Kejomloan Saya adalah Kesalahan Negara!
Saya kemudian sampai di satu titik kesimpulan bahwa persoalan kejomloan kita adalah masalah struktural yang disebabkan oleh pengelolaan negara.
Tofan Aditya
Pengelola Komunitas dan Program BandungBergerak.id, dapat dihubungi di [email protected]
22 Januari 2025
BandungBergerak.id – Hampir tiga tahun sudah saya menjomlo. Usia sudah melewati seperempat abad. Di waktu-waktu kritis ini, tuntutan untuk segera menikah mulai berseliweran. Dari keluarga, teman, bahkan si mantan. Beberapa berkata langsung, yang lainnya menyampaikan lewat gelagat.
Hampir di setiap pekan, ada saja teman yang berbagi momen berbahagia bersama pasangan. Ada yang bertunangan, ada yang akad nikah, ada yang asyik mengasuh buah hati. Bohong kalau saya bilang tidak merasa tertekan. Pasti ada saja perasaan “kena mental” ketika menyaksikan kejadian-kejadian tersebut.
Beberapa teman menghibur dengan berkata bahwa menjadi jomlo adalah sebuah keistimewaan. Katanya, sebagai kaum jomlo kita tidak ada keterikatan apa pun, dengan siapa pun. Bebas. Kita bisa nongkrong, main, dan pergi ke mana saja sesuka hati. Betul, memang betul. Tapi, mau sampai kapan jok belakang motor bebek saya berdebu karena tidak ada yang mengisi?
Perkataan seperti itu tidak sama sekali menghibur saya. Sebagai manusia biasa yang perlu akan senderan. Sesekali saya ingin juga merasakan senderan di bahu, masa iya dengan tembok melulu. Saya juga ingin makan sushi. Konon video video yang saya lihat di Instagram, syarat laki-laki makan sushi adalah punya pacar (ya, kalau pacarnya marah).
Sementara, beberapa teman yang lain lebih dari sekadar berbicara, mereka bertindak. Mereka bergerak mencarikan saya pasangan. Mereka amat bersemangat (bahkan cenderung agresif) mengenalkan saya dengan teman-teman perempuan yang mereka kenal.
Pernah satu waktu teman saya di kantor menunjukkan foto sesosok perempuan. Putri Solo. Pas. Dari cerita teman, sepertinya perempuan ini akan cocok dengan kelakuan saya yang tengil dan berantakan. Tapi, saya tolak tawaran tersebut mentah-mentah. Bukan karena merasa sok ganteng dan jual mahal, apalagi dendam kesumat akibat Perang Bubat. Bukan sama sekali. Saya menolak karena dia keturunan adipati, keturunan ningrat. Terlalu jomplang! Kelas sosial kami sungguh berjarak bagai hubungan Pak Jokowi dan Bu Mega.
Dan, masalah perbedaan kelas sosial melulu jadi alasan utama saya minder dalam mencari pasangan. Dengan apa yang dimiliki sekarang, saya merasa belum layak saya bersanding dengan perempuan mana pun.
Saya yakin, perasaan semacam itu bukan hanya saya sendiri yang merasakan. Sebagai negara, yang dilansir Good News From Southeast Asia, dengan jumlah penduduk jomlo terbanyak se-Asia Tenggara (61.104.880 orang), kabarnya faktor utama memilih tetap sendiri adalah masalah finansial yang belum matang. Artinya, dalam urusan hubungan, ekonomi memegang peran penting.
Baca Juga: Untungnya Musik Universal, Akmal Mungkin Tidak Menyadarinya
Surat Buat Mbak K
Perkara Sastra di Ruang Pendidikan Kita
Nasib Hubungan, antara Cinta dan Ekonomi
Sepasang muda-mudi saling jatuh cinta. Memadu kasih dalam jangka waktu yang lama. Rela memberikan dunianya masing-masing demi sang pasangan. Tapi, adakah jaminan mereka bisa melanjutkan ke hubungan yang lebih serius? Belum tentu.
Saya bisa pastikan itu setelah banyak mendengar cerita teman yang gagal menikah. Nyatanya, bukan kurangnya cinta yang bikin kandasnya hubungan, tapi faktor-faktor lain. Cinta adalah satu hal dan bukan satu-satunya syarat menjalin sebuah hubungan.
“Hanya orang yang beruntung jika bisa saling mencintai lalu menikah,” tulis Puthut EA dalam novel Seorang Laki-Laki yang Keluar dari Rumah.
Cinta, ya, cinta. Menikah, ya, menikah. Cinta bisa saja hanya menyangkut perasaan dua orang. Sedangkan menikah, lebih rumit dari itu, bisa menjadi urusan dua keluarga, bahkan juga tetangga. Andaipun cinta sebesar bumi dan seluas lautan, kalau mama-papa atau calon mertua tidak memberi restu, ya repot juga. Paling banter ya ada dua pilihan ending: menyerah dengan keadaan atau melawan dengan kawin lari.
Menyoal urusan dengan tetangga, menikah juga jadi ajang adu gengsi. Sebagai orang kampung, pernikahan selalu identik dengan pesta yang mengundang semua tetangga dari semua penjuru. Harus punya wajah yang tebal dan telinga yang tahan banting agar sanggup mendengar celoteh para tetangga (yang tidak terundang).
Saya enggan mengakuinya, tapi menjalin hubungan memang harus realistis juga. Cinta tidak akan cukup membikin perut pasangan kenyang. Harta memang tidak menjamin kebahagiaan, tapi (dalam situasi hari ini) bisa menjamin kelangsungan hidup. Intinya, kita harus memiliki ekonomi yang stabil agar hubungan bisa bertahan dari hantaman kebutuhan sehari-hari yang makin kejam.
Namun pertanyaannya, siapa yang bertanggungjawab atas ekonomi masyarakat kita? Ya, negara.
Saya kemudian sampai di satu titik kesimpulan bahwa persoalan kejomloan kita adalah masalah struktural yang disebabkan negara.
Negara yang Memberatkan Kaum Jomlo Punya Pasangan
Ada orang yang bekerja sedikit dan mendapatkan uang banyak. Ada orang yang bekerja keras dan (beruntung) mendapatkan uang banyak. Ada pun orang yang mau bekerja sekeras apapun tidak akan bisa mendapatkan uang banyak.
Begitulah realitas hidup di negara +62 ini. Jurang antara yang berduit dan minim duit semakin senjang. Mengutip dari riset Celios, kekayaan 50 orang terkaya sama dengan kekayaan 50 juta orang biasa. Edan!
Kesenjangan seperti demikian disebabkan oleh banyak hal. Namun, satu yang ingin saya soroti adalah kebijakan politik yang hampir tidak pernah mengakomodir kepentingan orang biasa. Harga sandang, pangan, dan papan terus melambung. Negara bikin kebijakan apa yang diperuntukkan untuk orang-orang seperti kita? Tapera? Hm.
Dalam program Tapera, pemerintah mewajibkan kelompok pekerja dengan penghasilan sama atau lebih dari upah minimum untuk membayar iuran bulanan sebesar 3 persen dari pendapatan mereka. Buruh dipaksa memangkas kebutuhannya demi penyediaan rumah bagi masyarakat. Negara mengalihkan tugas penyediaan hunian menjadi tanggung jawab warga negaranya.
Sekalipun hanya 3 persen, jelas ini bermasalah. Gaji pekerja, yang lebih dulu dipotong untuk program Jaminan Kesehatan Nasional dan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, akan semakin mengecil. Pada akhirnya akan menurunkan tingkat konsumsi masyarakat. Ujungnya, berdampak negatif pada Produk Domestik Bruto (PDB) dan semakin memperparah kondisi ekonomi.
Kemudian, akankah kita mendapatkan rumah dari program tersebut? Saya tidak terlalu yakin. Besaran iuran sebenarnya hanya masalah turunan. Masalah utama Tapera justru ada pada konsep dan skema penyelenggaraannya.
Dalam Editorial Tempo pada 31 Mei 2024 berjudul Salah Arah Program Penyediaan Rumah, latar belakang pemberlakuan Tapera adalah backlog perumahan alias defisit ketersediaan rumah milik dan layak huni, terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Faktanya, defisit perumahan juga dipengaruhi oleh rendahnya permintaan, tak meratanya pembangunan wilayah, hingga inflasi di sektor konstruksi. Beragam permasalahan tersebut perlu ditangani dengan peningkatan daya beli kelompok masyarakat berpenghasilan rendah, perencanaan pengembangan permukiman yang terintegrasi, serta stabilitas perekonomian.
Kebijakan Tapera juga bukan suatu hal yang baru, pemerintahan era Suharto pernah membuat program serupa dengan nama Taperum-PNS (Tabungan Perumahan Pegawai Negeri Sipil) pada tahun 1993. Uangnya jadi rumah semua? Tidak. Setelah diaudit (pasca runtuhnya Suharto), ada temuan bocor ratusan miliar.
Sulit rasanya kembali percaya uang yang dikumpulkan pemerintah hari ini tidak dikorupsi lagi. Apalagi kalau mengingat banyak sekali program pemerintah yang memerlukan dana besar seperti Ibu Kota Nusantara dan Proyek Strategis Nasional. Bisa-bisa tabungan kita ini justru dialihkan ke program-program yang sebetulnya bukan untuk kita.
Kalau (jaminan) rumah tidak ada, bagaimana kami para jomlo bisa jadi idaman calon mertua?
Program Buat Jomlo Hanya Sekadar Gimik
Sebelum lanjut, mari main tebak-tebakan. Jika ada yang lebih mengenaskan dari nasib para jomlo, apakah itu? Betul, jawabannya adalah Taman Jomblo (ini memang pemerintah daerah sengaja atau tidak tahu bahasa Indonesia yang baik dan benar? Kok bisa-bisanya ada huruf "B" nyempil di sana).
Di tanah seluas 25x25 meter di bawah Jalan Layang Pasopati, Bandung, ada sebuah taman yang berisikan sekitar 60 kubus yang digunakan sebagai tempat duduk dengan ukuran 70 cm sampai dengan 1 meter. Taman yang aslinya bernama Taman Pasopati ini berdiri dan dikenalkan Ridwan Kamil (RK) pada tahun 2014. Menurut siaran di media, tujuan RK membuat taman ini agar jomlo di Bandung menjadi paling bahagia se-Indonesia.
Sepuluh tahun taman tersebut ada, faktanya saya tidak pernah merasa bahagia dengan kehadiran Taman Jomblo. Tidak terurus, kotor, dan bau pesing. Belum lagi tempatnya sulit buat parkir dan ruang-riung. Saya kesal dengan RK yang menjadikan jomlo sebagai dalih pembangunan yang tampak seperti buang-buang anggaran ini.
Bukan hanya Bandung, Jakarta juga sempat bikin program khusus jomlo ketika Anies Baswedan menjabat gubernur. Kartu Jakarta Jomblo (lagi-lagi dengan “B”), namanya. Program yang diluncurkan pada tahun 2017 ini bertujuan untuk, menurut Sandiaga Uno, mencegah penurunan populasi di Jakarta dengan dalih kesibukan.
Program ini sudah sangat pasti mendapat kritik habis-habisan. Bukan hanya dari para Jomlo, tapi juga pakar demografi. Dalam wawancara bersama BBC, Prijono Tjiptoherijanto mengungkapkan bahwa persoalan jomlo tidak punya hubungan kuat dengan angka kelahiran, karena ada orang yang memilih tidak menikah tapi punya anak dan ada juga yang memilih menikah tapi tidak punya anak. Lagi pula, penduduk Jakarta sudah terlalu banyak dibandingkan dengan luas wilayahnya. Terlampau padat.
Menurut pendapat saya pribadi, apa yang telah dilakukan pemerintah di dua kawasan tersebut adalah penghinaan bagi kaum jomlo. Mereka seolah-olah menjadi “si paling tahu” soal keluh-kesah kami para jomlo generasi now.
Kami tidak perlu sampai dibuatkan tempat khusus untuk bahagia. Kami tidak perlu di-comblang-kan untuk bisa mendapatkan pasangan. Kami tidak senang ketika negara ikut campur dalam urusan privat, apalagi dengan mencatut status kami ini.
Kami tidak akan muluk-muluk menuntut pemerintah Indonesia seperti Korea Selatan yang sanggup memberikan dana 650 ribu Won atau sekitar Rp 7,3 juta per bulan bagi anak-anak muda yang jomblo dan kesepian. kami hanya meminta pemerintah mampu membuat kota yang layak untuk menjalankan aktivitas sehari-hari. Minimal ketika saya stres memikirkan calon pasangan yang entah siapa, lingkungan kota tidak menambah stres pikiran kami.
Pemerintah bisa mulai dengan membangun sarana transportasi publik yang memadai, membuat pedestrian yang layak bagi pejalan kaki, dan membuat ruang-ruang kumpul yang inklusif bagi siapa pun. Selain semua pihak akan berbahagia, mungkin saja kami bertemu jodoh di tempat-tempat tersebut.
Selain itu, persoalan ekonomi (yang sebelumnya saya sebut sebagai akar masalah) harus segera dituntaskan. Caranya seperti apa, ya kalian yang di gedung dewan sanalah yang pikirkan. Kalian dibayar untuk itu, kok malah tanya balik kami. Tugas kami hanya menuntut dan mengkritik. Kami sudah ribet dengan urusan menyambung hidup dan menabung masa depan. Jangan ditambah-tambah!
Satu lagi, sebagai pekerja media, saya harap pemerintah tidak banyak tingkah deh. Bikin kerjaan tambah banyak saja. Kalau begini terus, kapan saya punya waktu buat cari pasangan?
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain Tofan Aditya, atau tulisan-tulisan lain tentang politik