Sabtu Sore #11: Ramalan Melemahnya Panji-panji Demokrasi Indonesia Beberapa Tahun ke Depan
Sejak didirikan, Indonesia menganut sistem demokrasi. Banyak tatanan demokrasi yang dilanggar, antara lain menyempitnya kebebasan sipil.
Penulis Yopi Muharam6 Januari 2025
BandungBergerak.id - Indonesia sejak awal didirikan sebagai negara yang manganut sistem demokrasi. Namun pada kenyataanya masih banyak pelanggaran asas-asas demokrasi, di antaranya menyempitnya ruang-ruang publik untuk menyampaikan kebebasan berpendapat. Hal ini menjadi alarm jika kebebasan masyarakat sipil terus dikekang oleh pemerintah.
Dengan latar belakang tersebut, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung berkolaborasi dengan BandungBergerak menyelenggarakan diskusi di Sabtu Sore bertajuk Membayangkan Kondisi Demokrasi Indonesia di 2025, pada Sabtu, 4 Januari 2025, bertempat di perpustakaan Bunga di Tembok, Jalan Pasir Luyu, Bandung.
Diskusi ini menghadirkan direktur LBH Bandung Heri Pramono, Editor BandungBergerak, Iman Herdiana, dengan moderator staf Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Jawa Barat Deti.
Heri Pramono menyampaikan, kondisi demokrasi sekarang terasa biasa saja. Akan tetapi upaya untuk menciutkan demokrasi semakin terasa seiring banyaknya aksi demonstrasi di jalan-jalan yang mendapatkan tindakan represif aparat.
Tidak hanya itu, tantangan di era digital sekarang, tindak represif seperti parasit yang menjalar. Upaya represi terhadap masyarakat, menurut Heri sudah mulai memasuki ranah digital. Pihak antikritik melalui pendengungnya (buzzer) bisa melakukan doxing atau pengancaman secara sistematis kepada warganet (netizen) yang bersuara kritis.
Contohnya, menurut Heri doxing terhadap peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) oleh akun Instagram @volt_anonym. Doxing tersebut berupa pengungkapan sejumlah data pribadi mulai dari nomor telepon, nomor Kartu Tanda Kependudukan (KTP), alamat tinggal, spesifikasi device telepon yang digunakan, hingga titik koordinat lokasi terakhir peneliti dalam bentuk tautan google maps.
“Ini menandakan adanya upaya penciutan di ranah demokrasi,” ujar Heri.
Diketahui, doxing terjadi 3 Januari 2025 pascapeneliti ICW menyampaikan pandangannya terkait penominasian Joko Widodo oleh Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) dalam kategori “Kejahatan Terorganisasi dan Korupsi 2024”. Dalam doxingnya, instagram @volt_anonym menuliskan caption bernada ancaman dengan insinuasi kuat yang membahayakan keamanan diri peneliti.
Heri juga mengatakan, pemerintah juga menyiapkan sejumlah aturan dan undang-undang untuk melemahkan masyarakat kritis. Saat ini, KUHP baru sudah siap diimplementasikan. Heri menyebut beberapa aturan sudah mulai dijalankan. Salah satunya adalah aksi demonstrasi harus memiliki izin.
“Mungkin ke depannya bakal terjadi pelenyapan ruang-ruang sipil,” lanjut Heri.
Dia juga menyebut aparatur negara sudah mengeluarkan anggaran untuk menggunakan jasa buzzer. Langkah ini akan berdampak buruk bagi masyarakat.
Menyempitnya Kebebasan di Ruang Sipil
Pemberangusan terhadap kebebasan sipil nyatanya tidak hanya dilakukan oleh aparatur negara saja. Iman Herdiana, sebagai pembicara kedua di diskusi ini menyebut upaya pelemahan demokrasi terlihat di Bandung sepanjang 2024 kemarin.
Maret 2024, Jumaahan (sekarang bernama Bkan Jumahaan), sebuah ruang diskusi yang diselenggarakan di Kedai Jante akan menggelar sebuah diskusi bertajuk Menyelami Hikmah-Hikmah Kehidupan. Akan tetapi diskusi tersebut diurungkan. Sebab salah satu pemantik diskusi saat itu adalah Ilham Aidit. “Kan keren judulnya. Tapi mendapat penolakan dari ormas,” terang Iman.
Mengetahui ada anak dari petinggi Partai Komunis Indonesia, sejumlah masyarakat yang mengaku dari ormas keagamaan menolak acara diskusi tersebut. Atas penolakan ini panitia Jumaahan pun membatalkan diskusi. “Kan keren judulnya. Tapi mendapat penolakan dari ormas,” terang Iman.
Iman melanjutkan, ormas menolak diskusi dengan dalih acara yang menghadirkan Ilham Aidit itu akan mencemari paham-paham ideologi Pancasila.
Hal yang sama juga dialami oleh penganut Syiah bulan Juli lalu. Saat itu kelompok Syiah hendak mengadakan acara internal untuk memperingati Haul Imam Husein atau yang dikenal sebagai peringatan Asyura. Pelaku pembubaran juga ormas yang membawa label agama sebagai dalih pembubaran.
“Maksudnya dengan cara yang sama, dengan pola yang sama mereka menolak dialog, inginnya membubarkan atau menghentikan,” ujarnya.
Iman menilai masyarakat Indonesia cenderung selalu mengulang sejarah. Lebih dari itu, Iman juga menyinggung perihal kebebasan berekspresi di ruag publik berupa unjuk rasa. Pada aksi Peringatan Darurat bulan Agustus lalu, ratusan massa aksi jadi korban tindak represi aparat. Beberapa di antaranya merupakan jurnalis.
Aparat dinilai abai terhadap kerja-kerja jurnalis ketika meliput aksi unjuk rasa. Di Jakarta tercatat ada 11 jurnalis yang diintimidasi secara fisik, digital, maupun diancam dibunuh. Ada juga persma yang juga mengalami kekerasan termasuk menerima gas air mata dari polisi. Kemudian juga di Semarang dan di Bandung juga terjadi kekerasan berupa pemukulan yang dilakukan oleh OTK.
“Padahal korban udah menunjukan kartu pers,” tuturnya.
Kongkalikong antara Tiga Lembaga
Tiga pilar demokrasi yang seharusnya menjadi penjaga marwah seharusnya saling mengawasi satu sama lain. Namun dua periode pemerintahan Jokowi lalu, tiga pilar seperti legislatif, yudikatif, dan eksekutif seperti bekerja sama satu sama lainnya.
Heri mengungkapkan gotong royong antara lembaga itu sebuah keharusan. Namun yang harus dicermati dari gotong royong tersebut malah mementingkan kepentingan para penguasa. Padahal, ketiga lembaga dalam konsep trias politika ini seharusnya saling mengawasi.
Dia mencontohkan harmonisasi antara eksekutif dan legislatif malah mendorong menciptakan Undang Undang Cipta Kerja di saat masa pageblug. Seharusnya pemerintah saat itu berfokus pada permasalahan wabah virus yang menjangkit di Indonesia. Kendati mendapat penolakan, UU Ciptaker disahkan dengan waktu yang singkat.
Selanjutnya ada romantisasi eksekutif dengan yudikatif pada tahun 2023 lalu atau menjelang masa pemilihan umum. Mahkamah Konstitusi menurut Heri malah membuat aturan dagelan yang meloloskan putra sulung Presiden, Gibran Rakabuming Raka agar lolos pada tahap batas umur pencalonan Wakil Presiden.
Belum lagi adanya harmonisasi antara legislatif dan yudikatif, di mana pemilihan kepala lembaga pemerintahan dipilih langsung di DPR. Menurut Heri pemilihan tersebut acap kali mengandung unsur politik.
“Tapi ketika kita marah ke semuanya mereka akan tutup gerbangnya satu sama lain,” tegasnya. “Jadi intrik politik yang terjadi di negara kita tuh saling bantu-membantu satu sama lain, nilainya mah bagus, tapi pada akhirnya membantu dalam mempertahankan kekuasaan,” lanjutnya.
Di sisi lain, Iman menilai pilar demokrasi yang keempat yaitu pers, memerlukan daya tambahan dari netizen. Pilar keempat plus, tutur Iman. Sebab peran netizen untuk menjadi watch dog pemerintah sangat berpengaruh. Contohnya, aksi Peringatan Darurat berhasil menggagalkan Revisi UU Pilkada setelah riuh protes di media sosial dan membuahkan gerakan massa di jalan.
“Di mana peran netizen dapat menjadi kontrol sosial,” jelas Iman.
Baca Juga: Mengapa Kelas Menengah Penting Bagi Demokrasi?
Melihat Orang-orang Muda Bandung dari Kelompok Minoritas Merajut Demokrasi
Patronase Politik Mantan Presiden Mengikis Demokrasi di Indonesia
Peristiwa Berdarah dalam Lima Tahun Terakhir
Serangkaian peristiwa bersejarah telah terjadi sepanjang dua periode kepemimpinan Joko Widodo. Peristiwa tersebut tak lain mendulang masalah baru yang mengancam kebebasan sipil. Dari disahkannya UU ITE pada tahun 2017 silam, menjadi momok serius bagi masyarakat Indonesia untuk bersuara di ranah digital. UU ITE banyak memenjarakan masyarakat sipil sebab pasal karet yang terkandung di dalamnya.
Tidak hanya itu, serangkaian peristiwa besar juga terjadi enam tahun silam. Pasca-Presiden Jokowi dilantik di periode kedua, terjadi sebuah demonstrasi serentak di berbagai daerah di Indonesia untuk menolak revisi UU KPK hingga Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).
Merevisi lembaga antirasuah anak kandung reformasi itu dianggap akan melemahkan kerja-kerja independensi hingga akan bermuatan kepentingan penguasa. Walhasil demonstrasi tersebut menyebabkan berjatuhannya korban sebanyak 232 orang luka, lima di antaranya meregang nyawa, dan 94 orang ditangkap. Demonstrasi itu berujung pada tindakan brutalitas aparat terhadap massa aksi. Peristiwa tersebut menjadi catatan paling berdarah pascareformasi.
Tidak berhenti di situ, setahun berikutnya, pada bulan Oktober 2020 masyarakat Indonesia kembali turun ke jalan untuk menolak Omnibus Law dan mendesak pemerintah untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undangan (Perppu). Dari aksi unjuk rasa itu, Polisi mengklaim telah menangkap sebanyak 5.918 orang yang terdiri dari mahasiswa, buruh, hingga masyarakat sipil.
Tahun lalu, tepat di bulan kemerdekaan Indonesia, aksi unjuk rasa kembali terjadi secara serentak di berbagai daerah. Aksi unjuk rasa itu dinamakan Peringatan Darurat. Aksi tersebut dilatarbelakangi atas revisi UU Pilkada yang dianggap akan meloloskan kembali putra bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep untuk maju sebagai kepala daerah.
Masyarakat Indonesia tidak ingin lagi kecolongan pasca-MK mengabulkan aturan untuk meloloskan kakak Kaesang, Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden. Lagi-lagi aksi ini diwarnai kekerasan aparat terhadap massa aksi. Sebanyak 333 orang menjadi korban luka, 236 di antaranya adalah mahasiswa.
YLBHI mencatat dalam aksi ini terdapat tujuh jenis pelanggaran hukum, di antaranya doxing dan peretasan 3 kasus; perampasan alat pribadi 31 kasus; tindak kekerasan dan penganiayaan 284 kasus; perburuan dan penculikan 150 kasus; penangkapan 197 kasus; kriminalisasi 17 kasus; dan tidak dapat mengakses pendamping hukum sebanyak 146 kasus.
*Kawan-kawan yang baik bisa membaca tulisan-tulisan lain dari Yopi Muharam, atau artikel-artikel lain tentang Demokrasi