Aksi Kamisan Bandung ke-421 Menyoroti Kebijakan Ngawur Gas Melon, Mengabaikan Hajat Hidup Orang Banyak
Pelarangan gas melon tidak dilandasi riset dan pertimbangan hak asasi manusia. Mengorbankan rakyat kecil.
Penulis Yopi Muharam8 Februari 2025
BandungBergerak.id - “Kebijakan gas elpiji 3 kilogram benar-benar ngawur. Seharusnya ada kajian yang benar-benar matang. Ketika kebijakan itu ngawur yang terjadi di lapangan adalah adanya ketimpangan, bahkan nyawa pun jadi taruhannya,” ungkap Fayad, pegiat Aksi Kamisan Bandung saat membuka Aksi Kamisan Bandung ke-421, di pelataran Gedung Sate, Bandung, Kamis, 6 Februari 2025.
Fayad menyoroti langkah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang mengeluarkan kebijakan penarikan gas melon dari pengecer ke pangkalan resmi Pertamina, 1 Februari 2025 kemarin. Menurutnya kebijakan tersebut sama sekali tidak menguntungkan bagi rakyat.
Akibat dari penetepan tanpa petimbangan, menurut Fayad membuat masyarakat terseok-seok mencari tabung melon bersubsidi tersebut. Baginya kebijakan itu sama sekali tidak merepresentasikan kebutuhan masyarakat Indonesia.
“Dan hal yang dialami masyarakat adalah kelimpungan mencari ke sana kemari,” terangnya. “Hal ini menunjukan bobroknya negara dalam meluncurkan satu regulasi, satu kebijakan yang pada nyatanya tidak benar-benar bijak.”
Kebijakan baru gas melon berimbas pada pedagang. Di seberang Aksi Kamisan Bandung digelar, seorang penjual mi ayam gerobak yang sedang melayani konsumen adalah salah satunya. Dia adalah Rasman, sudah 20 tahun dia berjualan mi ayam grobak.
Kebijakan penarikan gas elpiji 3 kilogram membuatnya harus meliburkan diri selama tiga hari. “Libur weh da teu aya gas,” ujarnya saat ditemui BandungBergerak di sela Aksi Kamisan Bandung. “Meuli kaditu kadieu, da teu aya,” lanjutnya.
Pria berumur 40 tahun itu sejak Minggu, 31 Januari 2025 kelimpungan mencari gas ke pengecer. Tak kunjung mendapatkan tabung gas 3 kilogram, dia langsung mendatangi pangkalan resmi dari Pertamina.
Sesampainya di sana, dia harus mengantre dengan masyarakat lainnya. Saat hendak membeli gas 3 kg tersebut, ternyata diwajibkan membawa KTP. Hal itu membuat Rasman harus pulang dulu ke rumahnya dan kembali lagi ke pangkalan.
“Udah bawa KTP nganrte lagi, akhirnya kehabisan terus. Liburin ajalah males,” keluhnya, saat semangkuk mi ayam bersiap dihidangkan ke konsumen.
Di samping itu, Ace berorasi dengan suara lantangnya dan menyatakan bahwa Indonesia tidak benar-benar merdeka. “Bahwa yang merdeka hanya para elite-elite kawan-kawan,” ujar Ace.
Bagi Ace, perekonomian di Indonesia hanya menguntungkan pihak elite saja. Masyarakat selalu menjadi korban.
“Bahwa Indonesia merupakan negara kapitalis. Kita belum merdeka. Jangan percaya bahwa Indonesia sudah merdeka, karena negara ini diisi oleh para bahlul,” tegasnya, sembari melantangkan suara “Hidup korban dan jangan diam!.”
Baca Juga: Mengingat 18 Tahun Aksi Kamisan, Sampai Kapan Negara Mengabaikan Penyintas Pelanggaran HAM?
PAYUNG HITAM #48: Aksi Kamisan Bandung, Lebih dari Sekadar Mengingatkan Tragedi Kemanusiaan
Surat Terbuka JSKK dan Aksi Kamisan di Akhir Masa Jabatan Presiden Jokowi
Perempuan Bersuara
Di tengah Aksi Kamisan Bandung, dua orang perempuan memegang poster bertuliskan ‘Lebanon Dianugerahi Kahlil Gibran, Sementara Indonesia Diuji Bahlil dan Gibran’. Mereka adalah Risma alumnus Telkom dan Vira alumnus ITB. Risma dan Vira baru pertama kali datang ke Aksi Kamisan Bandung.
Mereka tergerak ikut Aksi Kamisan Bandung sebab khawatir terhadap kondisi negara saat ini. Risma jengah tatkala negara terlalu abai dan meremehkan hak asasi manusia. “Dan cara saya sebagai rakyat kecil cuma bisa (datang) ke Aksi Kamisan,” tuturnya, membuka obrolan.
Di samping Risma, Vira merasa miris dengan kondisi negara sekarang. “Di mana rakyat-rakyat banyak yang tidak mendapatkan keadilan,” terangnya. Oleh karena itu, ia datang ke Aksi Kamisan Bandung dan berharap aspirasi masyarakat dapat tersalurkan dan kelak di kemudian hari mendapat keadilan.
Terkait kebijakan gas melon, Risma sepakat dengan Fayad. Pemerintah tidak benar-benar serius dalam menerapkan kebijakan. Seharusnya pemerintah membuat riset secara komprehensif sebelum mengimplementasikan kebijakan tersebut.
Bagi Risma, pemerintah seakan bermain-main membuat kebijakan. Pemerintah seakan mengecek ombak di lapangan. Jika masyarakat protes, maka kebijakan tersebut dianggap gagal, jika tidak maka kebijakannya itu dijalankan.
“Jadi mereka itu membuat program hanya untuk kepentingan sendiri bukan rakyat,” tuturnya. Di sisi lain, Vira menambahkan, seharusnya pemerintah melakukan riset di lapangan.
“Jangan langsung lempar bola dan bikin panik masyarakat,” ujarnya. Sebab jika tidak melakukan riset secara komprehensif membuat masyarakat sengsara dan akibatnya membuat kegaduhan yang mempengaruhi segala sektor.
Risma menilai 100 hari kerja kepemimpinan Prabowo-Gibran negara makin kacau. “Katanya 100 hari Prabowo-Gibran itu memuaskan, menurut saya sama sekali tidak,” tegasnya.
Sementara itu Vira memberi contoh terkait kebijakan yang sangat tidak tepat sasaran. Contohnya, menjadikan program pendidikan dan kesehatan sebagai pendukung bukan prioritas. “Padahal itu hal yang esensial bagi masyarakat,” lanjutnya.
Teriakan Lantang Orator Perempuan
Sound audio yang berdiri di pelataran bergetar saat Mei melakukan orasi di depan peserta Aksi Kamisan Bandung. Mei seperti meluapkan segala kekecewaannya melalui aksi ini. Dalam pembukaanya dia seperti frustasi melihat kondisi negara di bawah kepemimpinan Prabowo-Gibran.
“Tambah gila kita lama-lama di bawah negara ini,” tegasnya. Dia menilai janji Prabowo-Gibran semasa kampanye pemilu akan membawa kepentingan rakyat. Akan tetapi dalam implementasinya, justru sebaliknya.
“Tapi pada akhirnya 100 hari pelantikan Prabowo Gibran, mereka gagal untuk menyelesaikan permasalahan rakyat, tapi malah sebaliknya mereka malah menambah masalah bagi rakyat, melipat gandakan masalahnya teman-teman,” tuturnya, dengan suara bergetar.
Dia juga menyoroti dunia pendidikan akhir-akhir ini. Mei mengatakan seiring bertambahnya tahun membuat biaya pendidikan semakin mahal. Padahal pendidikan merupakan hal yang sangat fundamental untuk masyarakat dan sudah dijamin oleh Undang-Undang.
Mei mengatakan bahwa dunia pendidikan semakin dikomersialisasi dan berujung pada privatisasi. Melalui berbagai peraturan yang dikeluarkan kementerian pendidikan malah membuat biaya pendidikan semakin mencekik.
“Padahal pendidikan itu hakikatnya dia membebaskan masyarakat dari kebodohan,” ungkapnya. Tidak hanya itu, dampak dari naiknya biaya pendidikan membuat mahasiswa harus terpaksa cuti, bahkan banting stir menjadi seorang pekerja. Padahal tidak semua mahasiswa memiliki kemampuan ekonomi yang sama atau merata.
“Bayangkan betapa sakitnya hati kita semua ini. Seharusnya semua masyarakat Indonesia berhak untuk mendapatkan pendidikannya teman-teman,” tegasnya.
Lebih dari itu, Mei juga menyoroti perampasan lahan yang marak terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Dia mengatakan perampasan lahan masyarakat merupakan bagian dari proyek strategis nasional (PSN) pemerintah yang sudah digalakkan sejak pemerintahan Joko Widodo.
Perampasan lahan membuat masyarakat kehilangan ladang pertanian bahkan rumah mereka. Mei juga membagikan ceritanya saat dia berkunjung ke Sulawesi, di mana banyak sekali proyek smelter di daerah Sulawesi. Menurut Mei dampak dari industri tersebut membuat lingkungan sekitar jadi tercemar.
Banyak masyarakat yang sakit-sakitan akibat menghirup polusi yang dihasilkan smelter tersebut. “Mereka mati di jalanan, mereka muntah darah sampai ga bisa keluar dari rumahnya,” ceritanya.
Mei lantas menyoroti tentang program unggulan Prabowo Gibaran tentang makan bergizi gratis (MBG). Program ini dinilai tidak sama sekali bergizi. “Banyak yang terjadi keracunan,” tuturnya.
Dia kemudian menyoroti pekerja migran Indonesia yang jauh dari sejahtera. Mei pernah menjadi pekerja Migran di Malaysia. Minimnya perhatian pemerintah terhadap pekerja migran membuat Mei naik pitam. Sebab pekerja migran merupakan salah satu penyumbang pajak terbesar di negara ini.
“Pengalaman saya selama di Malaysia, buruh migran itu mereka tidak diberi perlindungan hukum, mereka masuk dengan ilegal, dan tidak mau ada yang mendengarkannya,” ujarnya.
Seharusnya pekerja migran mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah. Terlebih mereka menyumbang pajak untuk pembangunan infrastruktur di Indonesia.
“Negara buta dengan isu-isu buruh migran, sedangkan buruh migran memberikan banyak sekali keuangan untuk membangun infrastruktur di negara ini,” tegasnya.
*Kawan-kawan bisa membaca artikel-artikel lain dari Yopi Muharam, atau tulisan-tulisan menarik lain tentang Aksi Kamisan Bandung