• Kolom
  • TELUSUR SEJARAH LEMBANG: Kisah di Balik Buku Baroe Adjak

TELUSUR SEJARAH LEMBANG: Kisah di Balik Buku Baroe Adjak

Buku Baroe Adjak sengaja saya tuliskan dengan singkat, padat, dan mudah dimengerti. Untuk membantu pemandu sejarah yang akan mengunjungi kawasan Baroe Adjak.

Malia Nur Alifa

Pegiat sejarah, penulis buku, aktif di Telusur Pedestrian

Buku Baroe Adjak karya Malia Nur Alifa.( Foto Taufan Gio)

1 Februari 2025


BandungBergerak.id – Selamat Tahun Baru kepada para pembaca kolom saya, mungkin sedikit telat, tapi ini adalah tulisan pertama saya di tahun 2025. Di awal tahun ini saya menerbitkan buku ketiga saya yang berjudul “Baroe Adjak”. Sebetulnya naskah tersebut telah ditulis sejak akhir 2023, namun karena berbagi kendala terjadi dan memang sudah ditakdirkan bahwa buku tersebut harus terbit di awal Januari 2025.

Buku pertama saya berjudul “ Satu Dekade “ yang menuliskan ringkasan dari hasil riset saya selama kurang lebih 12 tahun, dan buku ke dua saya yang berjudul “ 9 Kisah Wanita Pribumi Lembang di Masa Lalu”, bercerita tentang kisah-kisah wanita Lembang yang dapat mengispirasi kita, terutama para wanita zaman now.  Kini terbit sebuah buku yang mengisahkan sebuah tempat yang penuh dengan kisah luar biasa. Terdapat lapis demi lapis peradaban dan pada klimaksnya merupakan sebuah pusat bisnis peternakan terbesar se Asia Tenggara, namun kini kawasan tersebut seperti hilang ditelan zaman. Kawasan tersebut  saya sebut dengan “Dunia Narnia“, saking indahnya, kawasan tersebut yang bernama “Baroe Adjak”.

Sebetulnya persentuhan pertama saya dengan kawasan Baroe Adjak terjadi sejak saya kecil dan masih berdomisili di Braga, karena sejak tahun 1981 ibu saya telah bekerja  sebagai peneliti di salah satu balai penelitian tanaman dan sayuran di utara Lembang sehingga saya pun sering ikut ibu bekerja. Ibu sering membawa saja ke kawasan Baroe Adjak yang pada saat itu terdapat sebuah kedai susu dan roti bakar yang bernama “Saung Gunung“. Terkadang di Minggu pagi apabila ibu harus inspeksi ke kebun, saya dan adik perempuan saya menghabiskan hari Minggu dengan menunggang kuda di kawasan Baroe Adjak.

Sejak usia delapan tahun saya terkesima dengan gedung indah yang berada di kompleks Baroe Adjak, setiap berkuda melewatinya  sepertinya pandangan saya selalu tertuju pada gedung indah tersebut. Dahulu gedung itu bercat putih dan banyak sekali pot bunga indah berwarna-warni di terasnya. Di kanan kirinya terdapat beberapa kebun sayuran dan saat itu belum terdapat jajaran pohon kersen seperti sekarang, namun dahulu terdapat jajaran pohon cemara. Ketika itu saya dan adik berkuda hingga ke arah SDN Pancasila dan kembali ke arah kedai Saung Gunung menggunakan jalan setapak yang dari jalan tersebut dapat terlihat rumah-rumah bedeng pegawai Baru Ajak yang berwarna hitam dan terbuat dari kayu, yang ketika saya sekolah menengah, saya pun beberapa kali melakukan kerja kelompok di salah satu rumah bedeng tersebut, karena salah satu teman sekelas saya tinggal di sana.

Ketika saya telah pindah berdomisili tetap di Lembang sejak 1994, hampir setiap minggu ayah mengajak saya dan adik untuk sekedar jalan pagi ke gedung indah itu. Sepulang dari sana kami mengunjungi kawasan Situ Umar yang sangat indah. Takdir memang tidak ada yang tahu, ternyata sejak 2015 saya kembali bersentuhan dengan gedung indah itu, menyentuh dan berkenalan lebih dekat dengannya. Bahkan dalam 12 tahun riset saya di Lembang, 8 tahunnya saya habiskan untuk menelisik sejarah kawasan Baroe Adjak, tepatnya di gedung indah itu.

Baca Juga: TELUSUR SEJARAH LEMBANG: Kisah Keluarga Winning dan Hotel Donk Bandung
TELUSUR SEJARAH LEMBANG: Kawasan Kuliner Heritage di Lembang
TELUSUR SEJARAH LEMBANG: Yang Tersisa di Lembang

Kisah Kawasan Baroe Adjak

Seperti yang telah diterangkan di tulisan-tulisan saya yang lain di kolom Telusur Sejarah Lembang, gedung indah itu memang identik dengan Ursone bersaudara. Namun ternyata gedung indah tersebut adalah kapel yang dibangun sejak 1880. Di masa pendudukan Jepang gedung indah tersebut menjadi kamp interniran wanita dan anak-anak Eropa di Lembang. Dan ketika pasca kemerdekaan gedung tersebut menjadi tempat retret hingga tahun 2000-an dan terkenal dengan sebutan gereja Pondok Gembala.

Puluhan narasumber pun saya temui dari rentan waktu 2014 hingga 2022 akhir. Dari mulai para pegawai dan kerabatnya yang telah bekerja di kawasan Baroe Adjak sejak lama, keluarga jongos dari “juragan sepuh“ yang sering dikisahkan para bekas pegawai,  salah satu warga Eropa di Lembang yang pernah merasakan menjadi tahanan kamp interniran Baroe Adjak, hingga cucu dari salah satu Ursone bersaudara yang saya temui di kediamannya di utara Bandung  pada tahun 2017. Dengan mereka semua para  keluarga narasumber tersebut  kisah indah ini masih terjalin hingga kini, walau sebagian besar dari mereka telah berpulang. 

Penulisan naskah buku Baroe Adjak dilakukan selama satu bulan, namun yang saya tuliskan hanyalah yang merupakan reportase sejarah, karena kawasan ini sangat terkenal dengan kasus-kasus hukumnya hingga membuat kawasan Baroe Adjak lebih terkenal tentang sengketa tanahnya dibandingkan sejarah awal berdirinya. Maka melalui  buku inilah saya mengajak semua pembaca untuk lebih mengenal awal bagaimana kawasan “Narnia” ini terbentuk.

Kisah yang sangat panjang dari mulai dijadikan sebuah mandala dari  kemaharajaan, tempat ibadah mandala tersebut, tempat tinggal para Portugis hitam dengan bahasa kreolnya yang bergema di sebuah perbukitan yang dipenuhi anjing hutan yang oleh orang pribumi setempat disebut ajag, hingga terciptalah sebuah penamaan baru yang bernama Baroe Adjak oleh orang-orang Portugis hitam tersebut. 

Kawasan yang akhirnya terbengkalai ketika ditinggalkan para Portugis hitam kemudian bersemi kembali ketika masa budi daya kopi, hingga akhirnya bertransformasi menjadi perkebunan kina, teh, kentang dan havermut, serta yang paling besar adalah kawasan peternakannya yang ketika tahun 1933 memiliki 3.500 ekor sapi. Bahkan ketika masa puncak perkebunan teh di kawasan ini pada 17 Juni 1882, kawasan Lembang seutuhnya dijadikan distrik teh, yang pada akhirnya tanggal tersebut dipakai sebagai hari jadi Kecamatan Lembang.

Kisah Baroe Adjak  sengaja saya tuliskan dengan singkat, padat, dan mudah dimengerti para pembaca. Buku tersebut juga dilengkapi dengan belasan foto yang langka, karena sebagian besar adalah koleksi dari pada narasumber. Sengaja saya membuat buku  yang tipis, agar para pembaca tidak butuh waktu lama dalam membaca buku tersebut hingga selesai, dan sengaja buku ini  saya buat kecil, agar buku ini mudah dibawa ke mana-mana. Karena selain sebagai penulis saya juga adalah seorang pemandu sejarah, yang sangat terbantu apabila ada sebuah sumber buku yang ringkas untuk dibawa berjalan sambil memandu. Jadi buku ini kecil karena berukuran A5 dengan 56 halaman saja, namun memuat semua informasi tentang Baroe Adjak dengan lengkap, dilengkapi juga dengan foto dokumentasi kawasan yang jelas karena dilengkapi dengan peta  sehingga buku ini nantinya dapat membantu memandu para pembaca apabila akan langsung mengunjungi kawasan Baroe Adjak.

Namun buku ini saya cetak terbatas, dan Alhamdulillah dalam waktu kurang dari dua hari buku saya ini telah habis terjual. Terima kasih saya ucapkan sebesar- besarnya kepada para narasumber, kepada pada rekan dan sahabat yang telah mendukung pengumpulan data dan kepada teh Sherly dan teh Hetty yang telah membantu proses edit dan layout. Semoga buku ini dapat memberikan romansa seutuhnya kepada para pembaca untuk Lembang, khususnya kawasan Baroe Adjak. Seperti romansa yang saya rasakan di tempat ini yang akan terus menetap selamanya. 

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain Malia Nur Alifa, atau tulisan-tulisan lain tentang Sejarah Lembang

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//