Melestarikan Candi Cangkuang dan Kampung Pulo di Tengah Gempuran Modernitas
Candi Cangkuang dan Kampung Pulo menjadi fakta sejarah bagaimana keberagaman terajut sejak lama. Pengaruh Hindu dan Islam bisa ditemukan di kawasan cagar budaya ini.
Penulis Pahmi Novaris 12 Januari 2025
BandungBergerak.id - Di tengah arus modernisasi yang semakin deras, Candi Cangkuang dan Kampung Pulo berdiri kokoh sebagai contoh nyata bagaimana masyarakat dapat melestarikan warisan budaya mereka sambil menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Candi yang diperkirakan dibangun pada abad ke-8 ini bukan hanya menjadi simbol perpaduan antara budaya Hindu dan Islam, tetapi juga mencerminkan komitmen masyarakat dalam menjaga identitas mereka.
Candi Cangkuang terletak di tengah keindahan Danau Cangkuang, di sekitar Kampung Pulo, Kecamatan Leles, Kabupaten Garut. Penemuan candi ini oleh Uka Tjandrasasmita pada tahun 1966 menjadi salah satu momen penting dalam sejarah arkeologi Indonesia. Melalui informasi yang diperoleh dari buku karya Vorderman, candi ini teridentifikasi memiliki dua peninggalan berharga: arca Dewa Siwa dan makam Eyang Dalem Arif Muhammad.
Umar, wakil kuncen Candi Cangkuang, menjelaskan pentingnya penemuan ini. "Candi ini bukan hanya sekadar bangunan, tetapi merupakan pengingat hak masyarakat untuk melestarikan warisan budaya mereka," ujarnya, ditemui BandungBergerak, 13 Desember 2024.
Meski demikian, kesadaran akan keberadaan candi ini masih rendah. Proses pemugaran candi telah mencapai 60 persen, namun hanya 40 persendari batu asli yang ditemukan. "Banyak masyarakat yang tidak tahu bahwa di sekitar mereka terdapat peninggalan bersejarah," tambah Umar, yang mencerminkan tantangan dalam meningkatkan kesadaran akan pentingnya warisan budaya.
Eyang Dalem Arif Muhammad sebagai Jembatan Antara Dua Budaya
Keberadaan Eyang Dalem Arif Muhammad, seorang panglima perang dari kerajaan Mataram, menjadi bagian penting dari narasi budaya di Kampung Pulo. Setelah mengalami kegagalan melawan tentara VOC, ia memilih mengungsi ke pulau kecil di sekitar Danau Cangkuang. Di sana, ia berperan aktif dalam menyebarkan Islam kepada penduduk setempat tanpa menghilangkan budaya Hindu yang telah ada.
"Semua tradisi Hindu tetap dihormati, dan Islam diperkenalkan secara bertahap," jelas Umar, menekankan sikap toleransi dan pengertian yang diwariskan oleh Eyang Dalem Arif Muhammad.
Eyang Dalem juga dikenal sebagai sosok yang mengajarkan berbagai nilai perdamaian dan harmonisasi antarumat beragama. Pendekatannya yang halus dalam berdakwah menciptakan suasana kondusif bagi integrasi budaya.
"Beliau tidak hanya menyebarkan agama, tetapi juga menghormati dan merangkul budaya lokal," tambah Umar. Hal ini menciptakan jembatan antara dua tradisi yang berbeda, yang hingga kini masih terasa di Kampung Pulo.
Baca Juga: Hal Ikhwal Pelestarian Cagar Budaya di Kota Bandung
Nasib Gereja Albanus, dari Markas Teosofi ke Revitalisasi Bangunan Cagar Budaya
Sebuah Rumah Cagar Budaya di Saritem
Tradisi di Kampung Pulo
Kampung Pulo kini hanya dihuni oleh 21 penduduk, terdiri dari 10 laki-laki dan 11 perempuan. Masyarakat Kampung Pulo memiliki aturan ketat yang bertujuan untuk menjaga keseimbangan dan tradisi. Misalnya, masyarakat menetapkan bahwa anak-anak yang menikah harus keluar dari kampung dalam waktu dua minggu.
"Ini adalah salah satu cara kami untuk mempertahankan tradisi dan harmoni di kampung," tegas Umar.
Perempuan di Kampung Pulo juga memiliki hak waris yang diakui, menjadikan anak perempuan Eyang Dalem sebagai pewaris utama. "Larangan-larangan di sini bukan sekadar mitos, tetapi bagian dari upaya menjaga kesucian tempat ini," tambahnya, menunjukkan kekuatan perempuan dalam mempertahankan budaya.
"Kami percaya bahwa perempuan memiliki peran penting dalam melestarikan tradisi dan nilai-nilai yang telah diwariskan oleh nenek moyang kami,” katanya.
Masyarakat Kampung Pulo tetap mematuhi beberapa larangan, seperti tidak membuat rumah beratap jure, tidak memelihara hewan berkaki empat, dan tidak berziarah ke makam pada hari Rabu. "Hari Rabu adalah hari yang kami hormati," kata Umar, menekankan pentingnya menjaga nilai-nilai tradisional.
Kegiatan ritual seperti Rebo Kasan dan Mapag Bulan menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari. "Ritual-ritual ini bukan sekadar tradisi, tetapi bagian dari identitas kami," ungkap Umar.
Berbagai ritual ini tidak hanya berfungsi sebagai upacara keagamaan, tetapi juga sebagai sarana untuk memperkuat ikatan sosial antarwarga. Dalam Rebo Kasan, misalnya, masyarakat berkumpul untuk berdoa dan mempersembahkan hasil bumi sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan.
"Kami merasa lebih dekat satu sama lain saat melaksanakan ritual ini, dan ini adalah saat yang sangat berarti bagi kami," kata Umar.
Pernikahan di Kampung Pulo menggabungkan elemen tradisi Jawa dan Sunda, menciptakan perayaan yang unik. "Pernikahan adalah salah satu momen penting, dan kami ingin merayakannya dengan cara yang sesuai dengan tradisi kami," ujarnya.
Dalam proses pernikahan, masyarakat menjalankan serangkaian prosesi yang melibatkan seluruh anggota keluarga dan warga kampung, menegaskan pentingnya komunitas dalam setiap perayaan.
Masyarakat Kampung Pulo percaya bahwa pernikahan bukan hanya menyatukan dua individu, tetapi juga dua keluarga dan dua komunitas.
"Kami mengajarkan anak-anak kami tentang makna dan nilai dari pernikahan, agar mereka menghargai tradisi yang ada," kata Umar. Ini menunjukkan bahwa masyarakat berkomitmen untuk mempertahankan nilai-nilai yang telah diwariskan oleh nenek moyang mereka.
Menjaga Tradisi di Era Modern
Meskipun banyak pantangan, masyarakat Kampung Pulo tetap terbuka terhadap wisata dan penelitian di Candi Cangkuang. "Kunjungan wisatawan sangat membantu kami, terutama dalam menjaga tradisi dan pelestarian candi," kata Umar.
Dengan adanya wisatawan dan peneliti, masyarakat berharap dapat meningkatkan kesadaran akan pentingnya warisan budaya mereka. "Kami ingin agar masyarakat luar memahami dan menghargai budaya kami," tambahnya.
Wisatawan yang datang ke Kampung Pulo tidak hanya menikmati keindahan alam dan kebudayaan, tetapi juga belajar dari nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat setempat. "Kami berusaha untuk menciptakan suasana yang ramah dan menyambut setiap pengunjung dengan hangat," kata Umar. Hal ini menciptakan interaksi yang saling menguntungkan, di mana masyarakat dapat berbagi pengetahuan dan tradisi mereka sambil menerima wawasan baru dari luar.
Perekonomian di sekitar Kampung Pulo juga mengalami perkembangan. Kios perdagangan yang dibuka oleh masyarakat yang telah keluar dari kampung menjadi sumber penghasilan baru.
"Kami mengikuti perkembangan zaman, tetapi tetap mematuhi adat dan peraturan yang ada," tambah Umar. Kios-kios ini menyediakan berbagai produk lokal, mulai dari kerajinan tangan hingga makanan khas, yang menarik perhatian wisatawan.
Sebelum adanya kios perdagangan, masyarakat bergantung pada bertani dan menangkap ikan. Namun, dengan adanya kios, mereka kini memiliki sumber penghasilan tambahan yang lebih beragam.
"Kami merasa bangga bisa memperkenalkan produk-produk lokal kepada pengunjung," ungkap Umar. Ini menunjukkan bahwa masyarakat Kampung Pulo tidak hanya bertahan, tetapi juga berkembang dengan cara yang berkelanjutan.
Harapan dan Tantangan di Masa Depan
Candi Cangkuang dan Kampung Pulo adalah simbol keberagaman dan toleransi. "Dengan pengelolaan yang baik dan kerjasama antara masyarakat dan pemerintah, diharapkan warisan budaya ini dapat terus dilestarikan untuk generasi yang akan datang," harap Umar.
Masyarakat Kampung Pulo optimis menghadapi tantangan zaman, percaya bahwa dengan mempertahankan tradisi dan budaya, mereka dapat mencapai pembangunan yang berkelanjutan.
Umar menegaskan, "Kami ingin generasi muda memahami pentingnya menjaga tradisi dan budaya. Ini adalah warisan yang harus dijaga." Masyarakat Kampung Pulo sangat bersemangat untuk melestarikan warisan mereka. "Kami ingin agar generasi mendatang bisa mengenal dan menikmati warisan leluhur kami."
Di tengah tantangan globalisasi, masyarakat Kampung Pulo tetap berkomitmen untuk melestarikan nilai-nilai budaya mereka. Mereka memahami bahwa modernisasi dapat membawa perubahan, tetapi bukan berarti harus mengorbankan identitas mereka.
"Kami percaya bahwa dengan mempertahankan tradisi, kami dapat beradaptasi dengan perkembangan zaman tanpa kehilangan jati diri," kata Umar.
Masyarakat Kampung Pulo juga aktif dalam dialog dengan pihak luar, baik melalui program pendidikan maupun kolaborasi dengan lembaga penelitian. "Kami terbuka untuk belajar dari pengalaman orang lain, tetapi kami juga ingin agar budaya kami dihargai dan dipahami," tambahnya.
Ini menciptakan ruang bagi masyarakat untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman, sekaligus memperkuat posisi mereka dalam konteks global.
Menjaga Keberlanjutan Kawasan Cagar Budaya Candi Cangkuang
Candi Cangkuang bukannya tidak punya masalah. Buku “Culture Hertiage Tourism Culture Hertiage Tourism” dengan editor Ute Lie Siti Khadijah dan M. Sapari Dwi Hadian (Unpad Press, Cetakan 1, Januari 2020) memaparkan Candi Cangkuang memiliki daya tarik bagi wisatawan. Bahkan, candi ini merupakan salah satu destinasi unggulan di kabupaten yang memiliki julukan “Swiss Van Java”.
Buku “Culture Hertiage Tourism Culture Hertiage Tourism” menjelaskan, candi ini berjarak 16 kilometer dari arah utara Kota Garut, memiliki luas wilayah sekitar 340,775 hektare. Pada kawasan cagar budaya terdapat situ atau Danau Cangkuang, museum, makam Arif Muhammad yang merupakan penyebar agama Islam kepada masyarakat di sekitanya, Candi Cangkuang, dan Kampung Pulo yang memiliki keunikan jumlah dari rumah tidak boleh bertambah atau berkurang dari 6 rumah dengan 6 keluarga.
“Namun demikian, tidak adanya konsep zonasi dan pemanfaatan pariwisata yang tidak terkendali di kawasan ini menyebabkan ruang-ruang di dalam kawasan menjadi tidak kondusif, menurunnya kualitas visual, sekaligus dikhawatirkan akan terjadi degradasi lingkungan di kawasan Cagar Budaya Candi Cangkuang. Pengembangan Kawasan Cagar Budaya Candi Cangkuang perlu dilakukan untuk menjaga keberlanjutan kawasan Cagar Budaya Candi Cangkuang,” demikian catatan buku “Culture Hertiage Tourism Culture Hertiage Tourism”.
*Kawan-kawan yang baik bisa membaca tulisan-tulisan lain dari Pahmi Novaris, atau artikel lain tentang Cagar Budaya