Menerka Tantangan Pergerakan Sipil di Tangan Pemerintahan Prabowo-Gibran
Konsolidasi politik elemen sipil harus menjadi agenda pertama untuk menghadirkan gerakan politik alternatif demi mendobrak sistem politik yang saat ini bermasalah.
Dhien Favian A
Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Airlangga Surabya
28 Januari 2025
BandungBergerak.id – Hari Minggu, tanggal 20 Oktober 2024, Indonesia telah resmi melakukan transisi kepemimpinan. Kepemimpinan nasional yang sebelumnya dipegang Joko Widodo-Ma’ruf Amin kini resmi berpindah tangan kepada Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Transisi ini memang sudah diagendakan sejak awal –terutama Jokowi dan para oligarki– supaya pemerintahan selanjutnya akan berlanjut pada tokoh yang dikehendaki oleh Istana sendiri, yaitu Prabowo Subianto. Dengan demikian, pemberian tongkat estafet kepemimpinan kepada presiden terpilih periode 2024-2029 sudah digambarkan oleh pepatah orang-orang terdahulu yang menyebutkan bahwa “Pemilu di Indonesia sudah diprediksi hasilnya bahkan sebelum pencoblosan”.
Satir ini muncul bukan tanpa alasan. Berbagai manuver “licik” Istana untuk memenangkan pasangan calon tertentu dijalankan secara terang-terangan, bahkan dengan keterlibatan Jokowi secara langsung sekalipun. Diawali dengan pembajakan Mahkamah Konstitusi (MK) oleh Anwar Usman, berbagai skenario untuk membajak “kontestasi politik terbesar” di Asia Tenggara ini terus berlanjut. Putusan MK 90/2023 yang “memuluskan” langkah Gibran sebagai calon wakil presiden –meski harus diubah peraturannya secara sepihak– menggambarkan bagaimana Jokowi membiarkan praktik itu berlangsung. Praktik nepotisme ini bahkan tidak bisa dihentikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ataupun MK sebagai penyeimbang kekuasaan karena mereka semua sudah “dikooptasi” oleh pendukung Presiden.
Selain nepotisme, intervensi aparat negara –dari penjabat kepala daerah, kepolisian, hingga kejaksaan– juga digencarkan secara masif untuk mengarahkan dukungan kepada paslon Prabowo-Gibran. Pembagian bansos menjelang pemungutan suara, penekanan politik kepala daerah, hingga ancaman kasus hukum kepada “lawan politik” menjadi sekian praktik yang sengaja digerakkan hingga membuat kompetisi pemilu menjadi sangat tidak imbang. Alhasil, kemenangan Prabowo-Gibran tidak terhindarkan –di samping sekian kontroversi yang menghinggapi mereka, baik itu “pelanggar HAM” dan “anak haram konstitusi”– dan majunya Prabowo dikhawatirkan akan memperparah kemunduran demokrasi Indonesia.
Baca Juga: Mempertanyakan Keberadaan Para Artis di Panggung Politik
Begal Demokrasi dan Amarah Kelas Menengah
Membangun Kesadaran Politik Warga Negara untuk Menyelamatkan Demokrasi di Indonesia
Nasib Demokrasi di Indonesia
Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan. Kemunduran yang ditimbulkan oleh Jokowi berlangsung sangat parah hingga membuat perlawanan sipil tidak mampu melawan balik serangan tersebut. Revisi UU KPK, kooptasi partai politik, penekanan masyarakat sipil, hingga politisasi hukum, menjadi sekian taktik yang dilakukan rezim Jokowi dalam memuluskan kepentingannya. Ini juga termasuk menancapkan “dinasti politik” untuk melalui penempatan Gibran dan Bobby sebagai kepala daerah aktif di sela-sela periode kepresidenannya –yang membuat politik di Indonesia semakin “kotor” karena condong pada kekuasaan. Di tangan Prabowo, bukan tidak mungkin bahwa sentralisasi kekuasaan antara presiden dengan DPR akan terulang kembali.
Sebagai upaya untuk menerka “nafas gerakan” sipil di era pemerintahan Prabowo-Gibran, ada aspek penting yang perlu dianalisis dalam meninjau kekuatan mereka sebagai watchdog kekuasaan, yaitu resistensi masyarakat sipil di tengah kooptasi kekuasaan. Merespons wawancara Made Supriatma di situs Konde.co, tidak bisa dipungkiri bagaimana Prabowo merangkul para “eks-aktivis” ke dalam kabinetnya dengan maksud untuk memperoleh legitimasi dari elemen sipil sekaligus menghilangkan stigma otoritarian dari rezimnya. Tokoh seperti Faisol Riza, Budiman Sudjatmiko, hingga Agus Jabo kini menduduki jabatan strategis yang diberikan oleh Prabowo dan fenomena ini lagi-lagi menjadi cibiran publik akan tokoh-tokoh aktivis yang akhirnya mendukung “mantan penculik” mereka. Hal ini setidaknya bisa dijelaskan dari kakunya karakter para aktivis serta absennya gerakan politik alternatif dari masyarakat sipil.
Pada bagian karakter, aktivis memang dididik untuk mengorganisir masyarakat dan mengadvokasi kebijakan publik dari luar dan banyak di antaranya yang mengambil jalur organisasi mahasiswa ataupun organisasi non-pemerintah (NGO). Namun setelah meninggalkan dunia itu, sering kali pilihan hidup mereka sangat terbatas untuk mewujudkan perubahan sosial dikarenakan tidak banyak tersedianya jalur karier yang pas untuk itu. Alhasil, jalur politik menjadi satu-satunya jalur yang bisa menawarkan akses untuk melanjutkan misi tersebut, dengan banyak dari mereka yang masuk ke pemerintahan.
Penempatan para aktivis ke dalam struktur negara dipandang akan menghasilkan perubahan sosial melalui instrumen dan sumber daya di dalamnya. Sayangnya, kooptasi kekuasaan akan selalu menjadi ancaman bagi aktivis untuk mempertahankan idealismenya. Di era Jokowi, kooptasi ini dilakukan dengan kombinasi penggunaan kompromi dan koersi politik dari elite untuk “memaksa” eks-aktivis mengikuti agenda mereka, alih-alih memaksa perubahan dari dalam. Hal inilah yang membuat mereka tidak bebas memperjuangkan agendanya seperti dahulu kala dan mereka juga tidak mampu menghambat kemerosotan demokrasi dan hak asasi yang terjadi di era Jokowi, seperti kriminalisasi aktivis, penggusuran masyarakat adat, hingga pelemahan KPK.
Dalam Ancaman Oligarki
Pada gilirannya, kooptasi ini juga merupakan konsekuensi dari absennya gerakan politik alternatif dari elemen sipil. Pendekatan critical engagement yang dibawakan oleh NGO – yang kerap didukung oleh agensi internasional seperti USAID maupun AusAID –kerap menempatkan mereka sebagai pendorong perubahan dari luar, melalui advokasi kebijakan, litigasi (gugatan), hingga kerja sama dengan lembaga negara tertentu. Pada satu sisi, pendekatan ini telah membuahkan hasil dengan terbitnya beberapa peraturan dan kebijakan yang pro-masyarakat sipil. Akan tetapi, metode ini masih sangat kurang untuk mewujudkan pemerintahan yang demokratis dan pro-HAM. Hal ini dikarenakan negara sebagai institusi oligarki akan menggunakan instrumennya –termasuk aparatus koersif dan ideologis– untuk memukul balik perlawanan politik dari elemen sipil, yang nantinya ditujukan untuk menyukseskan agenda anti-demokrasi dari oligarki.
Selain itu, aktivis sipil sering kali “naif” dengan pentingnya konsolidasi politik untuk memperjuangkan demokrasi dan hak asasi manusia, dengan menganggap bahwa memasukkan agen mereka ke dalam kekuasaan sembari menjaga sebagian lainnya akan menciptakan perubahan yang besar. Padahal, pembentukan aliansi politik yang menghimpun kalangan masyarakat sangat diperlukan untuk menggerakkan kekuatan yang besar untuk melawan langsung rezim. Kita bisa melihat bagaimana Reformasi 1998 mampu mengonsolidasikan mahasiswa, buruh, hingga berbagai kalangan untuk mengubah rezim secara signifikan. Namun karena ketiadaan kendaraan politik – terutama partai dan serikat buruh –yang begitu solid dalam mengokohkan gerakan sipil, pada akhirnya elemen yang tercerai-berai saat ini memungkinkan oligarki untuk mengooptasi masyarakat dan meredam perlawanan dari arus bawah.
Dengan demikian, konsolidasi politik dari elemen sipil harus menjadi agenda pertama untuk menghadirkan gerakan politik alternatif. Baik itu pekerja, akademisi, mahasiswa, hingga aktivis harus menyatukan perspektif mereka dalam kubu politik alternatif yang besar untuk mendobrak sistem politik yang saat ini bermasalah. Ini tidak hanya sebatas partai massa yang kini sedang dibangun Partai Buruh dan Partai Hijau semata, melainkan juga perluasan serikat pekerja di berbagai sektor dan penguatan basis massa di dalamnya. Hal ini penting dilakukan untuk menghadirkan kembali ideologi keberpihakan kepada masyarakat sekaligus mendobrak konstelasi politik Indonesia yang melenceng jauh dari cita-citanya. Upaya sebesar ini memang bukan hal yang mudah untuk dilakukan, namun apabila tetap dilakukan secara konsisten, maka perubahan sosial-politik yang diidam-idamkan oleh para aktivis niscaya akan tercipta tanpa terpaksa untuk bermitra dengan mereka.
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain mengenai politik