• Cerita
  • Jalur Jalan Lintas Selatan Jawa, Membuka Wajah Murung Lingkungan dan Nasib Muram Buruh Konstruksi

Jalur Jalan Lintas Selatan Jawa, Membuka Wajah Murung Lingkungan dan Nasib Muram Buruh Konstruksi

Proyek strategis nasional Jalur Jalan Lintas Selatan (JJLS) Jawa membentang 1.602,99 kilometer, membelah hutan dan keresahan buruh konstruksi.

Lanskap JJLS Kretek-Girijati dari tempat wisata gumuk pasir di Parangtritis. (Foto: Dwianto Wibowo)

Penulis Dwianto Wibowo4 Februari 2025


BandungBergerak.idPembangunan infrastruktur digadang memajukan perekonomian dan meningkatkan kesejahteraan (sebagian) masyarakat di Indonesia. Melalui 205 Proyek Strategis Nasional (PSN) yang digarap sejak 2016, pemerintah berkeinginan untuk meningkatkan aksesibilitas, efisiensi logistic, dan daya saing ekonomi demi percepatan pembangunan nasional. Salah satunya ialah pembangunan JJLS di sepanjang kawasan pantai selatan (pansela) Pulau Jawa, yang dimaksudkan untuk mengimbangi pertumbuhan ekonomi pantura.

Jalur Jalan Lintas Selatan (JJLS) sepanjang 1.602,99 kilometer membentang di lima provinsi yaitu Banten (175 Km), Jawa Barat (417 Km), Jawa Tengah (211,95 Km), DIY (116,07 Km) dan Jawa Timur (676,82 Km). Proyek ini tentu saja menyerap tenaga kerja konstruksi dalam jumlah besar. Namun, bagaimana kondisi pekerjanya? Terutama mereka yang berada pada tingkat jabatan terendah, yakni buruh konstruksi informal atau yang lazim dikenal sebagai kuli bangunan.

Sejalan dengan berlangsungnya PSN di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, data BPJS tenaga kerja pada 2019 telah mencatatkan 141.343 pekerja konstruksi terdaftar temporer. Kepala BPJS Ketenagakerjaan Yogyakarta saat itu, Ainul Khalid mengatakan wilayah Kulonprogo mengalami peningkatan jumlah kepesertaan untuk pekerja konstruksi dilihat dari dua proyek besar yang dilakukan di wilayah tersebut, seperti pembangunan bandara Yogyakarta International Airport (YIA) dan Jalur Jalan Lintas Selatan (JJLS).

Maklum sektor konstruksi tercatat menempati peringkat pertama pada kerentanan kecelakaan kerja (KK) dan penyakit akibat kerja. Data Kementerian Ketenagakerjaan RI di tahun 2023 mencatat kasus kecelakaan kerja pada sektor konstruksi sebesar 32 persen dari total 370.747 kasus kecelakaan kerja. Dewan Pertukangan Nasional pada 2023 memperkirakan 27 juta masyarakat Indonesia bekerja sebagai buruh konstruksi informal. Mereka juga rentan dengan minimnya hak atas kepastian pekerjaan dan upah yang layak, serta jaminan sosial yang memadai.

Bukit Pitak dan Sungai yang Meluber

Foto udara proyek JJLS Kelok 18 di kawasan perbukitan karst di Gunungkidul. (Foto: Dwianto Wibowo)
Foto udara proyek JJLS Kelok 18 di kawasan perbukitan karst di Gunungkidul. (Foto: Dwianto Wibowo)

Suatu sore bulan Desember lalu langit amat cerah, Surojo berjalan gontai dengan menatang dua pacul, menapaki gerompal tanah dan kerakal lalu memasuki warung gedek di bahu jalan yang belum jadi itu. Pria berusia 64 tahun ini merupakan satu dari 20 warga lokal yang bekerja sebagai buruh harian proyek JJLS kelok 18.

JJLS Kelok 18 membentang sejauh 5,6 Km dari kecamatan Kretek di kabupaten Bantul menuju desa Girijati di kecamatan Purwosari, kabupaten Gunungkidul. Sejak 2023 proyek ini mulai digarap oleh PT Waskita Karya dengan nilai tender 241,03 miliar rupiah melalui dana pinjaman Islamic Development Bank (IsDB).

Total pembangunan JJLS di Gunungkidul sendiri adalah 76 kilometer, mulai dari Kapanewon Girisubo hingga Purwosari. Secara geografis Gunungkidul berada di bagian selatan Pegunungan Sewu. Daerah ini masuk dalam Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK)yang menjadi kawasan lindung geologi dan telah ditetapkan Unesco sebagai Global Geopark Network (GGN) pada 2015.

Menurut Keputusan Menteri ESDM No.3045/2014, luas kawasan lindung geologi KBAK Gunung Sewu adalah 1.001,17 km2 terdiri dari kabupaten Gunungkidul, Wonogiri, dan Pacitan. Sejumlah aktivis lingkungan khawatir tergerusnya KBAK di Gunungkidul akan merusak ekosistem karst, goa, dan sungai bawah tanah yang mengancam persediaan air dan area resapannya.

Pak Surojo (64 tahun) usai bekerja di proyek JJLS Kelok 18. (Foto: Dwianto Wibowo)
Pak Surojo (64 tahun) usai bekerja di proyek JJLS Kelok 18. (Foto: Dwianto Wibowo)

“Kami melihat hubungan proyek JJLS Girijati dengan masyarakat selama ini baik. Namun saat pengerjaan proyek, saluran-saluran air jadi terganggu, tertutup pembangunan itu. Mereka memang membangun kembali saluran air yang terdampak, namun selama menunggu, beberapa sawah sementara direlakan tidak terairi,” kata Surojo

Sejumlah warga mengaku senang tanah dibeli dengan harga layak, sebab mayoritas sudah SHM. Masyarakat yang mengelola kebun di atas “sultan ground” juga mengantongi surat hak pakai, mereka mendapat uang ganti pohon. Jati, akasia, dan mahoni mendapat harga paling tinggi, tergantung besaran batang.

Selang-selang air melintang di bawah konstruksi JJLS kelok 18 di Girijati. (Foto: Dwianto Wibowo)
Selang-selang air melintang di bawah konstruksi JJLS kelok 18 di Girijati. (Foto: Dwianto Wibowo)

“Saya sendiri mendapat harga 35 juta (rupiah) untuk pohon jati, padahal tidak sampai 15 batang,” sebut Surojo, semringah.

Menurutnya, menjual pohon lebih menguntungkan, sebab harga tanah per meter di kabupaten Gunungkidul berkisar antara 130 ribu (di dalam desa) dan 250 ribu (di pinggir jalan). Proses pembelian lahan juga dilakukan tanpa perantara, langsung dari pemerintah ke masyarakat.

Di bahu jalan JLS Kretek sebuah rumah tampak tertinggal sendirian, pekarangannya rompal seperti habis longsor. Mbah Siwal (70 tahun) penghuni rumah itu bimbang, mengapa pekarangannya dibiarkan begitu saja usai dikeruk setahun lalu, padahal sudah masuk musim hujan.

Rumah Mbah Siwal (70 tahun) di tepi JJLS kelok 18 di Kretek. (Foto: Dwianto Wibowo)
Rumah Mbah Siwal (70 tahun) di tepi JJLS kelok 18 di Kretek. (Foto: Dwianto Wibowo)

Tanah seluas 30 m22 itu dihargai 150 ribu rupiah per meter pada bidang datar dan 175 ribu pada kemiringan. “Lha wong pemerintah itu ngumpulin masyarakat cuma beritahu ketentuan harganya sekian-sekian. Kami ndak diajak musyawarah. Kasihan itu ada yang dibayar cuma 300 juta semuanya, ya tanahnya, ya rumahnya, padahal luas lho itu,” keluh Siwal sambil menunjuk kelokan jalan JJLS di depan rumahnya.

Warga desa Parangtritis di kecamatan Kretek hampir tidak pernah kekurangan air, sebab mata air berlimpah di dalam naungan hutan. Pembangunan kelok 18 telah membabat sekitar 3.920 hektare (5.600.000 x 7 m lebar jalan) lahan yang didominasi hutan, ladang, dan persawahan. Mengurangi fungsi resapan air dari kawasan sistem hidrogeologi karst yang semestinya dilindungi.

Memasuki musim penghujan, dampak awalnya mulai tampak. Sedimen tanah dan bebatuan membanjiri parit-parit desa di bawah pembangunan JJLS. Dari 10 dusun yang ada di kecamatan Kretek, warga dusun Grogol 7, 8, & 9 terdampak paling signifikan, jalan desa hingga pekarangan rumah mereka tertutup lumpur selama beberapa hari.

Lanskap desa Parangtritis di bawah proyek JJLS Kelok 18. (Foto: Dwianto Wibowo)
Lanskap desa Parangtritis di bawah proyek JJLS Kelok 18. (Foto: Dwianto Wibowo)

“Sejak ada proyek JJLS itu, kalau hujan deras ngeri. Suara aliran parit itu keras sekali. Cuma kami akui proyek itu cepat tanggap, langsung mereka keruk lagi lumpur di parit itu. Kejadian terakhir baru beberapa minggu lalu, pengerukannya sampai 3 hari,” terang warga Dusun Grogol 9.

Tujuh belas kilometer dari JJLS Kretek-Girijati, pembangunan jembatan Pandansimo di muara sungai Progo sudah berjalan 81 persen sejak Desember 2023. Membentang sejauh 1,9 kilometer dari kabupaten Bantul di sisi timur menuju kabupaten Kulon Progo di sisi Barat. Jembatan terpanjang ke-3 di pulau Jawa ini didapuk sebagai kebanggan masyarakat DI Yogyakarta.

Konstruksi jembatan Pandansimo Kulonprogo-Bantul. (Foto: Dwianto Wibowo)
Konstruksi jembatan Pandansimo Kulonprogo-Bantul. (Foto: Dwianto Wibowo)

Konstruksi jembatan Pandansimo ini digarap oleh PT Adhi Karya dengan nilai kontrak 814,8 miliar rupiah. Dibangun menggunakan teknologi lead rubber bearing (LRB) untuk mengakomodir pergerakan gempa, sebab jaraknya kurang dari 10 km dari pusat gempa sesar Opak. Karakteristik tanah berpasir dan muka air tanah dangkal tempatnya berdiri juga rentan likuifaksi.

Namun pada proses pembangunannya saja, konstruksi jembatan Pandansimo ini sudah membuat sebagian masyarakat sengsara. Tiang-tiang beton yang menancap di gundukan tanah yang berjajar menyeberangi sungai, membendung air hingga membanjiri area persawahan.

Kiri, Haji Noto bersama rekannya menutupo lubang tanah usai menyemai benih padi. Kanan, petak lahan tak tergarap usai panen jagung sekitar 3 bulan lalu akibat luberan sungai Progo. (Foto: Dwianto Wibowo)
Kiri, Haji Noto bersama rekannya menutupo lubang tanah usai menyemai benih padi. Kanan, petak lahan tak tergarap usai panen jagung sekitar 3 bulan lalu akibat luberan sungai Progo. (Foto: Dwianto Wibowo)

Haji Noto (81) petani di desa Ngentak, Kab. Bantul, mengatakan, “Sementara ini dampaknya ya negatif. Air yang masuk saluran irigasi dari kali Progo itu nggak bisa keluar lagi, lha wong dibendung! November kemarin kami perwakilan warga 7 dusun di Ngentak ini mendatangi kantor PT, menanyakan soal pertanggungjawaban mereka bagaimana. Sampai sekarang belum ada jawaban”.

Masyarakat (dihimbau) berharap adanya JJLS dapat berdampak baik bagi perekonomian mereka di masa depan. Warga DIY terdampak proyek mungkin mendapat kesenangan sementara; nilai jual lahan cukup lumayan, jadi buruh harian, maupun mencoba peruntungan dengan membuka warung makan sederhana.

Namun, bagaimana dengan nasib buruh konstruksi informal proyek strategis nasional itu?

Warung Nasi; Wadah Aspirasi Buruh Konstruksi

Sebuah tenda terpal biru berdiri dekat portal proyek jembatan Pandansimo di desa Ngentak, kecamatan Srandakan, kabupaten Bantul. Di warung 3 x 3 meter itu tujuh orang sedang mengaso; 5 pekerja proyek dan 2 orang petani setempat. Mereka asyik bercengkrama, mengelilingi meja persegi dengan ragam kudapan di atasnya.

“Assuu.. ini tuh udah kayak komunis gabung kompeni, mosok hari raya tetep disuruh kerja!? Giliran ditanya uang lemburan, entar, entar, kesel inyong!” keluh seorang pekerja yang disambut gelak tawa seisi warung. Lalu menyusul cerita pekerja lain.

Lima belas menit kemudian, lima pekerja tadi buru-buru membayar dan segera pergi, bergantian dengan 3 pekerja lain yang masuk. Di seberang meja, Tutik (39 tahun) tengah menyeduh kopi, sesekali memeriksa penggorengan. Warga desa Ngentak ini sudah 9 bulan berdagang di situ.

“Alhamdulillah bisa buat tambah-tambah. Awalnya saya jualan sama suami, dulu itu rame, soalnya baru 3 bulan proyeknya berjalan. Sehari bisa dapat 500 ribu (rupiah) bersih, tapi karena sekarang pekerjanya udah tinggal sedikit, paling banyak 200.000 (rupiah).”

Penceng (42 tahun) baru saja masuk warung, ia duduk di bangku sebelah memesan segelas kopi miks, lalu nyumet rokoknya. Ia berkelakar, “kalau buruh proyek kayak aku ini yah isinya duka melulu, gajian tiap Sabtu juga cuma lewat doang, kalau nggak ada lembur ya (duit) habis aja”.

Beberapa buruh harian mengaku upah terkecil di JJLS sebesar 100.000 rupiah tergantung dari mandor dan subkontraktor pemberi kerja, ada juga yang 130 ribu rupiah dan 150 ribu rupiah per hari, semua sudah termasuk uang makan. Saat perekrutan, staf kontraktor utama mengumpulkan KTP guna membuat daftar BPJS tenaga kerja, namun mereka tidak mendapat surat bukti pendaftaran itu.

Warung Ibu Andriasih di dekat proyek jembatan Pandansimo. (Foto: Dwianto Wibowo)
Warung Ibu Andriasih di dekat proyek jembatan Pandansimo. (Foto: Dwianto Wibowo)

Penceng mengaku telah malang-melintang sebagai buruh konstruksi informal selama 20 tahun terakhir, menurutnya tidak ada perubahan yang berarti. Kisah “ditinggal lari mandor” sudah jamak dia jumpai, ketiadaan kontrak kerja serta jaminan keselamatan kerja dan kesehatan pekerja jadi hal biasa, meskipun risiko pekerjaan sangat tinggi.

Hal ini diamini pekerja lain jembatan Pandansimo. Ia mengakui aturan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) di proyek JJLS ini amat ketat, pekerja yang kedapatan tidak menggunakan alat pelindung diri (APD) seperti rompi, sepatu dan helm safety dikenai denda 50.000 rupiah.

Namun mereka amat menyayangkan, ketika kerja malam tangga akses menuju lokasi kerja tidak diberi penerangan. Dengan alasan terkendala peletakan genset yang harus berhadapan dengan pasang-surut air laut. “Proyek skala nasional lho, tangga nggak ada penerangan, yo terpaksa kami bawa lampu sendiri,” keluh seorang pekerja.

Pekerja konstruksi jembatan Pandansimo saat jam istirahat. (Foto: Dwianto Wibowo)
Pekerja konstruksi jembatan Pandansimo saat jam istirahat. (Foto: Dwianto Wibowo)

Zaki (24 tahun) pengendara truk molen mengalami kendala serupa, pada malam hari kerap tidak ada pemandu jalan untuk keluar/masuk lokasi proyek. Padahal sopir diberikan target 8 ritase per hari untuk kebutuhan pengecoran.

Delapan belas truk molen dikerahkan untuk memenuhi kebutuhan 1.300 kubik adonan beton setiap hari, masing-masing membawa 6 kubik dalam satu ritase. Selama satu tahun ini Zaki mengaku bekerja hampir 20 jam per hari, ia memilih tidur di truk demi efektivitas, meskipun perusahaan menyediakan mes.

“Saya menyesalkan pemberian uang makan sering telat, padahal kalau sopir itu mobile terus, kan susah kalau nggak bawa uang makan,” keluh Zaki.

Uang makan sopir truk molen dihitung 10.000 rupiah per ritase, untuk bagian timur. Sedangkan untuk jarak yang lebih jauh di bagian barat (kab. Kulonprogo) 15.000 rupiah per ritase. Seharusnya dibayarkan tiap satu minggu sekali, namun kerap baru diberikan pada minggu kedua.
Meskipun Zaki mandapat gaji bulanan sesuai upah minimum DIY, duitnya sudah habis untuk biaya sekolah kedua adiknya. “Ibu saya sering ke garasi untuk mengantar nasi bungkus, saking saya sudah kehabisan uang untuk makan,” katanya.

Penghasilan buruh harian dan ketepatan waktu pembayarannya berpengaruh pada pemasukan pengusaha warung makan di sekitar lokasi proyek. Pemilik warung menerapkan bermacam strategi agar dapat bertahan.

Pengerjaan jembatan Pandansimo di wilayah Kulon Progo. (Foto: Dwianto Wibowo)
Pengerjaan jembatan Pandansimo di wilayah Kulon Progo. (Foto: Dwianto Wibowo)

Bu Andriasih (66 tahun) berjualan dekat proyek jembatan Pandansimo di Kulonprogo, mengambil margin rendah agar “sama-sama untung”. Kopi, teh, dan minuman kemasan dijual rata 3.000 rupiah, teh tanpa gula diberikan cuma-cuma; gorengan dan jajan pasar 500 rupiah-2.000 rupiah; nasi dengan jangan lombok (sayur cabai) dengan lauk tempe/tahu/telur/ayam dihargai 5-8 ribu rupiah, itu pun nasinya ambil sendiri.

“Aku dagang di sini ini paling murah mas. Soalnya kasihan lihat pekerja-pekerja itu, udah kuanggap anak-anakku sendiri. Mereka suka ngeluh belum punya uang, tapi saya juga bilang ke mereka kalau berhutang jangan terlalu lama, karena nanti hubungannya jadi ndak enak tho,” kata Andriasih.

Andriasih dan suaminya telah berdagang selama 11 tahun. Berpindah-pindah, menghampiri proyek yang sedang berjalan di kawasan Kulonprogo. Ia kadang kesal jika didatangi bos proyek konstruksi, yang suka berbasa-basi, seperti menjanjikan tempat usaha ketika proyek sudah jadi.

“Bicaranya selangit, tapi kalau memberi upah ke pekerja seenaknya saja. Saya kan banyak dengar cerita anak-anak itu, mereka itu kerjanya temenan (serius) lho, kok upahnya bisa telat kadang seminggu. Ada yang kerja 3 minggu baru dibayar 2 minggu,” katanya.

Warung Yati menerapkan cara lain, sejak proyek berjalan ia bekerja sama dengan perusahaan subkontraktor, mendata para mandor dan pekerjanya. Semua hutang dibukukan dengan rapi, setiap pekerja yang berhutang dicatat dalam satu buku bon yang berbeda. Lalu dimasukan ke beberapa keranjang berdasarkan nama subkontraktor.

Bu Andriasih (66 tahun) dan Pak Surojo (67 tahun) di warung mereka di Kulon Progo. (Foto: Dwianto Wibowo)
Bu Andriasih (66 tahun) dan Pak Surojo (67 tahun) di warung mereka di Kulon Progo. (Foto: Dwianto Wibowo)

Saban Sabtu catatan itu dikirimkan ke subkon-subkon untuk langsung dibayarkan melalui potongan upah masing-masing pekerja yang berhutang. Di samping itu, ada satu-dua pembeli yang “hilang tanpa kabar,” meninggalkan warisan surat hutang ratusan ribu rupiah kepada Tutik dan Yati.

Serikat Buruh Konstruksi; Melawan Stigma “Kuli” dengan Organisasi

Sudah 6 bulan Agus (36 tahun) dan Wahyu (27 tahun) mondar-mandir nongkrong di sejumlah warung nasi dekat proyek JJLS. Kedua organiser Serikat Buruh Konstruksi Indonesia (SBKI) itu hendak mengajak buruh konstruksi informal (bki) JJLS untuk berserikat.

Putu (19 tahun) menjaga warung ibunya di belakang meja penuh bon belanja pekerja proyek jembatan Pandansimo. (Foto: Dwianto Wibowo)
Putu (19 tahun) menjaga warung ibunya di belakang meja penuh bon belanja pekerja proyek jembatan Pandansimo. (Foto: Dwianto Wibowo)

Namun di antara 100an pekerja yang mereka temui, hanya beberapa orang yang masih aktif berkomunikasi, meski masih enggan gabung serikat. Stigma “kuli” dan “pekerja kasar” yang bekerja hanya mengandalkan otot dan serabutan, membentuk persepsi bahwa BKI bukan termasuk kelas pekerja.

Agus sendiri adalah buruh konstruksi informal, yang masih aktif menjajakan jasanya pada akhir minggu. Ia menjelaskan, “Aku merasakan ke-enggan-an BKI masuk serikat karena mereka dapat sewaktu-waktu diberhentikan atau dipindahkan ke proyek lain. Karena tidak ada surat kontrak, mandor dapat mengurangi upah berdasarkan penilaian kinerja secara sepihak atau bahkan sentimen belaka.”

Regional Programme Officer BWI (Building and Wood Workers International), Khamid Istakhori berpendapat, “Fleksibilitas hubungan kerja berdampak pada nasib buruh yang mudah di-PHK, upah rendah, jaminan minim, dan berbagai kerentanan lain. Dalam kondisi yang pragmatis dan kesadaran pada level “ekonomis”, tentu sangat sulit mengajak mereka untuk bergabung di serikat. Serikat pekerja yang sejatinya menjadi alat perjuangan dan perlindungan untuk mereka, justru dianggap sebagai penyebab hilangnya pekerjaan. Karena melihat banyak contoh bahwa buruh yang bergabung dengan serikat dan ketahuan majikan di-PHK sepihak. Itu menimbulkan trauma bagi buruh.”

Organisasi SBKI Agus (36 tahun) dan Wahyu (27 tahun) saat mengunjungi anggota SBKI. (Foto: Dwianto Wibowo)
Organisasi SBKI Agus (36 tahun) dan Wahyu (27 tahun) saat mengunjungi anggota SBKI. (Foto: Dwianto Wibowo)

Hubungan kerja yang hanya mengandalkan faktor kenalan dan kepercayaan menjadikan BKI rentan terhadap penipuan. Agus melihat praktek itu kini marak di dunia maya, karena tergiur pencarian kerja yang mudah di media sosial seperti facebook misalnya. Namun di dunia nyata praktik tersebut mulai jarang mereka temui, karena relasi antar BKI semakin kuat.

“Kami pernah diajak kerja ke Lombok selama 4 minggu. Setelah pekerjaan selesai, mandornya itu hilang entah ke mana. Kata orang perusahaan tempat kami kerja itu, uang 75 juta (rupiah) untuk mengupah kami sudah diberikan semua kepada mandor. Akhirnya kami hanya diberikan ongkos untuk pulang ke Yogya oleh mereka. Yah ndak bawa apa-apa, masih untunglah bisa pulang,” tutur seorang anggota SBKI.

Federasi Serikat Buruh Kerakyatan (SERBUK) berdiri pada 2013, adalah anggota Building and Wood Workers’ International (BWI). SERBUK awalnya mengorganisir buruh pada sektor konstruksi, kayu, dan kelistrikan. Pengalaman mereka mengorganisir buruh pabrik material bangunan di Karawang membawa mereka melihat realitas kerja buruh konstruksi informal yang problematik.

Pada 2017 Federasi SERBUK membentuk SBKI yang berfokus pada isu keselamatan dan kesehatan kerja buruh konstruksi. Termasuk mengawali perubahan frasa populer “kuli bangunan” menjadi “buruh konstruksi informal”. Dengan tujuan penyadaran bahwa setiap orang yang diberi kerja dan diupah adalah buruh, yang aturannya mengikuti UU Ketenagakerjaan; ada kontrak, standar upah, K3, dan jaminan sosial.

APD berserak di beranda mes buruh konstruksi informal proyek jembatan Pandansimo. (Foto: Dwianto Wibowo)
APD berserak di beranda mes buruh konstruksi informal proyek jembatan Pandansimo. (Foto: Dwianto Wibowo)

Pengurus dan bendahara SERBUK, Happy Nur Widiamoko mengatakan, “Buruh itu kalau di Indonesia atau macam-macam gerakan buruh itu masih dipahami sebagai pekerja manufaktur atau industri skala besar. Di negara maju seperti Korea Selatan saja, buruh konstruksi itu baru diposisikan setara dengan buruh manufaktur sekitar tahun 2011”.

Tantangan pengorganisiran pekerja konstruksi informal tidak mudah. SERBUK melihat ketiadaan habitus kerja yang terorganisir sebagaimana buruh manufaktur, jadi salah satu faktornya. Mereka berkomitmen mendidik anggota BKI untuk paham hak-hak mereka dan kemudian membentuk atau bergabung dalam serikat buruh. Supaya terjadi perubahan yang benar-benar lahir dari kesadaran kolektif pekerja di lapangan.

“Misal pertemuan sudah kita sepakati 2 minggu sebelumnya, H min 4 jam tuh bisa batal karena macam-macam alasan. Ada yang kerja, ada yang apa, macam-macam. Sehingga itu yang kemudian jadi tantangan luar biasa, selain alasan-alasan yang cukup umum, seperti mereka kerja gak pasti, tidak punya kontrak dan lain-lain," terang M Husain Maulana, Koordinator Media dan Propaganda SERBUK.

SERBUK juga telah mendorong dinas ketenagakerjaan DIY untuk mewajibkan pemakai jasa buruh konstruksi informal (BKI) memberikan kontrak kerja tertulis. Meskipun hingga saat ini mereka masih mencari formulasi yang tepat. Menurut Husein, disnaker belum tahu bagaimana operasionalnya nanti.

“Misal disnaker dapat secara diplomatis datang ke lokasi proyek konstruksi besar maupun rumahan. Memantau bagaimana relasi kerja mereka, adakah kontrak kerja dan jaminan sosialnya, bagaimana K3nya. Disnaker memang sudah memberikan komitmen mereka, yang penting dilaporkan saja,” kata Husein.

Regional Programme Officer BWI, Khamid Istakhori (memegang palu) dan Koordinator Media dan Propaganda Husain Maulana (ke-4 dari kiri) saat harlah SERBUK. (Foto: Dwianto Wibowo)
Regional Programme Officer BWI, Khamid Istakhori (memegang palu) dan Koordinator Media dan Propaganda Husain Maulana (ke-4 dari kiri) saat harlah SERBUK. (Foto: Dwianto Wibowo)

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUK 13/2003) dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor Kep-100/Men/Vi/2004 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (“KEPMEN No. 100 Tahun 2004”) telah mengatur kewajiban bagi perusahaan untuk memberikan kontrak tertulis untuk pekerja.

“Pelanggaran terhadap hal ini memberikan konsekuensi pekerja berubah status menjadi pekerja permanen di perusahaan. Ini menjadi peluang untuk advokasi bagi pekerja,” kata Khamid.

Manurutnya SERBUK mesti mendorong agar Disnaker Yogyakarta melakukan sosialisasi kepada perusahaan untuk memberikan kontrak tertulis kepada pekerja dan membangun kesadaran bersama bahwa kontrak tertulis akan memberikan perlindungan kepada pekerja dan menghindarkan perusahaan atas masalah yang lebih besar.

Upaya BWI saat ini adalah mengembangkan dialog sosial dan perundingan dengan semua stakeholder, baik pemerintah, pengusaha, maupun kelompok masyarakat sipil lainnya, secara nasional dan global. Menurut Khamid, dengan cara ini kesadaran dan solidaritas dapat terus dipupuk untuk tumbuh.

Pada praktiknya, keberhasilan BKI mendapatkan hak mereka adalah karena mobilisasi. Beberapa tahun lalu sejumlah anggota SBKI Gunung Kidul menyegel bangunan dan menahan sebuah genset, usai menyelesaikan pekerjaan konstruksi sebuah bank di kecamatan Srandakan, Bantul. Karena mandor membawa kabur sisa upah mereka sebesar 5 juta rupiah. Khawatir masalah menjadi besar, si mandor nakal langsung kembali dan memberikan upah mereka.

Seorang pekerja konstruksi informal asal Yogyakarta mengatakan jika hari Sabtu ialah hari raya-nya buruh konstruksi, dengan catatan, kalau uangnya diberikan seutuhnya oleh mandor. Kadangkala mandor membuat penilaian pribadi terhadap kinerja, yang berakibat upah tidak sesuai dengan perjanjian (lisan) awal.

Anggota SBKI, Sigit saat bekerja pada sebuah proyek perumahan di Bantul. (Foto: Dwianto Wibowo)
Anggota SBKI, Sigit saat bekerja pada sebuah proyek perumahan di Bantul. (Foto: Dwianto Wibowo)

Juragan atau pemilik modal biasanya memberikan upah kerja mingguan kepada mandor, kemudian uang tersebut dibagikan ke tenaga kerja di akhir minggu. Di Yogyakarta pada umumnya upah buruh konstruksi harian berkisar 100.000 rupiah sampai dengan 125.000 rupiah.

Dari perhitungan ini, buruh konstruksi informal yang telah menjadi anggota Serikat Buruh Kontruksi Indonesia (SBKI) maupun yang ditemui di proyek JJLS, mengaku penghasilan mereka selama ini hanya mampu untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari serta sedikit tabungan pendidikan anak.

Kebanyakan buruh konstruksi informal di DIY sendiri lebih memilih untuk mengambil pekerjaan “proyek perorangan” seperti pembangunan rumah, renovasi rumah, dsb. Terkadang mereka memiliki daya tawar sedikit lebih tinggi, sekurangnya mendapat persediaan air minum dari pemilik rumah.

Anggota Serikat Buruh Konstruksi Indonesia (SBKI) Gunungkidul di sebuah proyek konstruksi di Bantul. (Foto: Dwianto Wibowo)
Anggota Serikat Buruh Konstruksi Indonesia (SBKI) Gunungkidul di sebuah proyek konstruksi di Bantul. (Foto: Dwianto Wibowo)

Baca Juga: Sangiang Not for Sale!
Kritik Walhi pada Proyek Strategis Nasional di Jawa Barat
Proyek Strategis Nasional Surabaya Waterfront Land untuk Siapa?

Motivasi Pasutri Buruh Konstruksi

Dua genggam kacang dan sebuah pisang rebus tersaji di piring beling putih, di bawahnya tergelar kardus tebal bekas bungkus mesin cuci. 2 meter dari “ruang tamu” sederhana itu, sepasang suami istri tengah bekerja memasang keramik pada dinding rumah.

“Ayo dimakan kacangnya! Hasil panen sendiri itu,” kata sang istri sambil meninggalkan pekerjaannya.

Bu Seneng (55 tahun) dan Pak Tentrem (54 tahun) berkolaborasi dalam setiap pekerjaan konstruksi sejak 2006. Paska gempa Yogya, Bu Seneng memutuskan ikut suaminya bekerja untuk mempercepat pemulihan ekonomi keluarga.

Bu Seneng dan Pak Tentrem saat bekerja renovasi rumah di kota Yogyakarta. (Foto: Dwianto Wibowo)
Bu Seneng dan Pak Tentrem saat bekerja renovasi rumah di kota Yogyakarta. (Foto: Dwianto Wibowo)

“Setelah gempa Yogya itu kan banyak pekerjaan konstruksi, jadi ya saya ikut bantu bapaknya. Sampai sekarang ya semuanya kami lalui bersama, suka dan dukanya. Kita kerjanya itu serabutanlah, person mau, proyek mau. Sampai sekarang. Tapi ya kalau pekerjaan seperti ini kan tidak ada asuransi jiwa, kecuali ikut kontraktor besar gitu ya.”

Pelbagai macam kerja konstruksi seperti pasang keramik, plester aci, bikin septic tank, gali sumur, pernah mereka kerjakan.

Pak Tentrem mengamini keterangan istrinya, dari awalnya peladen (asisten tukang) kini Bu Seneng telah menguasai sejumlah teknik pertukangan, meskipun setiap bekerja mereka selalu bersama. Selama ini mereka juga menyaksikan bagaimana buruh perempuan lain yang beban kerjanya lebih berat, seperti pada suatu proyek ada buruh perempuan yang bekerja memasang atap.

“Kalau saya sama istri pernah membuat sumur, itu bis beton (dinding sumur) kami angkat berdua saja, yo kuat lho. Menurunkan ke bawah hanya menggunakan tali,” kenang Pak Tentrem.

Perempuan pekerja konstruksi informal di wilayah DIY rata-rata menerima upah 80.000 rupiah per hari pada pekerjaan borongan besar yang jumlah pekerjanya lebih dari 3 orang. Namun dalam proyek perorangan —seperti yang Bu Seneng biasa kerjakan— penghargaannya sedikit lebih tinggi, menyamai upah standar pekerja lelaki yakni 100.000 rupiah ditambah uang makan 25.000 rupiah. Bu Seneng mengawali pekerjaan ini dengan upah 40.000 rupiah pada 2006.

Isu “ditinggal kabur mandor” juga pernah satu kali dialami oleh Bu Seneng. Sewaktu pandemi Covid-19 pada 2020 mereka diajak kerja membangun puskesmas Ngemplak 2, “saya sama bapak bekerja 5 hari tidak dikasih upah, karena katanya pemborongnya bangkrut, terus kita masih bekerja selama 1 minggu itu nggak dikasih gaji. Akhirnya saya temui, lalu kami cuma dikasih upah 2 hari kerja.”

“Kita bekerja ini dengan hati senang, jadi bahagia, nggak ada tekanan-tekanan. Kepala saya pernah tertimpa pintu besi yang tiba-tiba saja jatuh. Lalu sama mandor saya dibawa ke RS Sardjito, kepala saya dijahit. Sampai habis 600.000 (rupiah), saya juga kasihan sama mandornya, lha wong saya bekerja cuma sebentar kok bos saya itu mau keluarin uang segitu buat jahit kepala saya. Memang tidak ada asuransi kecelakaan kerja, tapi kebetulan mandor saya itu juga baik hati.”

Baginya bekerja membuat hati bahagia, sejak subuh Bu Seneng sudah menyiapkan sarapan, lalu mencuci pakaian di sungai sebelum berangkat kerja pada pukul 07.00. Di DI Yogyakarta, pekerja konstruksi informal rata-rata bekerja dari jam 08:00 sampai 16:00.

“Saya angkat 1 sak semen dari lantai satu ke lantai dua, kuat. Lha wong saya pernah pasang granit (keramik besar) sampai 100 saja sendiri, mulai angkut granitnya sampai pemasangan,” kata Bu Seneng bangga.

Bontot (bekal) Bu Seneng saat bekerja di sebuah proyek di Yogyakarta. (Foto: Dwianto Wibowo)
Bontot (bekal) Bu Seneng saat bekerja di sebuah proyek di Yogyakarta. (Foto: Dwianto Wibowo)

Sepulang proyek Bu Seneng mengurus sawah, Pak Tentrem mengurus ternak. Hingga maghrib tiba, mereka pulang dan menyiapkan makan malam bersama. Prinsip hidup mereka “Seko tangi turu, nganti arep turu meneh, yo kerjo terus (dari bangun tidur, hingga mau tidur lagi, ya terus bekerja).”

Penghasilan mereka sebagai buruh konstruksi informal dan buruh tani selama ini terbilang cukup untuk bertahan hidup, bahkan berhasil membiayai pendidikan empat anak mereka. “Saya InsyaAllah berhutang hanya satu kali ini, itupun bukan untuk bersenang-senang, 2 tahun lalu hutang bank 35 juta (rupiah) untuk membeli sawah. Anak saya juga membantu urunan. Alhambdulillah 2 anak saya sudah jadi PNS, kalau yang ragil kerja di pabrik sarung tangan, di bagian HRD.”

“Ya InsyaAllah masa tua kami bahagia. Bahagia itu bukan karena kita punya uang banyak, tetapi karena anak-anak sudah tumbuh jadi orang yang soleh dan soleha, yang mengerti sama orang tua, membantu walau sedikit-sedikit. Jadi istilahnya kita sudah ngunduh jerih payah kami waktu itu, Alhambdulillah.”

Bu Seneng membongkar tembok saat renovasi rumah di kota Yogyakarta. (Foto: Dwianto Wibowo)
Bu Seneng membongkar tembok saat renovasi rumah di kota Yogyakarta. (Foto: Dwianto Wibowo)

“Saya harus pandai membagi waktu, tidak ada waktu berdiam diri apalagi bergumul dengan tetangga. Saya selalu merasa hidup itu penuh berkah, jadi ya apa pun pekerjaan dijalani dengan gembira, lagipula tidak ada pekerjaan yang mudah tho?. Biarpun ada yang mencibir saya kok perempuan mau jadi kuli bangunan, tapi ya saya biarkan saja.”

Kepenuhan waktu dengan kerja membuat Bu Seneng dan Pak Tentrem belum bisa bergabung dengan serikat. Meskipun etos kerja dan kekompakan telah meluputkan mereka dari dunia kerja konstruksi yang keras.

“Pekerjaan ini buat saya adalah latihan mandiri, nanti di masa tua sewaktu suami saya meninggal kan jadi biasa mengerjakan apa pun sendiri, tidak merepotkan anak-anak,” ujar Bu Seneng sambil mencabik tembok dengan martil.

*Foto dan Teks: Dwianto Wibowo

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//