• Berita
  • SABTU SORE #13: Mendengar Kekhawatiran Warga Tampomas di Bawah Bayang-Bayang Mata Bor Geothermal

SABTU SORE #13: Mendengar Kekhawatiran Warga Tampomas di Bawah Bayang-Bayang Mata Bor Geothermal

Gunung Tampomas, Sumedang sudah ditetapkan sebagai lokasi penambangan geothermal. Warga menolaknya karena dampak buruk yang ditimbulkan.

Perilisan film dokumenter Di Bawah Bayang-bayang Mata Bor di kegiatan Sabtu Sore, Perpustakaan Bunga di Tembok, Bandung, Sabtu, 18 Januari 2025. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak)

Penulis Muhammad Akmal Firmansyah21 Januari 2025


BandungBergerak.id - Jawa Barat setidaknya memiliki 331 titik potensi panas bumi yang dianggap sebagai sumber energi baru terbarukan (EBT). Salah satu titik berada di Gunung Tampomas, Sumedang yang telah ditetapkan sebagai Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) sesuai keputusan Menteri ESDM nomor 1456 K/30/MEM/2008. Namun di balik klaim EBT, pertambangan panas bumi justru memiliki dampak negatif seperti ancaman bencana, pencemaran lingkungan, dan penggusuran hak ruang hidup dan lingkungan.

Ancaman dari dampak buruk geothermal dirasakan Eme, warga Desa Cilangkap, Buahdua, Sumedang. Pria yang sudah berpuluh-puluh tahun hidup di kaki Gunung Tampomas ini khawatir dengan eksploritasi panas bumi. Karena itu ia memilih menolak geothermal.

Penulakan pensiunan guru ini bukan tanpa alasan. Sebagian warga yang berprofesi petani bakal mengalami ancaman kekeringan karena pertambangan geothermal sangat boros air tanah, serta belum tentu warga dapat jaminan dari pemerintah.

“Nantinya akan gersang juga itu yang sangat khawatirkan,” kata Eme, di acara diskusi Sabtu Sore #13 yang diawali nonton bareng film ‘Di Bawah Bayang-bayang Mata Bor’  di Perpustakaan Bunga di Tembok, Sabtu, 18 Januari 2025.

Eme dan warga lainnya sudah lima tahun menolak proyek ini demi mempertahankan hak ruang hidupnya. Setelah terdaftar sebagai wilayah kerja panas bumi, pemerintah kemudian memberi izin rencana eksploitasi ke perusahaan swasta dengan mengiming-imingi warga bahwa proyek ini terbaik dan tak berdampak negatif.

“Tambang golongan C pun sangat mempengaruhi dampak-dampak terhadap lingkungan dan masyarakat di sekitarnya apalagi ini proyek galian A (geotermal),” sebut Eme.

Eme dan kawan-kawan pernah melakukan sejumlah aksi penolakan geothermal dengan mendatangi sejumlah kantor birokrasi pemerintahan dari mulai kecamatan, kabupaten, bahkan provinsi agar rencana pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) tidak jadi digarap di daerahnya. Mereka juga menuntut izin dari perusahaan dicabut. 

Meski izin perusahaan telah dicabut, pemerintah kemudian mengambil alih kelola sendiri.  Perjuangan tidak berhenti di situ, Eme memperluas jaringan mempelajari dampak geothermal baik kepada mereka yang wilayahnya telah dilakukan eksplorasi panas bumi atau yang masih direncanakan. Termasuk, mengikuti pelatihan paralegal bersama Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Jawa Barat.

Baca Juga: Jawa Barat Berpangku pada Investasi dan Pertambangan, Ada Indikasi Mengorbankan Lingkungan
Polusi Batu Bara Menimbulkan Berbagai Macam Penyakit di Sekitar Pertambangan Maupun di Wilayah PLTU 

Potensi-Potensi Pelanggaran HAM 

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Pemkab Sumedang merencanakan tahap eksekusi pengembangan PLTP Tampomas sejak 2021. Dari hasil kajian studi Badan Geologi, Gunung Tampomas memiliki sumber daya panas bumi sebesar 100 megawatt (MW) dengan rencana pengembangan sebesar 55 MW.

Pemerintah menggandeng PT Pertamina Geothermal Energi (PGE) untuk memantangkan rencana eksplorasi melaksanakan program WKP Tampomas. Laman resmi menyatakan, pemerintah telah melakukan sosialisasi, koordinasi sampai pegurusan perizinan mulai Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL), Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL), dan Surat Izin Penguasaan Air Tanah (SIPA). Eksplorasi panas bumi ini akan dimulai tahun 2025 [ESDM, diakses 20 Januari 2025]. 

Masih di tahun 2021, warga dari Kecamatan Buahdua dan Kecamatan Conggeang tergabung dalam Gerakan Relawan Tolak Geothermal Tampomas (GRETGET) menyampaikan penolakan atas terbitnya surat permohonan Bupati Sumedang kepada Menteri ESDM tentang lokasi eksplorasi panas bumi Gunung Tampomas yang telah ditetapkan Badan Geologi.

GRETGET mendatangi Kantor DPRD Sumedang dan diterima oleh Ketua DPRD Sumedang 2019-2024, Irwansyah Putra. Mereka menuntut agar pemerintah tidak menindaklanjuti program eksplorasi geothermal, merivisi Perda no.4 tahun 2018 tentang rencana tata ruang wilayah Kabupaten Sumedang sampai dengan 2038, dan menghapus pasal 17 poin 1 “tentang pengembangan jaringan prasarana energi panas bumi gunung Tampomas” [Radar Sumedang, diakses 20 Januari 2025]. 

Pada 2024, Penjabat Bupati Sumedang Yudia Ramli menawarkan geothermal Tampomas dengan nilai investasi 2,6 triliun rupiah dalam agenda tahunan Dinas Penanam Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Jabar melalui West Java Investment Summit (WJIS) 2024. Langkah ini diklaim untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan peningkatan investasi [Tribunnews, diakses 20 Januari 2025]. 

Deti Sopandi, pengacara publik dari PBHI Jabar, mengatakan pemerintah dalam menjalankan program proyek strategis nasional (PSN) selalu memaksakan kehendak. Hal ini terlihat dari upaya-upaya pemerintah saat melelang proyek tersebut di ajang investasi tahunan. Langkah pemerintah dilakukan tanpa mempertimbangkan aspek hak asasi manusia (HAM). Sebab, proyek besar PSN seperti geothermal memiliki potensi pelanggaran HAM. 

Deti menilai, pembangunan geothermal Gunung Tampomas akan menambah panjang konflik agrarian. Dalam prosesnya, pemerintah tidak melibatkan partisipasi masyarakat secara bermakna.

“Sosialisasi tidak bisa dilakukan satu kali, harus mendepankan kepentingan warga, informasi menyeluruh harus diterima oleh warga. Tapi di skala besar proyeknya diam-diam oleh kementerian ESDM melakukan banyak sekali peraturan yang meligitmasi peraturan panas bumi ini,” terang Deti.

Deti menegaskan, apabila masyarakat menolak karena terjadi dampak buruk dari proyek strategis nasional, seharusnya pemerintah menjadikannya sebagai acuan. Di sisi lingkungan, pembangunan pertambangan panas bumi ini memiliki kerentanan tersendiri.

“Sebelumnnya mengalami gempa, atau mungkin dalam perjalanannya ada Sesar Tampomas, kemudian ada penggeboran yang sangat besar memicu (bencana),” tutur Deti. 

Pemerintah, menurut Deti, seharusnya mentaati hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya (ekosob) warga dan tidak memaksakan diri untuk mencari investasi.

*Kawan-kawan bisa membaca artikel-artikel lain dari Muhammad Akmal Firmansyah, atau tulisan-tulisan menarik lain tentang Panas Bumi

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//