MAHASISWA BERSUARA: Squid Game Season 2 Mencerminkan Rupa Manipulatif Demokrasi Indonesia
Demokrasi adalah permainan seperti di Squid Game Season 2. Ada yang bermain dengan aturan, ada yang curang, dan ada yang menjadi korban sistemnya sendiri.
Penulis Iman Herdiana19 Januari 2025
BandungBergerak.id - Demokrasi sering disebut sebagai sistem terbaik yang pernah dimiliki umat manusia, terutama setelah kita melalui berbagai sistem tidak adil sepanjang sejarah peradaban. Squid Game Season 2, serial populer eksklusif di Netflix, mengisahkan permainan hidup dan mati yang tidak hanya menunjukkan bagaimana keadilan dijalankan, tetapi juga menyindir sistem demokrasi.
Dengan menampilkan momen-momen voting dan pengambilan keputusan kolektif, menurut saya, film ini mengungkap kelemahan mendasar dalam demokrasi. Kelemahan yang sayangnya sangat akrab bagi rakyat Indonesia.
Menurut laporan Democracy Index 2023 yang dirilis Economist Intelligence Unit, Indonesia berada pada peringkat ke-56 dunia dengan skor 6,53. Artinya, hingga kini Indonesia masih menerapkan tipe flawed democracy atau demokrasi cacat. Meskipun sering dilakukan perbincangan mengenai pemilu Luber Jurdil (langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil), realitanya banyak yang cacat dalam implementasi demokrasi. Dalam konteks Indonesia, praktik politik uang dan oligarki yang memonopoli sistem, serta ketidakmampuan setiap warga yang sama dalam intelektualitas dan akses informasi adalah batu sandungan terbesar bagi perkembangan demokrasi sehat.
Salah satu adegan paling ikonik dalam Squid Game Season 2 bagi saya adalah ketika para peserta harus menentukan nasib mereka melalui voting (pemungutan suara). Di sana, tidak ada tempat bagi jiwa atau hati nurani; suara mayoritaslah yang menentukan. Namun, keputusan ini sering kali didikte oleh tekanan sosial, manipulasi, dan rasa takut. Bukannya menjadi sistem yang memberikan kebebasan kepada individu untuk memilih, demokrasi justru berubah menjadi senjata bagi pihak tertentu untuk mempertahankan bahkan memperkuat dominasinya. Kasus semacam ini sangat lazim terjadi dalam demokrasi di Indonesia, di mana politik uang dan tekanan kelompok tidak terhindarkan, menghasilkan keputusan pemilu yang sering kali merugikan bangsa.
Seperti pada Squid Game yang terlihat memberikan “suara” kepada semua peserta, namun pada akhirnya kebanyakan keputusan tetap dipengaruhi oleh elite global. Meskipun konstitusi dan sistem hukum menjamin setiap warga dengan hak untuk memilih, namun kenyataannya banyak yang tidak memiliki kesempatan untuk memilih karena keterbatasan atau dibatasi pengetahuan.
Bagi saya, inilah yang menjadi inti dari kritik demokrasi dalam Squid Game: sistem yang tampak adil di permukaan, tetapi di bawahnya penuh dengan celah yang dimanfaatkan oleh mereka yang memiliki kekuasaan lebih besar.
Penguasa juga Lapar
Latar belakang para peserta yang mengikuti game itu adalah kaum-kaum tertindas yang sudah tidak memiliki tempat di dunia ini dan memiliki masalah finansial yang buruk. Mereka berpikir walaupun mereka berhenti saat itu lalu melanjutkan hidup di luar game itu sama saja dengan mati. Tidak ada bedanya.
Hal yang paling mengilhami adalah ketika semua peserta terkejut bahwa ini adalah permainan hidup dan mati, semua orang takut dan tidak ingin melanjutkan permainan. Namun sebelum voting, di saat yang bersamaan panitia game memperlihatkan hadiah (uang) yang bisa dibawa pulang oleh para peserta. Sontak banyak peserta yang tergiur dan berubah pikiran dengan hadiah yang ditawarkan. Alih-alih takut, banyak peserta malah berani—mati. Mereka menjadi berpikir lagi apa tujuan awal mereka mengikuti game ini; uang.
Fobia akan kematian berubah menjadi keberanian untuk mengambil risiko demi memenuhi kebutuhan mendasar dan menghindari kemiskinan. Keputusan para peserta di Squid Game menunjukkan bagaimana kebutuhan manusia dapat mengalahkan logika dan rasa takut. Hal serupa terjadi dalam demokrasi—saat rakyat menghadapi kesulitan, mereka mudah tergoda oleh janji politik yang memanfaatkan kesenjangan sosial dan ekonomi.
Menurut data Badan Pusat Statistik atau BPS, tingkat kemiskinan di negeri kita per September 2023 adalah 9,3 persen atau sekitar 26,7 juta jiwa. Angka tersebut artinya masih banyak masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan. Kondisi ini membuka pintu bagi politik uang. Keadaan ekonomi rakyat memungkinkan oligarki untuk membeli suara rakyat.
Menjual Demokrasi Demi Perut
Fenomena dari politik uang dipenuhi stratagem di demokrasi Indonesia itu sendiri. Dalam banyak kasus, suara rakyat “dibeli” dengan imbalan uang tunai, sembako, atau bantuan langsung lainnya. Sebuah laporan dari Indonesia Corruption Watch atau ICW 2023 menemukan bahwa praktik politik uang telah meningkat menjelang pemilu, serta 62 persen kasus pelanggaran pemilu terkait politik uang. Dalil ini memperlihatkan sales pitch ekonomi rakyat saat ini dijadikan alat untuk memperoleh suara tanpa memperhatikan jauh jadwal kegiatan demokrasi itu sendiri.
Para pemimpin, termasuk pejabat dan pengusaha, juga mengalami tanda-tanda “lapar kuasa”. Ketika perut sudah berbicara, para pemimpin benar-benar lupa bahwa setiap keputusan yang mereka ambil harus diambil demi rakyat bukan demi diri mereka. Oligarki dan elite di Indonesia pada umumnya mewujud dalam kekuasaan dan kehidupan ekonomi, sering kali menggunakan negara sebagai suatu taktik untuk memperkecil kebijakan dan mengembalikan keadaan demi menjaga kekayaan pribadi dan sekelompok orang.
The Jakarta Post 2024 melaporkan bahwa sekitar 80 persen kandidat pemilu memiliki afiliasi langsung dengan kelompok elite dan bisnis yang mendanai kampanye mereka. Demokrasi adalah “suara rakyat”, namun pemimpin sering lupa siapa yang memberikan mereka suara pada awalnya.
Memang, di sisi lain, rakyat juga sering lupa terhadap kekuatan mereka. Dalam situasi politik yang dipenuhi uang dan penuh lakon demi keuntungan tertentu, khalayak terbenam dalam berbagai bentuk ilusi bahwa pilihannya tidak akan penting. Padahal, mereka yang paling berkuasa dalam demokrasi adalah rakyat itu sendiri.
Rakyat tidak Semua Pintar
Sistem demokrasi Indonesia menjunjung tinggi kebebasan berpendapat, tetapi kebebasan ini seperti dua sisi mata pisau. Rakyat diminta bijak dalam memilih kandidat dan memahami visi-misi mereka. Namun kenyataannya, banyak yang terjebak dalam politik uang atau janji kosong. Kualitas sumber daya manusia yang beragam, dari yang terdidik hingga yang kurang terdidik, turut mempengaruhi kualitas pemilihan. Suara dari para intelektual dan ahli memiliki bobot yang sama dengan suara mereka yang tidak memiliki pemahaman yang memadai, menciptakan ketimpangan dalam proses demokrasi.
Buku The Federalist Papers (1788) menyoroti potensi "tyranny of the majority," di mana mayoritas bisa menekan hak-hak minoritas. Dalam Squid Game Season 2, karakter Seong Gi-hun berdebat dengan seorang kakek yang hanya peduli pada uang, yang berhasil memengaruhi mayoritas untuk melanjutkan permainan meskipun konsekuensinya fatal. Ini menggambarkan bagaimana suara mayoritas yang kurang berpikir kritis bisa dengan mudah dipengaruhi oleh pihak yang memiliki kepentingan.
Survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) menunjukkan bahwa pemilih dengan pendidikan rendah lebih rentan terhadap manipulasi, termasuk praktik politik uang. Ini mempertegas bahwa kualitas pendidikan dan pemahaman politik di Indonesia sangat memengaruhi kualitas demokrasi. Demokrasi yang berlandaskan pada suara mayoritas menjadi rentan dimanipulasi oleh oligarki yang lebih kuat.
Masalahnya, kebodohan seolah dipelihara. Pendidikan formal sering kali mendikte siswa untuk menjadi tenaga kerja sesuai kebutuhan industri, bukan individu kritis. Akibatnya, daya pikir masyarakat tumpul, melemahkan kualitas demokrasi itu sendiri. Proses pendidikan yang lebih mendikte ketimbang membebaskan juga pada akhirnya mengurangi kualitas berpendapat rakyat dan membungkam demokrasi itu sendiri.
Demokrasi di Indonesia, meski menjanjikan kesetaraan, terlalu mudah dimanipulasi oleh oligarki dan penguasa. Untuk memperbaikinya, pendidikan politik dan kesadaran masyarakat harus ditingkatkan, agar kebebasan berpendapat tidak menjadi alat untuk memelihara kebodohan.
Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Ketahanan Komunitas dalam Konflik Agraria, Pelajaran dari Gerakan Pancoran Bersatu dan Masyarakat Dago Melawan
MAHASISWA BERSUARA: Apakah Akses Internet Seharusnya Menjadi Hak Dasar Masyarakat?
MAHASISWA BERSUARA: Standardisasi Gaya Busana di Lingkungan Kampus, Memang Penting?
Rakyat tidak Semua Bodoh
Dalam Squid Game Season 2, Seong Gi-hun berusaha menemui pembuat game meskipun banyak yang menganggapnya pembual. Namun, keberanian dan kegigihannya menarik perhatian sebagian orang. Sementara itu, sang game master terus mengubah aturan permainan, membuat peserta saling berkonflik dan sulit melawan sistem. Upaya Gi-hun mencerminkan perlawanan individu terhadap sistem yang dirancang untuk mempertahankan kekuasaan.
Kondisi ini serupa dengan situasi politik di Indonesia. Banyak kandidat pejabat awalnya mengaku mewakili rakyat, bahkan terjun ke lapangan untuk membangun kepercayaan. Namun, setelah berkuasa, mereka sering kali terbawa arus sistem yang korup. Janji-janji mereka berubah menjadi egoisme, dan fokusnya bergeser dari melayani rakyat menjadi mempertahankan kekuasaan.
Di tengah keadaan ini, muncul golongan aktivis dan pembela rakyat—mereka yang tidak bisa dibodohi oleh sistem. Orang-orang ini skeptis terhadap kekuasaan dan berani melawan ketidakadilan, mirip dengan perjuangan Gi-hun dalam serial tersebut. Sayangnya, seperti halnya Gi-hun yang dianggap pembual, para aktivis ini sering dipandang sebelah mata oleh rakyat sendiri. Padahal, perjuangan mereka murni demi memperbaiki sistem demokrasi yang cacat.
Menurut survei Kawula17 yang dilaporkan Tempo.co, September 2024, 90 persen masyarakat mengetahui dan berencana ikut Pilkada 2024. Namun, 62 persen dari mereka memiliki tingkat aktivisme politik yang rendah, hanya menjadi penonton pasif. Meski ada kesadaran politik, keterlibatan aktif dalam memperjuangkan keadilan masih minim.
Orang-orang seperti Gi-hun dan para pejuang bangsa di Indonesia mungkin minoritas, tetapi keberadaan mereka membuktikan bahwa tidak semua rakyat mudah dibodohi. Mereka adalah harapan dalam sistem demokrasi yang cacat, melawan penguasa yang lupa bahwa kekuasaan berasal dari rakyat. Di tangan mereka, perjuangan untuk keadilan dan kebenaran tetap hidup.
Demokrasi yang sehat tidak hanya membutuhkan pemimpin yang adil, tetapi juga rakyat yang sadar dan aktif. Di tengah era penuh manipulasi, melawan ketidakadilan memerlukan langkah-langkah nyata untuk menghadapi kekuatan yang menindas dan mengembalikan demokrasi ke prinsip-prinsip dasarnya. Ketika rakyat kelaparan, pemimpin seharusnya terlebih dahulu mengutamakan kebutuhan mereka, bukan bersaing untuk memuaskan kepentingan pribadi.
Menurut saya, seharusnya rakyat lebih bijak dalam memberikan hak suaranya. Tidak mudah diintervensi dan terdistraksi. Walaupun perut sedang berteriak, namun prinsip harus tetap kokoh. Demi terwujudnya demokrasi yang sehat serta adil.
*Kawan-kawan yang baik bisa membaca lebih lanjut tulisan-tulisan tentang Mahasiswa Bersuara