Cerita Nelayan di Sekitar PLTU Batu Bara Cirebon, Menjaring Udang dan Rajungan tak Semudah Dulu
Nelayan di Desa Waruduwur, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon sudah lama mengeluhkan minimnya tangkapan hasil laut. Sebelum ada PLTU, tangkapan mereka melimpah.
Penulis Prima Mulia8 Januari 2025
BandungBergerak.id - Arto mengurai dan menggulung jaring rajungan di depan rumahnya di kampung nelayan Desa Waruduwur, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon, jelang sore hari, 3 Januari 2024. Sejumlah perempuan di teras rumah sibuk mengupas kepiting rajungan dan urus-urus, sejenis kepiting yang ukurannya lebih kecil dan berdaging lebih tipis.
Nelayan berusia 51 tahun ini telah pergi melaut menemani orang tuanya dulu sejak masih kecil. "Pertama kali melaut umur saya waktu itu 10 tahun," kata Arto, seraya tertawa.
Di latar belakang bersandar perahu-perahu nelayan di dermaga sungai. Sekitar 300 meter dari dermaga tampak menjulang tinggi cerobong asap PLTU Cirebon 1 berkapasitas 660 megawatt berbahan bakar batu bara yang dikelola PT Cirebon Electric Power, sebuah konsorsium Indonesia, Jepang, dan Korea Selatan. Di kejauhan juga terlihat cerobong asap PLTU Cirebon Unit II berkapasitas 1.000 megawatt.
Arto ingat betul saat para nelayan masih sangat mudah menjaring rajungan di perairan dekat desa mereka. "Dulu nggak perlu jauh melaut, paling melaut setengah jam saja sudah dapat banyak rajungan,” katanya.
Namun sekarang ia dan para nelayan lainnya harus berlayar jauh. Itu pun dengan hasil laut tidak lagi melimpah seperti dulu. Makin jauh melaut beban operasional membengkak. “Kita bisa di laut selama 12 jam jadi beban ongkos melaut makin besar, tangkapan makin dikit," katanya.
Ia butuh 15 liter solar seharga 8.000 rupiah per liter untuk sekali melaut. Untuk bekal makanan, rokok, kopi untuk 2 atau 3 orang nelayan paling tidak Arto perlu 300 ribu rupiah sekali melaut. Arto tak pasang target terlalu muluk, dapat 10 kilogram rajungan saja ia sudah bersyukur walau untungnya tipis.
"Masih bisa dapat 1 juta (rupiah) lalu dipotong ongkos dan dibagi teman melaut ya masih adalah sedikit lebihnya," kata Arto.
Sebelum ada PLTU, nelayan Waruduwur bisa menjaring 20-30 kilogram rajungan dengan cukup mudah tanpa harus pergi jauh ke tengah laut. Butuh waktu 30 menit saja untuk menebar jala di sekitar pantai yang kini jadi lokasi dermaga tongkang batu bara dan akses infrastruktur dari dermaga tongkang ke area pembangkit di daratan.
Solar nonsubsidi yang dibutuhkan hanya sekitar 5 liter saja. Nelayan kesulitan mengakses solar subsidi seharga 6.800 rupiah per liter karena terkendala sejumlah persyaratan dari pemerintah, ditambah terbatasnya jumlah SPBU yang melayani solar subsidi.
Nelayan Waruduwur sejak dulu mengandalkan perikanan tangkap berupa hasil laut ikan, rajungan, udang cakrek, dan kerang hijau. Saat ini hasil-hasil laut tersebut sudah semakin langka. Nelayan harus melaut lebih jauh sampai ke perbatasan Indramayu.
Menurut salah seorang nelayan dan Bandar pengolahan rajungan di Waruduwur, Warcita, menghilangnya rajungan, kerang hijau, udang cakrek, dan ikan dari perairan Waruduwur mulai dirasakan sejak tahun 2016, atau empat tahun setelah PLTU Cirebon 1 beroperasi tahun 2012.
"Bukan kapasitas saya untuk menuduh apakah limbah PLTU berpengaruh pada lingkungan perairan di Waruduwur. Tapi yang saya rasakan memang kini semakin sulit mencari rajungan, udang cakrek, atau kerang hijau di sekitar wilayah kami,” katanya.
Warcita mengatakan, sebelum ada PLTU para nelayan gampang sekali menjaring rajungan dan udang cakrek. Mereka tidak perlu jauh-jauh berlayar ke tengah laut. Sama halnya dengan usaha tambak bandeng dan udang. Kualitas air di sana sekarang amat rendah.
“Saya pernah dapat rajungan yang cangkang bagian dadanya itu warnanya hitam. Rajungan itu di dasar kan, itu hitam-hitam semua, kita juga pernah angkat endapan batu bara di dasar," kata nelayan berusia 56 tahun ini.
Wacitra terpaksa harus mendatangkan rajungan dari Kalimantan atau dari nelayan daerah lain, termasuk kerang hijau, untuk memasok industri pengolahan daging rajungan dan kerang hijau miliknya. Namun beberapa nelayan yang minta namanya tak disebut membantah jika keberadaan PLTU Cirebon dituding jadi biang kerok hilangnya tangkapan nelayan di Waruduwur.
"Kita nggak salahin PLTU, mereka itu ada anggaran untuk kompensasi kerusakan lingkungan, tapi entah nyangkut di mana anggarannya," kata mereka.
Paling tidak nelayan-nelayan ini mengakui ada kerusakan lingkungan di Waruduwur, namun menurut pemahaman mereka kerusakan itu bisa dikompensasi dengan nilai anggaran untuk mengatasi kerusakan lingkungan yang entah seperti apa bentuknya karena mereka tidak menjelaskan lebih lanjut.
Sabtu pagi di dermaga kampung nelayan Waruduwur 4 Januari 2024. Darsono (50 tahun) masih berkain sarung saat mulai melepas tali tambat kapal bernama Erlaut miliknya. "Ayo ikut saya coba njaring rajungan, nggak perlu jauh-jauh siapa tau ada rejekinya," ajaknya ramah. Tanpa pikir dua kali saya melompat ke kapalnya ikut melaut.
Setelah melewati muara dengan hutan bakau di kanan kiri kapal mulai memasuki wilayah perairan tangkap nelayan. Cerobong dua unit PLTU Cirebon semakin manjauh. Kapal mendekati ke arah dermaga tongkang batu bara yang menjorok ke laut lepas, mungkin jaraknya lebih dari satu kilometer dari garis pantai. Sebuah konstruksi jembatan baja yang kokoh menghubungkan dermaga batu bara dengan area pembangkit PLTU Cirebon 1 di pantai.
Beberapa nelayan di tengah laut tampak sibuk memperbaiki semacam bagang laut perangkap kerang hijau, cumi-cumi, udang, atau ikan. Darsono menjelaskan bagang milik kawan-kawan sekampungnya itu gagal mendapat hasil malah rusak terkena ombak besar.
Beberapa nelayan lain juga jelas terlihat menarik jala yang panjangnya lebih dari 50 meter. Kilatan-kilatan jala nylon berwarna putih itu berkilat-kilat terkena paparan sinar matahari yang mulai meninggi. Tak ada rajungan atau udang cakrek yang terperangkap di sana.
Darsono mulai menurunkan jala secara perlahan. Jalanya sudah banyak yang rusak. Namu ia belum bisa memperbaikinya karena belum ada duit. Setelah 15 menit menunggu ia mulai menarik jala perlahan, gulungan jalan yang ditarik tergulung di dek kapal kayu miliknya, ia menghela napas sambil tersenyum kecut.
"Nggak ada yang kena, ikan kecil pun tak ada, malah uwur-uwur yang muncul. Kalau laut tenang seperti ini rajungan susah munculnya, harus ombak agak besar," katanya, tertawa sambil menunjuk seekor ubur-ubur dekat jaringnya.
Akhirnya kami kembali ke kampung tanpa membawa hasil. Seekor blekok (Ardeola speciosa) hinggap di cabang-cabang bakau menunggu ikan atau udang kecil. Sama seperti seekor trinil pantai (Actitis hypoleucos) yang hinggap di bilah-bilah bambu saat mencari mangsa di sekitar hutan bakau. Burung ini adalah burung migran dari Erasia yang bermigrasi ke Asia Tenggara saat musim dingin.
Darsono menambatkan perahu ke dermaga, ia tak mendapat rajungan pagi itu. Terakhir melaut beberapa hari lalu ia hanya mendapatkan 1,5 kilogram rajungan, setelah dikupas laku dijual 150.000 rupiah, untuk solar dan bekal ia habis 100 ribu rupiah. Beruntung istrinya di rumah masih bisa jadi buruh pengupas rajungan dengan upah 100 ribu rupiah. Saat pasokan rajungan atau kerang hijau dari daerah lain masuk ke Waruduwur sampai dua atau tiga kali, dalam sehari para perempuan bisa mendapat upah sampai 200 sampai 300 ribu rupiah.
Waruduwur, salah satu kampung nelayan penghasil rajungan, kerang hijau, dan udang cakrek di sentra hasil laut pesisir Mundu, Cirebon, kini tak bisa lagi mengandalkan tangkapan laut di daerahnya sendiri. Satus Waruduwur sebagai penghasil rajungan dan kerang hijau masih tetap melekat walau kini bergantung pada pasokan dari daerah lain.
Baca Juga: Nestapa Nelayan Akibat Kasus Korupsi PLTU 2 Cirebon
Walhi Jabar Menyerukan Pensiunkan PLTU Cirebon 1 Sekarang Juga
Klaim Ramah Lingkungan
Perubahan iklim kini dirasakan masyarakat. Salah satu penyebabnya adalah naiknya suhu bumi karena penggunaan bahan bakar fosil seperti batu bara. Kesepakatan negara-negara dunia telah mendorong pengurangan penggunaan batu bara dalam program kebijakan Net Zero Emission (NZE). Salah satu syarat NZE adalah menghentikan operasional Pembangkit Listirik Tenaga Uap (PLTU) yang menggunakan batu bara.
PLTU Cirebon merupakan salah satu penghasil listrik dengan pembangkit batu bara. PLTU ini dijalankan oleh konsorsium pembangkit listrik Cirebon Power.
Menurut laman resmi, PLTU 1 Cirebon berkapasitas 660 MW diklaim menerapkan teknologi ramah lingkungan Super Critical (SC) boiler. Dengan teknologi ini, tahun 2020 Cirebon Power meraih predikat Proper Hijau dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Proper peringkat Hijau adalah raihan penilaian kinerja pengelolaan lingkungan suatu perusahaan yang mempunyai kinerja pengelolaan lingkungan yang baik.
Saat menerima penghargaan tersebut, President Director Cirebon Power Hisahiro Takeuchi mengatakan, untuk meraih peringkat hijau, PT Cirebon Electric Power melakukan penurunan beban pencemar air, Total Suspended Solid (TSS), secara signifikan dengan mengkonversi rezim All Volatile Treatment (AVT) menjadi Oxigen Treatment (OT) pada WTP. Hal ini secara linear menurunkan jumlah limbah B3 yang dihasilkan dan meningkatkan konservasi air.
“Modifikasi ukuran filter pada vibrating screen cukup efektif dalam menyeleksi ukuran batu bara sesuai spesifikasi boiler sehingga menggantikan penggunaan crusher yang kebutuhan energinya cukup besar,” katanya di sela acara seremonial, diakses Rabu, 8 Januari 2024.
Selain itu, Cirebon Power mengklaim secara rutin menjalankan tiga program lingkungan yang dampaknya dapat langsung dirasakan masyarakat sekitar pembangkit, yaitu: bank bibit dan penanaman mangrove. Cirebon Power juga membangun Taman Terbuka Hijau, baru-baru ini. Penanaman dan pemeliharaan mangrove secara berkala memberikan dampak lingkungan yang cukup baik yang dilihat dari indeks diversitas yang naik setiap tahunnya. Hingga tahun 2019, penanaman mangrove setidaknya dilakukan di areal seluas 13,5 hektar.
“Kegiatan ini selain berhasil mengkonservasi energi juga menurunkan emisi Gas Rumah Kaca dalam rangka menangkis dampak perubahan iklim,” sambung Takeuchi.
Cirebon Power merupakan perusahaan konsorsium pembangkit listrik yang mengoperasikan PLTU Cirebon. Perusahaan patungan tiga negara Indonesia, Jepang, dan Korea Selatan tersebut juga menyebut emisi pembangkit Cirebon Power jauh di bawah ambang batas pemerintah.
“Kami juga berhasil menekan gas rumah kaca selalu di bawah 1.00 kilogram (kg) CO2 eq/KWh yang ditentukan sebagai nilai optimal dalam industri pembangkitan listrik,” sebut Takeuchi.
*Kawan-kawan yang baik bisa membaca tulisan-tulisan lain dari Prima Mulia, atau artikel lain tentang PLTU