• Berita
  • Kaum Hawa Mengawal Buruh Pabrik Kasur Menuntut Pesangon 100 Persen

Kaum Hawa Mengawal Buruh Pabrik Kasur Menuntut Pesangon 100 Persen

Kaum hawa mendampingi suami-suami mereka, buruh pabrik kasur Cimincrang yang di-PHK sepihak. Mereka berdemonstrasi di tenda darurat.

Kaum hawa mendampingi para buruh PT Gadingmas Wirajaya (PT GMW) berunjuk rasa setelah di-PHK sepihak, Jalan Cimincrang-Rancasagatan, Kota Bandung, Jumat, 24 Januari 2025. (Foto: Yopi Muharam/BandungBergerak)

Penulis Yopi Muharam27 Januari 2025


BandungBergerak.idHujan deras terus mengguyur tenda yang didirikan para buruh pabrik kasur PT Gadingmas Wirajaya (PT GMW), Cimincrang, Bandung. Sebanyak 22 orang buruh dipecat secara sepihak oleh perusahaan. Mereka mendirikan posko darurat dan berdemo menuntut agar pesangon mereka dibayar 100 persen.

Di tengah hujan deras itu, tiga orang ibu setia menemani para suami yang berdemo. Sejak pagi pukul 08.00 mereka sudah memadati pelataran pabrik untuk meminta hak mereka. Para ibu bertekad berdemo sampai hak-hak suami mereka terbayarkan.

Mereka adalah Lia Yulia (41 tahun), Anah (46 tahun), dan Riska (27 tahun). Dengan semangat para ibu terus berdiam diri hingga malam tiba. Lia bahkan dengan membawa sang anak yang masih berumur 5 tahun.

Suami Lia sudah sudah bekerja selama 21 tahun di bagian pembuatan kasur springbed. Semenjak pemecatan pada 24 Desember 2024 lalu, hingga kini sang suami belum mendapat pemasukan lagi.

“Saya menuntut hak suami saya. Menuntut biar perusahaan tahu, selama satu bulan suami saya berjuang, saya tidak ada neko-neko, cuma minta hak-hak saya untuk dibayar,” ujar ibu rumah tangga itu, Jumat, 24 Januari 2025.

Lia memiliki tiga orang anak. Anak sulungnya baru saja lulus dan belum mendapat pekerjaan. Sementara anak keduanya masih sekolah di kelas 1 SMA. Belum lagi, tanggungan Lia harus menyekolahkan si bungsu yang sebentar lagi mau masuk ke Taman Kanak-kanan (TK).

“Yang jadi masalah kan saya juga butuh biaya untuk anak-anak saya,” keluhnya sembari memeluk anaknya.

Di sisi lain Anah juga merasakan hal yang sama dengan Lia. Suaminya sudah bekerja selama 11 tahun. Satu divisi dengan suami Lia. Anaknya ada dua. Si sulung baru saja tamat sekolah. Sedangkan si bungsu masih duduk di bangku sekolah.

Semenjak suaminya dipecat ia tak punya penghasilan lagi. Ia pun merapatkan barisan bersama suami untuk berdemonstrasi. “Saya akan berdemo di sini sampai pesangon suami saya dibayar,” tegasnya.

Sementara itu, Riska, ibu yang paling muda di antara para ibu yang berdemonstrasi mendapati nasib serupa. Suaminya, sudah bekerja selama 6 tahun. Anak-anak Riska masih kecil. Anak sulungnya masih duduk di bangku sekolah dasar. Sedangkan si bungu baru saja menduduki kelas di TK.

Riska mengeluhkan semenjak suaminya dipecat dan belum menerima pesangon, keluarganya hidup serba pas-pasan. “Sekarang setelah pemecatan mau makan juga susah, da enggak ada pemasukan banget,” keluhnya.

Mereka berdemo memiliki tujuan yang sama, yaitu menuntut pembayaran pesangon suaminya. “Jadi tolong dibayar, jangan digantung begini. Dibayar secepatnya. Sudah pusing ah,” jelasnya, diiringi sorak-sorai para ibu yang lainnya.

Baca Juga: Demo Buruh Pabrik Kasur Cimincrang, Mendirikan Tenda di Gerbang Pabrik demi Menuntut Pesangon karena Di-PHK Sepihak
Kecamatan Kiaracondong: Perang Buruh Kereta dan Lagu Leo Kristi
Usai Lebaran, THR 1.142 Buruh di Bandung Belum Dibayar

Kejelasan Pembayaran

Sejak pemecatan satu bulan lalu, hingga sebulan lamanya mereka belum menerima pesangon sepeser pun. Hal tersebut membuat gundah rumah tangga para pekerja yang sudah berkeluarga.

Dari 100 persen pembayaran, awalnya perusahaan hanya menyanggupi membayar 0,25 persen saja atau seperempat dari keseluruhan pesangon. Lantas hal tersebut pun ditentang oleh para pekerja.

Terkait pesangon pun pembayarannya berbeda-beda, tergantung jenjang masa lama kerja. Salah satunya adalah Umar (46 tahun) yang sudah bekerja selama 21 tahun. Pesangon Umar jika dibayar 100 persen, mencapai 73 juta rupiah. Tetapi awalnya perusahaan hanya mampu menyanggupi membayar seperempatnya saja atau jadi 26 juta rupiah.

Para buruh telah bermediasi dengan pihak perusahaan dan melibatkan Federasi Serikat Buruh Garmen, Kerajinan, Tekstil, Kulit, dan Sentra Industri afiliasi Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (FSB Garteks KSBSI) sebagai advokasi. Para buruh juga melaporkan kejadian tersebut ke otoritas tenaga kerja. Pesangon mereka ditambah jadi 0,5 persen.

“Sesudah itu kami ada konsol dengan pihak tenaga kerja, jadi 0,5 atau 53 juta (rupiah),” ujarnya, saat ditemui di posko darurat.

Sebetulnya, dengan keringat yang sudah dikucurkan, bahkan saat pabrik ini berdiri pertama kali di Cimincrang pada 2001 silam, Umar merasa tidak cukup. “Pertama kali saya bekerja di sini, perusahaan masih merintis,” tuturnnya.

Sekarang PT GMW sudah melebarkan sayap perusahaanya ke sejumlah kota besar di Indonesia, seperti; Jakarta, Semarang, dan Surabaya. Alasan utama mereka dipecat disebabkan karena perusahaan terus merugi selama dua tahun berturut-turut.

Tidak hanya itu, Umar memiliki empat anak. Tiga di antaranya masih harus dibiayainya. Dengan keterbatasan umur untuk mencari pekerjaan lain, membuat sulitnya mendapat pemasukan bulanan. Dia pun berencana ketika pesangon sudah dibayarkan, Umar akan membuka usaha sendiri.

“Kalau udah dibayar saya akan buka usaha sendiri,” jelasnya. Permasalahan lain juga muncul ketika pihak pengacara mencoba mengintervensi keputusan final terkait pesangon.

Nanang Wahidin, perwakilan DPC Garteks KSBI Kota Bandung menyebut angka tersebut berubah lagi ketika pihak pengacara perusahaan masuk ke dinas tenaga kerja. “Tapi ketika ditangani oleh pihak lawyer, masuk ke dinas tenaga kerja itu berubah angkanya hanya menjadi 0,37 persen,” jelasnya.

Akan tetapi, setelah berusaha melobi karena sebab ketidaksesuaian, para buruh dan Garteks KSBI mendesak lagi agar angka pesangon ditetapkan menjadi 0,5 persen. Alhasil desakan tersebut dimenangkan oleh buruh. Permasalahan berikutnya adalah terkait jenjang masa pembayaran.

Saat hari mulai gelap, tepatnya pukul 18.30, pihak pengacara perusahaan mendatangi para buruh di posko. Mereka berunding terkait tenggat pembayaran yang harus dibayar kepada para buruh. Rencana awal perusahaan akan membayar pesangon dengan cara dicicil persatu bulan sekali selama enam bulan.

Karena dinilai terlalu lama, para buruh pun mendesak agar tenggat waktu disekaliguskan. Pada Sabtu, 25 Januari 2025 sore, pihak buruh dan pengacara perusahaan kembali mendatangi kantor dinas tenaga kerja untuk merundingkan permasalahan pembayaran pesangongon.

Saat dihubungi kembali oleh BandungBergerak, mediasi yang diwakili oleh dua pengacara, lima perwakilan buruh, dan dua mediator dari tenaga kerja, Wawan mengatakan kesepakatan bahwa mereka tetapi akan dibayar 0,5 persen dengan jenjang waktu dua bulan.

“Tinggal kita lihat hari Jumat. Apakah mereka menjalankan komitmen yang disepakati atau wanprestasi,” ungkapnya saat dihubungi diseluler percakapan, Minggu 26 Januari 2025.

Mereka pun medesak agar cek pencairan agar diberikan paling lambat hari Senin 27 Januari 2025. “Iya betul dan chek-nya kita minta paling lambat hari Senin,” lanjutnya.

BandungBergerak sudah mencoba menemui pihak perusahaan dengan menanyakan ke satuan pengaman (satpam). Satpam tersebut mengatakan bahwa pihak manajemen atau pemilik perusahaan sedang tidak berada di pabrik.

Tidak hanya itu, BandungBergerak juga menanyakan ke komandan regu (Danru) bernama Hilman Hamdani terkait keberadaan pihak manajemen atau pemilik perusahaan. Hilman mengataka bahwa mereka berada di dalam perusahaan, tetapi tidak bisa ditemui karena sedang rapat internal.

“Belum bisa ditemui buruh dan wartawan, karena masih membereskan di dalam (internal),” ujarnya.

Para buruh PT Gadingmas Wirajaya (PT GMW) berunjuk rasa setelah di-PHK sepihak, Jalan Cimincrang-Rancasagatan, Kota Bandung, Jumat, 24 Januari 2025. (Foto: Yopi Muharam/BandungBergerak)
Para buruh PT Gadingmas Wirajaya (PT GMW) berunjuk rasa setelah di-PHK sepihak, Jalan Cimincrang-Rancasagatan, Kota Bandung, Jumat, 24 Januari 2025. (Foto: Yopi Muharam/BandungBergerak)

Kelurahan Para Buruh

PT GMW merupakan perusahaan yang berfokus pada produksi poliuretan fleksibel atau busa yang terbuat dari polimer yang dihasilkan dari reaksi poliol dan isosianat. Perusahaan ini telah berdiri pada tahun 1996. Pada tahun 2001, PT GMW mendirikan pabrik pertamanya di Cimincrang, Kota Bandung.

Sebanyak 150an buruh telah mendabdi bertahun-tahun. 75 buruh di antaranya adalah warga asli Cimincrang-Rancasagatan. Para buruh yang bekerja di sana, sebelum ditetapkan sebagai pekerja tetap, merupakan buruh harian atau kontrak dengan rentang per tiga bulan. Sedangkan terkait gaji, para buruh dibayar perdua minggu sekali dengan gaji lebih dari 2 juta.

Cimincrang merupakan salah satu kelurahan yang masuk wilayah Kecamatan Gedebage. Opendata Bandung menjelaskan, kecamatan Gedebage memiliki luas 965,738 hektare, sekaligus menjadi kecamatan terluas di antara 30 kecamatan yang ada di Kota Bandung. Selain Cimincrang, kelurahan di Gedebage terdiri dari Cisarantren Kidul, Rancabolang, dan Rancanumpang. Cisarantren Kidul menjadi kelurahan paling luas di kecamatan ini, yakni 413,141 hektare.

Mengutip dari laman Badan Pusat Statistik (BPS) yang sudah diperbarui 21 Agustus 2024, populasi warga Cimincrang berjumlah 4.353, di antaranya 2.204 laki-laki dan 2.149 perempuan.  

Sementara itu, jumlah pekerja swasta atau buruh di Kecamatan Gedebage berjumlah 7.192 orang. Jumlah tersebut mejadi yang terbanyak di antara jenis pekerjaan lainnya, seperti; PNS 1.215 orang, TNI/Polri 352 orang, karyawan BUMN/D 581 orang, tenaga medis 158 orang, wiraswasta 2.410 orang, medis 479 orang, dan lainnya 2.72 orang. Sementara yang menganggur atau belum bekerja sebanyak 8.439 orang dan mengurus rumah tangga 7.822 orang.

*Kawan-kawan dapat membaca karya-karya lain dari Yopi Muharam, atau artikel-artiikel lain tentang Kelas Buruh

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//