• Berita
  • Koalisi Masyarakat Sipil Menggugat Menteri ESDM untuk Tidak Melanjutkan Pembangunan PLTU Tanjung Jati A Cirebon

Koalisi Masyarakat Sipil Menggugat Menteri ESDM untuk Tidak Melanjutkan Pembangunan PLTU Tanjung Jati A Cirebon

Pemerintah pusat tidak mengindahkan putusan PTUN Bandung yang sebelumnya telah membatalkan izin lingkungan terkait rencana pembangunan PLTU di Cirebon.

Proyek pembangunan PLTU Cirebon 2, Jawa Barat. (Foto: Walhi Jabar)

Penulis Awla Rajul16 Januari 2025


BandungBergerak.id - Tim Advokasi Hak atas Keadilan Iklim yang terdiri dari LBH Bandung dan Walhi Jawa Barat mengajukan gugatan lingkungan hidup terhadap rencana pembangunan PLTU Jawa 3 atau dikenal dengan PLTU Tanjung Jati A Cirebon ke PTUN Jakarta. Gugatan yang masuk per tanggal 2 Desember 2024 itu dilakukan sebab pemerintah pusat tidak mengindahkan putusan PTUN Bandung yang sebelumnya telah membatalkan izin lingkungan terkait rencana pembangunan pembangkit energi ekstraktif tersebut.
 
Walhi Jawa Barat sebagai penggugat menggugat Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) agar mengeluarkan rencana pembangunan PLTU Tanjung Jati A dari Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030. Meski di lapangan pembangunan PLTU Tanjung Jati belum dilanjut, namun secara administratif, masih tercantumnya rencana pembangunan dalam RUPTL membuat gugatan ini menjadi penting dan strategis.
 
“Ini merupakan gugatan strategis, mengingat pembangunan PLTU Tanjung Jati A kemungkinan akan dilanjutkan, meskipun telah ada putusan pengadilan yang membatalkan izin lingkungannya,” kata Heri Pramono, Direktur LBH Bandung dalam konferensi pers terkait gugatan untuk mencabut rencana pembangunan PLTU Tanjung Jati A Cirebon dari RUPTL 2021-2030 yang diselenggarakan di Sekretariat Walhi Jabar, Rabu, 15 Januari 2025.
 
Heri menerangkan, sebelumnya Tim Advokasi Hak atas Keadilan Iklim sudah mengajukan gugatan izin lingkungan PLTU Tanjung Jati A ke PTUN Bandung dan memenangkan gugatan pada 2022. Putusan tersebut membatalkan izin lingkungan dan telah berkekuatan hukum tetap. Sebab sejak 13 Oktober 2022 izinnya dibatalkan, pemerintah tidak melakukan upaya hukum apa pun.
 
Gugatan dilakukan atas dasar potensi kerusakan lingkungan, pelanggaran hak asasi manusia, serta ketidaksesuaian proyek pembangunan itu dengan komitmen Indonesia untuk mengurangi gas rumah kaca, sebagaimana tercantum dalam Perjanjian Paris. Rencana pembangunan PLTU Tanjung Jati A berkapasitas 2 x 660 MW ini dinilai akan berkontribusi memperparah perubahan iklim.
 
“Melalui dampingan yang kami lakukan, dampaknya itu sangat membebani lingkungan dan ekonomi masyarakat,” kata Heri.
 
Kehadiran PLTU akan berdampak terhadap lingkungan serta membebankan ekonomi negara. Beban ekonomi yang semestinya ditanggung negara ini pada akhirnya akan membebankan ekonomi rakyat. Heri menyebut, banyak cerita dari dampingan masyarakat terdampak PLTU yang merasakan penurunan penghasilan setelah adanya PLTU.
 
Proyek pembangunan PLTU Tanjung Jati A diperkirakan akan menghasilkan lebih dari 480 juta ton emisi karbon. Selama masa operasinya, PLTU Jawa 3 Cirebon ini dinilai akan mengancam kelestarian lingkungan serta berpotensi menimbulkan dampak negatif yang signifikan terhadap lingkungan hidup dalam wujud penurunan kualitas udara, kesehatan publik, penurunan kualitas air laut, serta semakin parahnya perubahan iklim.
 
Selain itu, Heri juga menambahkan, tergugat Menteri ESDM masih belum memberikan balasan terkait gugatan yang dilayangkan. Ia juga menyebut, gugatan dilayangkan ke PTUN Jakarta disebabkan politik hukum pasca-UU Cipta Kerja yang mengatur segala kebijakan mengenai PLTU disentralisasikan ke pusat.
 
“Ini bukan hanya semata gugatan terhadap PLTU, tapi kami juga menagih kewajiban negara terhadap pemenuhan hak atas lingkungan hidup. Ini juga sebagai upaya untuk memajukan langkah ekologis. Pemerintah tidak pernah tuntas dan tegas untuk tidak menggunakan energi batu bara. Tidak sesuai dengan Paris Agreement,” kata Heri.

Baca Juga: Walhi Jabar Tidak Melihat Keseriusan Pemerintah dalam Menghentikan PLTU Batu Bara
Catatan Kritis PLTU Sukabumi, Menuai Petaka dari Batubara
Mudarat PLTU Batu Bara Kita! 

Konferensi pers gugatan mencabut rencana pembangunan PLTU Tanjung Jati A Cirebon dari RUPTL 2021-2030 di Sekretariat Walhi Jabar, Bandung, Rabu, 15 Januari 2025. (Foto: Tangkapan Layar Awla Rajul/BandungBergerak)
Konferensi pers gugatan mencabut rencana pembangunan PLTU Tanjung Jati A Cirebon dari RUPTL 2021-2030 di Sekretariat Walhi Jabar, Bandung, Rabu, 15 Januari 2025. (Foto: Tangkapan Layar Awla Rajul/BandungBergerak)

Merugikan Lingkungan dan Masyarakat
 
Direktur Walhi Jabar, Wahyudin, menegaskan, upaya litigasi yang dilakukan oleh koalisi ini ditujukan untuk melihat ketaatan pemerintah atas keputusan pertama dan melihat komitmen negara terhadap perjanjian paris. Iwang, demikian ia akrab disapa, menyebut energi ekstraktif adalah sektor yang menjauhkan masyarakat dengan lingkungan.
 
PLTU batu bara, lanjut Iwang akan terus memberikan kontribusi buruk terhadap kelangsungan hidup dan kesejahteraan masyarakat sekitarnya. Biaya pemulihan akibat adanya pembangkit ini pun akan semakin besar yang tidak akan sebanding dengan kerusakan yang muncul oleh aktivitas kotornya.
 
“Jangan lagi membangun PLTU karena bebannya tinggi dan akhirnya harus ditanggung oleh masyarakat. Sudah tidak layak lagi PLTU Jawa 3 atau Tanjung Jati A 2x660 MW masuk ke dalam RUPTL yang baru. Kami mendesak tidak ada lagi pembangunan energi ekstraktif di Jawa Barat dan yang eksisting segera ditutup dan tidak menjalankan solusi palsu,” kata Iwang dalam konferensi pers.
 
Perwakilan masyarakat terdampak, Mohammad Dehya Affinas dari Koalisi Rakyat Bersihkan Cirebon (Karbon), mengaku aneh, mengapa masih akan ada rencana pembangunan PLTU ketiga di Cirebon. Padahal PLTU Cirebon 1 sudah mau dipensiundinikan dan PLTU Cirebon 2 baru beroperasi.
 
“Poin kami dari Karbon, tolong PTUN Jakarta agar segera menindaklanjuti gugatan kami, agar Tanjung Jati A ini dikeluarkan dari RUPTL dan lahannya dikembalikan lagi sebagai lahan produktif atau tujuan lain yang berguna untuk masyarakat,” tegas Dehya.
 
Dehya mengeluh, Cirebon saat ini sudah sangat panas, apalagi kalau dibangun PLTU 3. Ia berharap gugatan ini bisa dimenangkan. Sebab, banyak dampak yang sudah dirasakan oleh masyarakat Cirebon pascapembebasan lahan untuk Tanjung Jati A. Nelayan Cirebon mesti melaut lebih jauh. Banyak petani petambak karang mengeluhkan, mereka sangat kesusahan dengan adanya pembukaan akses jalan menuju PLTU Tanjung Jati A. Lahannya banyak digusur, hasil tambak garam pun tidak sebanyak dulu.
 
Berikut tuntutan yang dilayangkan oleh Tim Advokasi Hak Atas Keadilan Iklim:
 
1.  Menteri ESDM untuk mencabut rencana pembangunan PLTU Jawa 3/TJA Cirebon dari RUPTL 2021-2030 atau RUPTL selanjutnya.
 
2.  Transparansi dan keterlibatan masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan infrastruktur energi.
 
3.  Pemerintah pusat tidak mesti memaksakan terus pembangunan PLTU kotor dan juga tidak harus ada rencana pembangunan listrik dengan alternatif baru karena pasokan listrik di Jawa Barat sudah mencukupi.
 
4.  Lahan yang sudah berpindah pada perusahan segera ambil alih negara dan berikan kembali penguasaan haknya kepada masyarakat.

*Kawan-kawan yang baik silakan membaca tulisan lain Awla Rajul atau artikel-artikel PLTU 2 Cirebon 

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//