Memproduksi Mitos Baru untuk Menjaga Alam
Masih efektifkah mitos-mitos yang dibuat orang dulu untuk menerapkan hidup rukun dengan alam?
Filham Said Bushiri
Mahasiswa Bahasa dan Sastra Arab fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Gunung Djati Bandung
7 Februari 2025
BandungBergerak.id – Memancing, berenang, atau mandi di sungai masih banyak dilakukan. Terutama bagi penulis yang pada saat itu masih berseragam SD (2010-2014). Kail pancing hanya mengait pada ikan yang tertarik. Bukan pada sampah yang mengendap –meskipun sesekali sampah terlihat terbawa arus. Tapi belum separah sekarang. Pada akhirnya, ikan bisa bersembunyi dan berenang di sela-sela sampah –sampai habitat mereka rusak– tanpa takut terpikat kail pancing.
Sekelas kampung –yang kehidupannya jauh dari kawasan industri dan masih minimnya rumah-rumah penduduk– pun sudah banyak sungai yang tercemar. Limbah rumah tangga. Jangan ditanya lagi bagaimana kondisi sungai-sungai di perkotaan. Penulis lebih suka menyebutnya sebagai aliran pembuangan –dan bahkan menjadi PR bagi guru-guru geografi untuk mengubah ilustrasi siklus air yang sering tertera di buku-buku pelajaran geografi –bukan sungai lagi. Karena fungsinya jadi berubah.
Ke mana falsafah luhur moyang kita yang selalu kita pegang dan junjung? Larangan keras dengan kata “pamali” Ketika melakukan tindakan amoral atau melakukan tindakan di suatu tempat yang disakralkan –mungkin pada konteks sekarang bisa dicontohkan dengan cagar alam. Kata tersebut selalu diucapkan oleh orang tua-orang tua kita terhadap suatu tindakan yang berkaitan dengan mitos-mitos yang beredar.
Lalu apa sebenarnya mitos itu? Dan apa hubungannya dengan kehidupan kita di bumi?
Baca Juga: Anak Muda Bandung Menyindir Situasi Lingkungan Jawa Barat dengan Spanduk Festival Sampah Jabar
Pendidikan dan Politik Bahasa, Sekolah sebagai Mitos Juru Selamat?
Pembangunan Berperspektif Lingkungan di Kota Bandung Diharapkan Bukan Pencitraan
Bahasa
Dalam kajian tanda (baca: Semiologi) Roland Barthes –pandangannya banyak ditemukan di buku-buku ilmu bahasa, sastra, dan budaya seperti buku Semiotika karya Wildan Taufik, mitos merupakan konsep lanjutan dari semiologi Ferdinand de Saussure untuk merujuk pada sebuah konsep yang diyakini kebenarannya, tetapi tidak bisa dibuktikan. Bahasa yang merupakan “tanda” mempunyai “petanda” atau objek nyata yang menjadi rujukan. Mengenai tanda dan petanda ini Sebagian besar ahli bahasa (baca: linguis) berpendapat tidak adanya hubungan yang pasti di antara keduanya. Mengenai kenapa aliran air yang besar buatan alam dinamakan sungai tidak terdapat hubungan.
Menurut Barthes, hubungan antara tanda dan petanda berada di tahap 1 (gramatikal) –atau bisa juga disebut dengan makna denotasi. Akan tetapi, dalam penggunaannya di masyarakat, Barthes berpendapat selalu ada pemaknaan konotasi. Salah satu contoh adalah smartphone, sekarang bukan saja bermakna alat untuk berkomunikasi, mencari informasi, atau hiburan saja, melainkan bisa juga menjadi indikator terhadap kelas sosial. Orang yang menggunakan Iphone bukan hanya untuk berkomunikasi, tapi sebagai penanda sosial kelas menengah ke atas. Maka Iphone tersebut mempunyai mitos kelas sosial menengah ke atas.
Layaknya sebuah barang dagangan, mitos mempunyai produsen dan konsumennya. Produsen mitos adalah politisi dan bahkan akademisi –atau bahkan sekarang influencer. Sementara konsumen utamanya adalah masyarakat sipil biasa.
Mereka yang tahu dengan ihwal kehidupan (baca: ilmuwan, alim, tetua) punya tugas menyampaikannya pada sipil. Dan melalui politisi –yang dalam kondisi ini menjadi penadah– penemuan itu disampaikan meskipun dengan maksud yang lain. Atau bisa juga politisi menjadi investor utama dan akademisi melakukan pekerjaannya: meneliti dan berkarya. Misal, di sebuah wilayah pegunungan terdapat banyak flora dan fauna yang beragam. Kesejukan dari ekosistem itu memberikan manfaat bagi wilayah sekitarnya. Air. Bumi. Api. Udara –zaman dulu semua negara hidup dalam perdamaian. Lalu politisi mengetahui lebih dulu dan menyampaikannya dengan “Kawasan itu terlarang. Pemimpin lelembut di sana adalah sekutu sang raja. Maka barang siapa yang sengaja memasuki wilayahnya, ia akan menjadi abdi abadi bangsa lelembut.” Boom.. sipil menerima apa adanya dan mematuhinya. Terlihat membodohi, tapi efektif untuk sebuah kelestarian alam –atau bahkan dari keserakahan.
Contoh lain yang penulis temukan dari buku Alexander the Great Adventure karya Richard Stone adalah kisah Aleksander Agung yang dikisahkan sebagai titisan Dewa Ammon. Dengan bantuan para sarjananya, mereka menuliskan kisah raja mereka sesuai titah sang raja. Atau kekuasaan Raja Dasarata yang dikisahkan selama ribuan tahun dalam epos Ramayana. Dari ketiga contoh tersebut terkandung maksud lain dari mereka yang menyebarkan mitosnya (baca: ideologi). Ke semua contoh mempunyai ideologi yang sama: kekuasaan yang besar. Pada contoh pertama mempunyai dua ideologi yaitu kekuasaan dan pelestarian alam.
Sipil yang menerima mitos-mitos itu akan patuh dan menerimanya. Seperti pada contoh pertama, jangankan untuk mengeksploitasi (baca: food estate), bahkan memasukinya saja tidak berani.
Mitos
Kembali ke masa sekarang. Masih efektifkah mitos-mitos yang dibuat orang dulu untuk menerapkan hidup rukun dengan alam? Jawabannya tentu tidak. Karena setiap kebudayaan, setiap masa, mempunyai mitosnya masing-masing seperti mitos Iphone yang penulis jelaskan di atas. Dan dengan berkembangnya iptek, mitos-mitos zaman dulu sudah terbantahkan dengan jawaban-jawaban sains. Seperti pada mitos lain “pamali kencing di bawah pohon beringin”. Mitos itu sekarang terjawab dengan pengetahuan bahwa pohon terutama beringin bisa menyimpan air dan karenanya mata air ada.
Produksi mitos akan lingkungan mangkrak? Seakan buntu akan inovasi. Pemerintah dengan segala kemudahan bahkan ilmu pengetahuan, tidak bisa memberikan permintaan pasar mengenai mitos-mitos baru tentang hidup berdampingan dengan alam.
Alih-alih berinovasi pada mitos-mitos baru, petinggi pemerintahan malah melakukan pelecehan terhadap bahasa (baca: eufimisme) –konsep di mana norma sosial mengatur penggunaan berbahasa seperti penghalusan kata, “kamu terlalu baik” adalah bentuk lebih halus dari “kamu itu jelek”. Melalui food estate, hal itu adalah sebuah penghalusan dari “eksploitasi alam” atau bahkan “perusakan alam”. Menipu sipil dengan dalih “ketahanan pangan”.
Masyarakat pun sama halnya. Tahu maksud sebenarnya orang dulu menggunakan kata “pamali” karena ketidaktahuan dan menakutinya dengan beragam kutukan, tapi tidak bisa mencapai pada maksud yang diinginkan. Hidup berdampingan dengan alam. Seakan haus akan mitos baru. Masyarakat berani melanggar larangan-larangan seperti membuang sampah ke sungai karena tidak ada sanksi yang diterima seperti kutukan yang diancamkan leluhur.
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain tentang budaya