Sastra Palestina, Kolonialisme, dan Pemanusiaan
Pada penganugerahan Palestine World Prize for Literature, sungguh terasa daya sastra (tentang) Palestina menghubungkan orang-orang dari berbagai bangsa dan budaya.
![](http://bandungbergerak.id/cms/uploads/penulis/9/2/4/924_300x206.jpg)
Hikmat Gumelar
Sastrawan. Peraih penghargaan Palestine World Prize for Literature.
9 Februari 2025
BandungBergerak.id – Ketika tersiar kabar bahwa kumpulan puisi saya Dari Reruntuhan Mawar ke Cerita Ingatan meraih penghargaan dari Palestina World Prise for Literature, banyak teman saya mengajukan pertanyaan sama: Penghargaan apa itu?
Hal tersebut wajar karena Palestine World Prize for Literature memang tidak atau belum sepopuler penghargaan seperti Booker Prize atau Prix Goncourt, atau apalagi Nobel Prize. Namun tak mustahil Palestine World Prize for Literature dapat berkembang menjadi penghargaan yang tak kalah populer dan berwibawa karena dapat mengubah tatanan dan peran sastra dunia.
Keangkuhan
Banyak pagina dalam buku harian Ben Gurion, Bapak Bangsa Israel yang katanya suka menulis buku harian sejak usia 14 tahun hingga ia meninggal, menulis perihal bagaimana Palestina dan Israel.
Pada satu hari, misalnya, BG menulis, “Jika aku seorang pemimpin Arab, aku tidak akan menandatangani perjanjian dengan Israel. Itu wajar; kami telah mengambil negara mereka.”
Pada hari lain, BG menulis, “Janganlah kita mengabaikan kebenaran di antara kita sendiri… secara politik, kita adalah agresor dan mereka membela diri mereka sendiri… Negara ini milik mereka karena mereka menghuninya, sedangkan kita datang ke sini dan menetap.”
Pada hari lain lagi, BG menulis bahwa setelah Negara Israel berdiri dan pasukan besar dibentuk, “kami akan menghapuskan pembagian dan memperluasnya ke seluruh Palestina.”
Dalam “Kelahiran Israel, 1987” itu, BG pun menyatakan, “Penerimaan pemisahan tak mengharuskan kita meninggalkan Transyordania. Kita tak menuntut siapa pun untuk menyerahkan visinya. Kita akan menerima negara dalam batas-batas yang ditetapkan saat ini –tapi batas-batas aspirasi Zionis adalah kepentingan orang-orang Yahudi dan tidak ada faktor eksternal yang membatasi mereka.”
Pada 5 Oktober 1937, kepada Amos, anaknya yang ketika itu berusia 16 tahun, BG menulis surat, “Kita harus mengusir orang-orang Arab dan mengambil alih tempat tinggal mereka… Dan jika kita harus menggunakan kekerasan – bukan untuk mengusir orang-orang Arab di Negev dan Transyordania, tapi untuk menjamin hak kita sendiri untuk menetap di tempat-tempat tersebut—maka kita memiliki kekerasan yang siap sedia.”
Ihwal kemungkinan negara-negara Arab akan membantu Palestina, BG menulis, “Tapi kekuatan kita akan melebihi kekuatan mereka. Bukan saja karena kita akan lebih terorganisasi dan diperlengkapi, tapi karena di belakang kita ada kekuatan yang lebih besar, lebih unggul dalam jumlah dan kualitas, … seluruh generasi muda Yahudi dari Eropa dan Amerika.”
Dari situ jelaslah bahwa Israel adalah negara hasil merampas dari orang-orang Palestina, yang orang-orangnya sendiri diusir dan dilarang kembali agar, tegas BG, “yang tua mati, yang muda lupa.” Israel pun negara agresor, negara “berorientasi pada ekspansi.”
Untuknya, perang jalannya. Sebab, tulis BG pada 6 Februri 1948, “Perang akan memberi kita tanah itu. Konsep “milik kita” dan “bukan milik kita” hanyalah konsep perdamaian, dan dalam perang konsep-konsep itu kehilangan maknanya.”
Dalam perang itu pun, seperti juga berulang-ulang diuar-uarkan Perdana Menteri Banjamin Netanyahu, “Tentara Israel adalah tentara paling bermoral di dunia.”
Baca Juga: Nyala Api Aksi Jalan Kaki dari Bandung untuk Palestina
Mencari Sejarah Palestina di Pasar Antik Cikapundung
The Art Intifada, Membongkar Kejahatan Perang Israel terhadap Rakyat Palestina dalam Pameran Seni di Galeri Soemardja ITB
Pengiblisan
Retorika seperti itu, seperti ditulis Yoel Elizur di Haretz (23 Desember 2024), membuat masyarakat Israel percaya bahwa tentara Israel adalah tentara paling bermoral di dunia. Namun psikolog yang telah meneliti kebrutalan tantara Israel itu menulis pula, “Kerisauan akan keselamatan anggota keluarga yang bertugas di militer merupakan bagian dari kehidupan keluarga di Israel. Seperti orang-orang sezamanku, aku seorang ayah yang risau ketika anak-anakku bertugas di Pasukan Pertahanan Israel, dan aku seorang kakek yang lebih risau. Aku merasa ngeri dengan pembunuhan massal warga sipil di Gaza dan terganggu dengan dampak kebrutalan ini akan kesehatan mental para prajurit. Para prajurit kita terancam oleh retorika pemerintah yang menghasut dan melemahnya sistem peradilan sipil dan militer. Kebijakan-kebijakan ini melemahkan kode etik IDF, mendukung kekejaman, dan meningkatkan risiko cedera moral.”
Cedera moral ini “terjadi ketika tentara bertindak melawan nilai-nilai dan keyakinan moral mereka atau berpartisipasi sebagai pengamat. Mereka yang terluka dengan cara ini mengalami rasa bersalah dan malu, dan rentan akan depresi, kecemasan, dan dorongan bunuh diri.”
Tentara Israel yang dilanda cedera moral jumlahnya berlimpah. Mereka demikian bertemali dengan pengiblisan orang-orang Palestina seperti disampaikan tentara-tentara itu sendiri.
Ketika berada di Palestina, seorang tentara mengaku, “Aku merasa seperti, seperti, seperti seorang Nazi… sepertinya kami benar-benar Nazi dan mereka adalah orang-orang Yahudi.”
Tentara Israel lain berkata ihwal kompinya, “Seorang komandan baru datang menghampiri kami. Kami pergi bersamanya pada patroli pertama jam enam pagi. Ia berhenti. Tidak ada seorang pun di jalan, hanya ada seorang anak laki-laki empat tahun yang sedang bermain pasir di halaman rumahnya. Komandan itu tetiba berlari menangkap anak itu dan mematahkan lengan di siku dan kakinya di sini. Menginjak perutnya tiga kali dan pergi. Kami semua berdiri di sana dengan mulut ternganga. Aku bertanya, “Apa ceritamu?” Ia berkata kepadaku: Anak-anak ini perlu dibunuh sejak lahir. Ketika komandan melakukan itu, itu menjadi sah.”
Tentara lain menyampaikan rasa kuasa tentara Israel, “Rasanya seperti narkoba…. Anda merasa seperti Anda adalah hukum. Anda membuat aturan. Seakan-akan sejak Anda meninggalkan tempat bernama Israel dan memasuki Jalur Gaza, Anda adalah Tuhan.”
Kenyataan demikian terus disembunyikan. Narasi-narasi yang merupakan upaya mewujudkan Israel sebagai negara yang dicita-citakan bapak bangsa terus diproduksi, direproduksi dan didistribusikan ke setiap ruang publik di Israel, disuntikan ke setiap benak warga negara tersebut. Bahkan pun ke seluruh dunia terutama dengan terus menghegemoni media-media massa arus utama dunia.
Pemanusiaan
Orang Palestina tentu saja bukan Nazi. Bukan iblis. Mereka manusia. Manusia-manusia yang selalu merindu dan mengupayakan kemanusian mereka tumbuh di dan menumbuhkan lingkungannya sebagaimana zaitun. Sastra Palestina salah satu buktinya.
Lena Khalaf Tuffaha, penyair, esais, dan penerjemah Palestina-Amerika, menulis, “Tubuh sastra Palestina mencakup beberapa dekade dan benua. Orang-orang Palestina di dalam Palestina dan di seluruh diaspora di Amerika Utara, Amerika Latin, Eropa, Asia, dan Australia menulis dari luka asal kehilangan tanah air, tetapi mereka melakukannya dalam berbagai genre, dalam banyak bahasa, dan dalam banyak budaya.”
Mereka pun menulis dengan kecenderungan dan kompetensi subyektif masing-masing. Misalnya, Najwan Darwish, penyair dan editor Palestina yang bermukim di Yerusalem, merasa bahwa penyair adalah sejarawan. “Aku menulis dengan menyeret sejarah di belakangku.”
Adania Shibli, novelis, esais, dan professor yang bermukim di Yerusalem dan Berlin, memandang sejarah sebagai isntrumen pihak-pihak yang mendominasi. Di pusatnya, mereka dan kepentingan mereka yang dominan. Menulis pun baginya menjadi praksis “membawa yang minor dan marginal ke pusat.” Inilah yang dilakukannya antara lain dengan Detil Kecil, novel tipis tapi imajinatif dan dikerjakan sedikitnya selama dua belas tahun.
Menulis sebagai upaya humanisasi dilakukan oleh para penulis Palestina bukan baru-baru ini saja. Atef Alshaer, Dosen Senior Bahasa dan Budaya Arab di Universitas Westminster London, berkata bahwa sejak 1930-an, sastra Palestina sudah bergulat dengan penderitaan yang ditimbulkan oleh kekuatan kolonial. Bahkan kadang sastra Palestina pun “meramalkan apa yang akan terjadi pada orang Palestina, mulai dari penciptaan pengungsi massal sebagai akibat dari Nakba 1948—bencana yang menyebabkan 80% penduduk mengungsi—hingga perampasan dan pengasingan berkepanjangan sejak berdirinya Israel.”
Salah satu pemungkinnya, tafsir Atef, adalah kompensasi atas kurangnya kekuatan fisik mereka. “Mereka telah mengalami praktik kekerasan oleh pendudukan Israel & tak punya apa pun, jadi mereka telah menggunakan suara mereka semaksimal mungkin.”
Tafsir tersebut tentu boleh kita diskusikan. Namun, bagaimanapun, mencintai tanah air (yang hilang) dan berbagai upaya mengembalikannya merupakan salah satu upaya pemanusiaan. Bagi rezim kolonial, ini skandal, bahkan dosa. Kita dapat membacanya, misalnya, pada “Tujuh Langit untuk Mencintai Tanah Air”, karya Hiba Abu Nada, penyair, novelis, dan guru yang dibunuh serangan udara Israel di Khan Yunis, Gaza, pada 20 Oktober 2023. Di puisi ini, Nada menulis: Di paru-paru kita ada tanah air / dan di napas kita ada pengasingan, // tanah air yang mengalir deras di nadi kita / seiring langkah kaki kita mendekatinya. Laku demikian, lanjut Nada pada bait akhir, “Seakan-akan kita adalah skandal, kerinduan kita adalah kejahatan, / dan cinta tanah air adalah dosa.”
Israel dan sekutunya, terutama Amerika, Jerman, dan Inggris, berbuat lebih buruk lagi. Selain terus menambah pemukiman-pemukiman Yahudi di Tepi Barat, memindahkan ibu kota ke Yerusalem, dan berusaha menormalisasi hubungan Israel dan negara-negara Arab demi melancarkan jalannya skema penghapusan Palestina, mereka pun kian bersikeras mengendalikan korporasi-korporasi media global demi dominasi narasi Israel. Juga semakin merangsek masuk ke jantung lembaga-lembaga sastra yang berpengaruh terutama di Eropa dan Amerika.
Itulah yang memungkinkan kaum intelektual-estetik negara-negara Arab seperti Palestina, Yordania, Lebanon, Suriah, Tunisia, Irak, dan Iran meriung. Mereka mengadakan serangkain pertemuan intensif. Buahnya adalah gagasan betapa kian pentingnya menambah luas dan dalam solidaritas kemanusian dalam kaitan dengan usaha memperjuangkan Palestina merdeka secara damai. Untuk inilah resmi didirikan Palestine World Prize for Literature di Teheran, pada November 2018.
Ajang dua tahunan ini menganugerahkan penghargaan untuk kategori buku sastra anak, drama, memoar, kumpulan puisi, kumpulan cerita pendek, dan novel dengan total penghargaan uang tunai $US 60.000. Upacara penganugerahan pertama di Beirut, Lebanon, tahun 2022. Di Baghdad, Irak, yang diikuti oleh 345 buku dari 26 negara, adalah upacara penganugerahan yang kedua. Di sini, alhamdulillah, saya menjadi orang Indonesia pertama yang mendapatkan penghargaan dari Palestine World Prize for Literatur untuk kategori kumpulan puisi.
Pada acara yang berlangsung malam 16 Desember 2024, di Hoterl Al-Rasyid, yang dihadiri oleh lebih seribu undangan tersebut, terasa sungguh daya sastra (tentang) Palestina dalam memungkinkan orang-orang dari berbagai bangsa dan budaya menjadi saling terhubung. Sekalian menjadi seperti terasuki ruh Palestina yang sedemikian panjang merindukaan kemerdekaan.
*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan menarik lainnya tentang sastra dan Palestina