Mempringati Hari Gerakan Sejuta Pohon, Apakah Hutan Indonesia Masih Lestari?
Pembabatan hutan di Indonesia tak terbendung, apalagi dengan tingginya gairah menanam kelapa sawit yang mengganggu ekosistem alami.
Penulis Yopi Muharam9 Januari 2025
BandungBergerak.id - Jakarta, 10 Januari 1993, hujan membasahi muka ibu kota Indonesia. Saat itu, hari masih pagi. Presiden Suharto diiringi para ajudannya menembus hujan rintik-rintik bergegas menuju lapang Monimen Nasional (Monas) untuk mencanangkan program hari gerakan sejuta pohon.
Di bawah payung berwarna putih, Presiden Suharto memukul kentongan, simbol diresmikannya bahwa setiap tanggal 10 Januari diperingati sebagai hari gerakan sejuta pohon. Di tahun yang sama pula, 1993 diperingati sebagai Tahun Lingkungan Hidup.
Dalam pidato selepas mermukul kentongan, Presiden ke-2 Indonesia ini mengajak seluruh lapisan masyarakat di setiap provinsi untuk menanam pohon hingga melampaui satu juta pohon sepanjang tahun 1993. Gerakan satu juta pohon ini telah menjadi agenda nasional.
Tidak hanya itu, presiden keenam Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menetapkan hari Menanam Pohon Nasional pada tahun 2008, hingga Gerakan Penanaman Satu Miliiar Pohon pada tahun 2012. SBY juga menetapkan Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 2008 tentang Hari Menanam Pohon Indonesia. Sedangkan, Penanaman Satu Miliar Pohon diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.16/Menhut-II/2012.
Suharto mengatakan, dalam kegiatan menanam sejuta pohon ini selaras dengan arah pembangunan jangka panjang bangsa. “Diwujudkan secara bertahap melalui serangkaian Repelita dan ditopang oleh Trilogi Pembangunan,” ujar Suharto seperti kutip di laman kompas.id.
Trilogi yang dimaksud Suhartro antara lain ialah, pemerataan pembangunan; pertumbuhan ekonomi; dan stabilitas nasional. Dalam trilogi pembangunan itu pula, selaras dengan pelestarian lingkungan yang dicanangkan dalam gerakan sejuta pohon.
Pelestarian lingkungan hidup menurut Undang Undang No. 32 Tahun 2009 adalah upaya sistematis dan terpadu untuk mencegah kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup. Upaya tersebut meliputi: perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, hingga penegakan hukum.
Jika melihat pemerintah terdahulu, gerakan ini merupakan upaya dan strategi pemerintah untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup, menghindari deforestasi, degradasi hutan, serta kerusakan lingkungan lainnya. Akan tetapi, apakah hutan di Indonesia masih terjaga hingga kini?
Lanscap Hutan di Indonesia
Potret hutan tropis di Indoensia menurut Forest Watch Indonesia dalam buku bertajuk Potret Keadaan Hutan Indoneisa Periode Tahun 2000-2009 menyebutkan, Indonesia berada di peringkat ketiga setelah Brasil dan Republik Demokrasi Kongo, dengan memiliki luas 1.860.359,67 kilometer per segi daratan.
Sedangkan BPS melaporkan dalam Statistik Produksi Kehutanan kawasan hutan dan konversi perairan di Indonesia memiliki luas 125,921 ribu hektare yang terbagi lima bagian.
Pertama, hutan produksi terbatas memiliki total 21,27 persen; hutan produksi tetap memiliki 23,19 persen; hutan lindung memiliki luas 23,56 persen; hutan produksi yang dapat dikonversikan 10,20 persen; dan suaka alam dan pelestarian alam memiliki 21,78 persen.
Di sisi lain menurut data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dalam buku berjudul ‘Keadaan Hutan Indonesia Tahun 2020’ luas hutan Indonesia 120,3 juta hektare, yang terdiri dari hutan konservasi 21,9 juta hektare, hutan lindung 29,6 juta hektare, dan hutan produksi 68,8 juta hektare.
Indonesia juga memiliki hutan produksi kayu bulat tropis terbesar di dunia dengan luas total 57,93 juta meter persegi. Tiga pulau terbesar penyumbang kayu bulat ialah pulau Sumatera yang menyumbang 36,17 juta meter persegi, disusul oleh Kalimantan 10,65 juta meter persegi, selanjutnya Maluku dan Papua sebesar 1,98 juta meter persegi. Hutan produksi di Indonesia memiliki luas setengah dari total hutan atau sekitar 56,43 persen.
Pada tahun 2020 BPS mencatat terdapat 740 perusahaan berizin yang bergerak di sektor kehutanan. Jumlah itu terbagi ke berbagai sektor, seperti 62 perusahaan memiliki izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu di hutan alam (IUPHHK-HA), sejumlah 318 perusahaan memiliki izin IUPHHK hutan tanaman (HT), dan sebanyak 160 perusahaan termasuk perusahaan penangkapran tumbuhan dan satwa pembohong (TSL).
Baca Juga: Kecamatan Cibiru: Pohon Biru dan Gerbang Kota di Timur Bandung
Cegah Banjir di Bandung dengan Membawa Bibit Pohon ke Bukit
BANDUNG TIDAK LAGI BERKABUT: Timur yang Gersang, Membutuhkan Banyak Pohon Peneduh
Deforestasi Hutan di Indonesia
Luas hutan Indonesia, seiring tahun luasnya kian menyusut oleh pembangunan. Baik itu karena deforestasi untuk proyek strategis nasional seperti di Kalimantan dan Papua, atau karena digantikannya dengan perkebunan kelapa sawit.
BPS mencatat deforestasi hutan di Indonesia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada periode 2019-2020 defortestasi mencaplok hutan seluas 115.459,8 hektare; periode 2020-2021 defortasi mengalami peningkatan seluas 120.705,8 hektare; dan di periode 2021-2022 deforstasi mengalami penurunan menjadi 104.032,5 hektare. Angka tersebut termasuk luas deforestasi baik dalam kawasan dan luar kawasan hutan Indonesia.
Tidak hanya itu, pemerintah di bawah kepemimpinan Prabowo berencana akan membuka hutan seluas 20 juta hektare untuk lahan pangan. Hal itu disampaikan oleh Menteri Kehutanan, Raja Juli Antoni, 30 Desember lalu. Dia mengungkapkan rencana ini telah dibahas secara informal dengan Presiden Prabowo Subianto.
Di lahan seluas itu, menteri dari fraksi Partai Solidaritas Indonesia itu mengatakan ingin menanam padi gogo sebagai basis lumbung pangan dan pohon aren sebagai sumber energi bioetanol.
"Ini bukan hanya food estate besar, tapi juga lumbung pangan kecil di kabupaten, kecamatan, bahkan desa," tuturnya. Bahkan saat ini, deforestasi untuk lumbung pangan sudah dilakukan di Merauke, Papua. Hutan seluas 2 juta hektare itu akan ditanam padi dan perkebunan tebu.
Sedangkan membabat hutan untuk menanam pohon aren sebagai sumber energi bioetanol harus memiliki sumber daya yang besar dan lahan subur. Hal ini dapat berdampak pada keanekaragaman hayati lingkungan, seperti habitat alami.
Sejumlah penelitian menemukan bahwa penggunaan bioetanol dapat meningkatkan emisi gas lain seperti CO2 dan NOx. Ke depannya bioetanol ini akan menggantikan bensin murni.
Bahkan, belum lama ini juga, Presiden Prabowo mengatakan pernyataan yang cukup kontroversial tentang rencana memperluas kebun sawit di hutan-hutan di Indonesia.
Prabowo mengatakan, perkebunan sawit dinilai tidak tidak jauh berbeda dengan pepohonan yang tumbuh di hutan karena dasarnya adalah pohon. Sebaliknya, sejumlah penelitian justru menunjukkan bahwa salah satu dampak paling mencolok dari perkebunan kelapa sawit adalah deforestasi yang melibatkan penebangan hutan secara luas.
Ishmah Nurhidayati, dalam artikel di mertani.co.id menjelaskan perbedaan mendasar pohon sawit dengan pohon yang tumbuh di hutan alias pohon liar. Pergantian hutan dengan pohon sawit akan menghilangkan ekosistem alami yang ada, seperti spesies hewan dan tumbuhan, termasuk orang utan, harimau, dan berbagai jenis burung langka.
Jika disimpulkan, pemerintahan Prabowo untuk ke depannya akan berbanding terbalik dengan upaya yang dilakukan presiden terdahulu. Belum lagi dengan pembebasan di sejumlah hutan di Indonesia akan memicu konflik agraria berkepanjangan.
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat sepanjang tahun 2023 terjadi letusan konflik agraria sebanyak 241 di sejumlah titik di Indonesia. Akibat dari konflik tersebut, Indonesia meduduki peringkat teratas terkait konflik agraria di antara negara Asia lainnya seperti; India, Kamboja, Filipina, Bangladesh, dan Nepal.
*Kawan-kawan yang baik bisa membaca tulisan-tulisan lain dari Yopi Muharam, atau artikel-artikel lain tentang Lingkungan Hidup