sesuai namanya, program dari Mendikbud Nadiem Makarim ini memberi mahasiswa kebebasan untuk mengeksplor subprogram yang disediakan. Ada pertukaran pelajar, kampus mengajar, pengabdian masyarakat, ataupun yang pernah saya jalankan dan sedang saya jalankan: magang.
Ya, dua kali memang saya mengikuti program Magang dan Studi Independen Bersertifikat (MSIB), program yang bagus dan layak diikuti oleh mahasiswa yang ingin memiliki pengalaman kerja juga portofolio sebelum resmi menjadi sarjana. Apalagi, posisi kerja yang diambil sejalur dengan jurusan kuliahnya, seperti saya sebagai copywriter yang terkait dengan jurusan kuliah Sastra Inggris.
Saya bekerja di sebuah startup edu-tech di Jakarta Selatan. Gen Z dan startup: it’s a better love story than Twilight, jika saya boleh mengumpamakan. Pilihan perusahaan rintisan sebagai tempat pertama kali bekerja untuk mencari pengalaman bagi saya adalah pilihan yang sangat tepat. Bagaimana tidak, sistem kerjanya hybrid, pakaiannya kasual, dan tidak ada hormat-hormat formal untuk atasan seperti, “Selamat pagi pak, berikut saya lampirkan berkas video yang akan diunggah hari ini.”
Lingkungan kerjanya pun seperti di rumah nenek. Bisanya, kantornya berada di perumahan elite, kerjanya sambil tiduran, dan ditemani secangkir kopi. Namun, meskipun terlihat sangat santai dan seperti yang tidak bekerja, ilmu yang saya dapat sangat banyak, seperti banyaknya parkir liar di Kota Bandung. Menjadikan pekerjaan harian terasa penuh makna. Saya menyebutnya “priceless experience”.
Selain mendapat ilmu kepenulisan (itu pasti), saya juga mendapat banyak ilmu tentang membikin bisnis/perusahaan. Bagaimana tidak, namanya juga startup sudah hampir tidak ada jarak dengan atasan bahkan bos. Di tengah-tengah jeda coffee break, di situlah ceria-cerita tercipta. Dongeng-dongeng yang dapat kita rasakan kebenarannya. Ilmu-ilmu yang tidak kita dapat dari kelas-kelas online, serta pelajaran kehidupan yang mungkin tidak kita dapat dari dosen saat kuliah. Ilmu gratis seperti ini tidak banyak orang beruntung bisa mendapatkannya.
Lingkungan seperti inilah yang pekerja kreatif butuhkan. Menurut saya, bebas berpakaian, tidak ada kesenjangan sosial antara atasan dan anak buah, dan jam kerja yang flexible menjadi pondasi utama untuk otak agar bisa terus berpikir kreatif, menciptakan narasi yang efektif, dan menjadikan perusahaan lebih produktif.
Masalah seperti stuck atau buntu sering dialami oleh para kuli kreatif. Makanya, kebebasan untuk bekerja di jam berapa pun dan di mana pun adalah obat untuk mengatasi masalah tersebut. Gen Z biasa menyebutnya dengan “ngopi dululah ngopi”. Begitulah setidaknya gambaran menjadi anak magang yang saya dapat di startup melalui program MSIB ini.
Lalu Bagaimana dengan Pengalaman yang Kedua?
Kebahagiaan itu fana. Di semester berikutnya, pengalaman saya berbelok ke arah yang sangat berbeda. Dan di sinilah saya menyadari dunia kerja tak melulu seperti startup.
Di periode kedua saya mengikuti MSIB ini, saya terlempar jatuh ke kantor pemerintahan. Lebih tepatnya organisasi kementerian yang fokus pada pengembangan anak usia dini, setelah lidah saya terpeleset di penghujung akhir sesi interview di sebuah startup kota Bandung yang membuat saya tergantikan oleh kandidat lain.
Di instansi ini, posisi saya ialah social media specialist. Di tempat magang saya sebelumnya, posisi ini tugasnya menyusun ide konten untuk seminggu ke depan, menulis brief, mengoperasikan seluruh media sosial perusahaan, dan melaporkan perkembangan medsos setiap minggunya.
Dengan janji dari ibu direktur di sebuah seremoni penyambutan anak magang, “tenang aja, kalian di sini akan dididik sebaik mungkin, kok. Kami tidak akan menjadikan kalian anak magang yang cuma disuruh bikin kopi ataupun poto kopi.” Faktanya? Saya tidak diberikan pekerjaan sama sekali. Itu lebih buruk daripada disuruh foto kopi.
Seminggu penuh saya masuk kantor tanpa diberi satu tugas pun. Tibalah di minggu kedua, atasan saya memberikan tugas pertama. Di bayangan saya akan mirip seperti apa yang mentor saya lakukan yaitu memberikan tugas yang membangun dan penuh esensi. Setelah mengikuti banyak kursus online untuk menjadi sosmed spesialis, tugas pertama saya adalah bikin quotes untuk postingan Instagram.
Ya, quotes untuk akun IG kementrian, sudah seperti akun IG anak SMP galau. Seketika tujuan saya mencari satu tahun pengalaman pun hanya menjadi angan-angan. Ini sulit dipercaya, namun data dari Kemenristekdikti bisa menjadi bukti bahwa mahasiswa sering kali dibiarkan tanpa proyek atau arahan yang jelas, sehingga kegiatan magang terasa tidak produktif dan tidak relevan.
LPPM Indraprasta Journal juga menyebut, banyak perusahaan, termasuk institusi pemerintah, belum memiliki program magang yang terstruktur dengan baik. Hal ini menyebabkan mahasiswa sering diberikan tugas yang kurang relevan dengan bidang studi atau kebutuhan industri.
Berminggu-minggu tidak ada pekerjaan yang relevan, saya pun inisiatif membuat kerjaan untuk saya sendiri. Supaya portofolio saya tidak menjadi pajangan seperti baliho sisa pilkada. Saya membuat artikel yang akan diposting di website dan Instagram dengan tema parenting & edukasi anak usia dini. Saya menulis, menulis, dan menulis sebaik mungkin supaya artikel ini layak tayang. Tulisan pun selesai. Saya serahkan kepada atasan saya. Tanpa membaca ataupun memindai, beliau berucap, “Oh pake Chat GPT aja nulisnya kalo buat ini mah. Orang juga gak banyak yang baca, kan—yang penting, mah, kerjaan selesai dan bu direktur suka.”
Kalau badan saya bisa mencair, pastilah badan saya sudah mencair secair-carinya. Otak saya tak berontak, bibir juga mencibir hanya saja dalam diam. Sebuah kalimat yang bikin saya sadar, “Oh pantas banyak ortu yang masih minim ilmu parenting”. Kilas balik ke bagaimana saya bekerja di kantor saya dulu. Saya mati-matian menulis kreatif guna mengundang audiens tanpa bantuan artificial intelligence (AI). AI hanyalah sebuah platform kecil bagi saya untuk riset dan mengumpulkan ide. Ketika disuruh “pake Chat GPT aja” emosi saya tak bisa diakali.
Di startup, saya hanya mempergunakan AI untuk riset, mencari kosa kata baru, atau mencari ide. Sisanya, saya harus menguras otak agar tulisan yang saya unggah di Instagram dapat menyentuh hati netizen. Di pemerintahan, otak saya tak terpakai, kreativitas saya dibelenggu, dan tidak dihargai. Pekerjaan menjadi sosmed spesialis sejatinya adalah pekerjaan kreatif. Ya, sayalah pekerja kreatif yang dilarang kreatif.
Baca Juga: SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: Regulasi atau Represi? Membaca Ulang Praktik Kekuasaan di Kampus Merah
SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: Dilema Antara Bisnis, Ekologi, dan Masa Depan Punclut
SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: Kritik terhadap UU Cipta Kerja dengan Pisau Analisis Ruang Publik Jurgen Habermas
Menjawab Pertanyaan Besar di Kepala
Setelah melihat para PNS atau ASN itu bekerja, pertanyaan besar di kepala saya semakin terjawab, “Pantas saja pemerintah banyak dikritik masyarakat, ternyata begini etos kerja orang-orang di dalamnya.”
TIDAK SEMUA PNS BEGITU [huruf kapital dari penulis]. Namun, itulah isi kepala dan pandangan saya terhadap para pegawai pemerintahan di tempat saya magang. Tiap pagi makan gorengan, agak siangan makan bakso, sorenya main pingpong. Begitu terus setiap hari. Pantas perut mereka buncit dan tidak mengherankan ribuan orang berbondong-bondong ingin jadi PNS.
Tamparan akibat ekspektasi yang sudah saya bangun merefleksikan pikirin saya terhadap novelnya Eric Arthur Blair atau yang biasa kita kenal sebagai George Orwell. Down and Out In Paris and London judul bukunya, mungkin para pembaca BB familiar dengan novel klasik karya mantan polisi ini.
Di buku terbitan tahun 1933 itu, Orwell bercerita bagaimana pemeran utama yang tidak beliau sebutkan namanya ini luntang-lantung di kota Paris dan London. Tidak sedikit juga Orwell ceritakan bagaimana kinerja si yang empunya peran tidak dihargai oleh atasannya.
Ada satu kalimat dalam buku ini; persis mirip dengan apa yang atasan saya lontarkan terhadap kerjaan saya. “Bodoh! Kenapa kamu mencuci piring itu? Lap saja di celanamu. Siapa peduli dengan pelanggan? Mereka tidak tahu apa yang terjadi. Kamu sedang memotong ayam, lalu ayam itu jatuh ke lantai. Kamu meminta maaf, membungkuk, lalu pergi; dan lima menit kemudian kamu kembali lewat pintu lain—dengan ayam yang sama. Itulah kerja di restoran.”
Meski sistem kerja di kementerian sudah terstruktur, kenyataannya masih banyak pekerjaan kreatif yang kurang mendapat perhatian serius. Bagi saya, pengalaman ini membuat kata “pegawai pemerintahan” hanyalah sekedar dua kata lucu. Kreativitas dipenjara, apresiasi hanya sebuah diksi, pakaian rapi hanya simbolik agar terlihat seperti orang yang karismatik.
Masih ada satu lagi kutipan George Orwell dari buku yang sama: “Sepanjang hari, kau terus-menerus mengucapkan kebohongan—dan kebohongan itu tidak murah.” Orwell menggambarkan dunia kerja yang penuh kebohongan, di mana esensi kerja sering kali hilang di balik prosedur. Ini sangat mencerminkan pengalaman saya di kementerian—pekerjaan yang diberikan sering kali hanya formalitas, tanpa makna yang nyata.
Saya menyebut ini adalah kebohongan. Mengapa? Sejatinya karena Mahasiswa dilepas oleh kampus untuk menimba ilmu di kantor; tapi instansi malah menjadikan mahasiswa itu pengangguran dengan tanda pengenal. Kebohongan karena tujuan mahasiswa pergi magang untuk mencari pengalaman kerja; namun yang mereka berikan hanya lah pengalaman. Juga kebohongan karena bukan skill kerja mahasiswa yang meningkat; melainkan hanya skill bermain pingpongnya saja.
Sebagai gen Z yang haus pengalaman, saya selalu mempertanyakan esensi program magang di institusi pemerintah. Saya juga meminta pemerintah untuk memperbaiki sistem bimbingan magang dengan menyediakan mentor yang mumpuni, tugas yang relevan, dan lingkungan kerja yang hangat agar kemampuan terasah tanpa terhambat.
Pemerintah memiliki tanggung jawab besar untuk membentuk lingkungan kerja yang mendukung kreativitas, bukan malah membunuhnya. Jika perusahaan rintisan saja dapat melakukannya, mengapa institusi pemerintah beserta turunannya tidak? Maka, sebagai mahasiswa dan calon pekerja, melalui tulisan ini, saya terus bersuara demi perubahan. Saya juga berharap kedepannya agar waktu yang mahasiswa habiskan untuk magang menghasilkan ilmu yang bermakna, bukan sekadar menambah baris pada laporan kerja.
*Kawan-kawan yang baik, silakan mengunjungi esai-esai Mahasiswa Bersuara Mahasiswa Bersuara atau Sayembara Esai Mahasiswa Bersuara