• Berita
  • Nobar Film Israelism di Perpustakaan Bunga di Tembok

Nobar Film Israelism di Perpustakaan Bunga di Tembok

Sebagai negara dengan populasi muslim terbesar, Indonesia punya kekuatan memboikot produk Israel. Sayang, banyak produk yang dikonsumsi masyarakat sehari-hari.

Nobar dan diskusi film Israelism (2023), Sabtu, 11 Januari 2024 di Perpustakaan Bunga di Tembok, Bandung. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)

Penulis Fitri Amanda 16 Januari 2025


BandungBergerak.idPembantaian (genosida) terhadap warga Palestina terus berlangsung di depan mata dunia. Bagi warga Israel, yang memiliki hati nurani, jelas bahwa apa yang terjadi di Palestina sudah menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan. Ini tercermin di film Israelism (2023), film garapan Erin Axelman dan Sam Eilertsen.

Film Israelism membahas tentang kisah dua pemuda Yahudi Amerika Serikat yang dibesarkan untuk mencintai Israel tanpa syarat. Mereka menyaksikan bagaimana brutalnya Israel memperlakukan rakyat Palestina. Kekejaman Israel akhirnya mengubah pandangan mereka.

Film dokumenter ini telah diputar di berbagai festival film di Amerika Serikat dan memenangkan Brooklyn Film Festival Spirit Award. Sabtu, 11 Januari 2024 film ini juga diputar dan didiskusikan di Perpustakaan Bunga di Tembok, Bandung.

Pengamat Timur Tengah Dina Sulaeman menjelaskan, membaca geopolitik konflik Israel Palestina tidak lepas dari sejarah gerakan Zionisme. Dukungan terhadap ide Zionisme telah tertanam sejak lama, terutama melalui Deklarasi Balfour pada tahun 1917. Dalam deklarasi ini, Inggris menyatakan komitmennya untuk membantu pembentukan "national homeland for the Jewish people" di Palestina meskipun mereka menyadari bahwa wilayah tersebut telah lama dihuni oleh rakyat Palestina.

Dina mengatakan bahwa gagasan ini pertama kali muncul melalui Kongres Zionis pertama yang dipimpin oleh Theodor Herzl. Herzl mengemukakan ide pembentukan negara khusus bagi para Yahudi sebagai respons terhadap antisemitisme yang merajalela di Eropa. Ia bahkan mengusulkan Argentina sebagai alternatif sebelum akhirnya memilih Palestina.

Identitas Yahudi pada masa itu cukup kompleks. Dina menjelaskan bahwa Herzl dalam surat-suratnya kepada para pemimpin Eropa, menggunakan pendekatan kolonialisme untuk mendukung pembentukan negara Yahudi. Namun, banyak yang tidak sepakat kepada Herzl sehingga doktrin agama perlahan mulai digunakan untuk memperkuat klaim atas tanah Palestina dengan menyebut “tanah yang dijanjikan” sehingga hal tersebut menjadi senjata mereka dalam membenarkan kolonisasi, hal ini juga kemudian membangunkan narasi bahwa wilayah Palestina merupakan hak historis dan religius bagi bangsa Yahudi.

“Nah, itu saya pikir ya, ayat-ayat itu bukan cuma di Yahudi, tapi kita juga di Islam juga sering kali ayat-ayat itu dimanfaatkan untuk kepentingan politik dan ekonomi,” ucap Dina.

Dina juga menyoroti film Israelism, bagaimana anak-anak Yahudi di Israel diajarkan sejak dini mengenai sejarah versi Zionis melalui buku-buku pelajaran yang bernarasikan bahwa mereka memiliki hak atas tanah Palestina yang kemudian membangun solidaritas dengan sesama Yahudi di seluruh dunia melalui cerita-cerita dan simbol-simbol identitas nasional, bahkan anak-anak muda Yahudi dari diaspora diberikan perjalanan gratis ke Yerusalem untuk memperkuat hubungan emosional mereka dengan tanah tersebut.

Untuk menghancurkan narasi Zionisme, masyarakat Palestina terus berjuang. Dalam beberapa kasus yang terjadi, Dina mengatakan, interaksi antara pemuda Palestina dan Yahudi dari diaspora berhasil membuka perspektif baru yang membuat sebagian orang Yahudi menyadari realitas akan terjadinya penindasan terhadap rakyat Palestina.

Baca Juga: Perlawanan terhadap Israel Dalam Aksi Diam di Ibu Kota Asia Afrika
Menelisik Kolonialisme Pendudukan Israel terhadap Palestina
Protes terhadap Kolonialisme Israel dalam Aksi Menari Memperingati Hari Lahir Sukarno di Palestine Walk

Peserta nobar dan diskusi film Israelism (2023), Sabtu, 11 Januari 2024 di Perpustakaan Bunga di Tembok, Bandung. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)
Peserta nobar dan diskusi film Israelism (2023), Sabtu, 11 Januari 2024 di Perpustakaan Bunga di Tembok, Bandung. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak) 

Boikot dan Solidaritas Global 

Gita Hastarika, narasumber lainnya dalam diskusi film di Perpustakaan Bunga di Tembok, mengatakan bahwa media memiliki peran besar dalam membentuk opini publik. Beberapa media mainstream internasional khususnya media Amerika Serikat disebut-sebut sebagai pendukung narasi pro-Israel dengan mengabarkan informasi bias. Contoh propaganda dan berita palsu mengenai pemerkosaan dan pembunuhan yang dilakukan oleh warga Palestina, yang kemudian narasi tersebut digunakan sebagai pembenaran atas tindakan keji Israel.

Selain itu, Gita menyebutkan banyak perusahaan multinasional yang berkontribusi secara finansial pada rezim Zionis, baik melalui donasi langsung maupun investasi. Tak terlewat pula media hiburan dan media sosial. Gita mengakui bahwa ia sempat mendapatkan pembekuan akun di media sosial X akibat memposting perihal Palestina.

“Jadi seperti itu gitu dan cara mereka mengatur algoritma-algoritma supaya kita terpapar sama postingan konten-konten yang mereka bikin itu nyata banget,” ucap Gita.

Gita juga menekankan bahwa betapa pentingnya gerakan boikot terhadap perusahaan-perusahaan yang mendukung Israel. Gerakan BDS (Boycott, Divestment, Sanctions) menjadi salah satu senjata utama dalam melawan supremasi ekonomi Zionis. Runtuhnya rezim rasial di Afrika Selatan menjadi contoh ampuhnya tekanan global melalui boikot dan sanksi internasional.

Sebagai negara dengan populasi muslim yang besar, Indonesia memiliki potensi besar untuk mendukung perjuangan Palestina dengan melakukan boikot. Namun, Gita mengungkapkan bahwa tantangan terbesar datang dari mentalitas masyarakat Indonesia yang sudah terjajah secara ekonomi dan budaya. Banyak produk-produk global pendukung Zionisme telah menjadi bagian dari konsumsi masyarakat Indonesia sehari-hari.

“Jadi buat saya sih memang harus sadar kalau proses cuci otak ini tuh bukan cuma terhadap orang Amerika atau di sana, tapi ini juga terjadi di kita juga,” ucap Gita

Gita mengatakan bahwa masyarakat Indonesia terkhusus pemuda juga memiliki peran penting dalam meningkatkan kesadaran akan isu ini. Langkah kecil seperti berbagi informasi yang benar, mendukung media alternatif, dan bergabung dalam gerakan sosial dapat menjadi awal dari perubahan besar.

Genosida terhadap Palestina bukan hanya isu lokal, melainkan isu global yang melibatkan kemanusiaan, ekonomi, dan politik. Solidaritas internasional diperlukan untuk menghentikan rezim segregasi rasial di Palestina melalui gerakan kolektif di seluruh dunia.

*Mari membaca tulisan-tulisan lain dari Fitri Amandaatau artikel-artikel lain tentang Palestina

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//