Di Atas Normal, Uraian Singkat Mengenai Darurat Militer
Darurat militer, keadaan darurat, keadaan bahaya, state of emergency, atau apa pun itu namanya, merupakan kondisi yang berbahaya bagi demokrasi dan masyarakat sipil.
Andi Daffa Patiroi
Asisten Pengabdi Bantuan Hukum di Lembaga Bantuan Hukum Bandung
12 Februari 2025
BandungBergerak.id – Serupa lagu Peterpan, darurat militer adalah sebuah kondisi ‘di atas normal’. Tidak seindah lagunya, kondisi tersebut sungguhlah mengerikan. Lirik “kaki di kepala, kepala di kaki” menggambarkan betapa kondisi ini membuat hal yang semula biasa menjadi tidak biasa. Melalui tulisan ini, penulis hendak mengupas kondisi darurat militer dengan sederhana.
Pada 3 Desember 2024 lalu, Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol mendeklarasikan darurat militer. Peristiwa ini cukup menghebohkan, banyak kanal di media sosial yang memberitakan soal ini. Mungkin dikarenakan ini terjadi di Korea Selatan, sebuah negara yang begitu digemari banyak orang.
Deklarasi ini berdasar atas tuduhan Presiden terhadap Partai Demokrat selaku oposisi dalam pemerintahannya yang dianggap telah bersimpati dengan Korea Utara dan melakukan aktivitas anti-negara. Akibatnya, militer beroperasi untuk mengambil alih gedung parlemen. Perbuatan tersebut direspons oleh masyarakat sipil pro demokrasi dengan serangkaian aksi protes tanpa henti. Tak ketinggalan, para penggemar K-Pop pun ikut turun ke jalan bersama masyarakat sipil lainnya, menuntut pemakzulan presiden.
Namun, apa itu darurat militer? Apakah ia berbahaya sehingga responsnya begitu masif?
Baca Juga: Kudeta Militer dan Deportasi Pengungsi Myanmar oleh Malaysia, Bagaimana Disposisi Diplomasi Indonesia?
Begal Demokrasi dan Amarah Kelas Menengah
Korupsi Koneksitas, Melintas Batas Sipil dan Militer
Darurat Sebagai Pengecualian
Carl Schmitt, seorang ahli hukum dan politik dari Jerman, melalui bukunya yang berjudul Political Theology (1922) menyatakan, “Sovereign is he who decides on the exception”. Artinya, yang berdaulat adalah ia yang menentukan seperti apa kondisi “pengecualian” itu, serta apa-apa saja yang dapat dilakukan di dalamnya. Akan tetapi, apa yang “dikecualikan” itu?
Secara politik ketatanegaraan, kata “exception“ di atas mengandung arti bahwa kondisi bernegara ada kalanya dalam kondisi “normal” dan “tidak normal”. Ketidaknormalan ini yang kemudian diistilahkan sebagai kondisi pengecualian atau keadaan darurat. Adapun salah satu jenis dari keadaan darurat ialah darurat militer.
Sederhananya, darurat militer adalah sebuah kondisi manakala negara berada dalam situasi tidak normal, sehingga diperlukan tindakan khusus yang “di atas normal”. Tindakan tersebut ialah dengan menempatkan militer sebagai pihak yang berwenang untuk menjalankan roda pemerintahan. Dalam arti, serangkaian pembatasan dan paksaan akan dilakukan dalam kondisi darurat militer.
Demokrasi dan peran sipil akan berkurang drastis, berganti dengan pemerintahan ala militer yang otoriter. Kondisi demikian tentu berbahaya bagi kehidupan demokrasi, sebab peran sipil menjadi sangat dibatasi.
Indonesia dan Darurat Militer
Dari segi hukum tata negara, deklarasi darurat militer merupakan hal yang legal. Setidaknya di Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sudah menyediakan instrumen hukum tersebut. Melalui Pasal 12, diatur bahwa Presiden berwenang untuk menyatakan keadaan bahaya.
Kondisi tersebut pun sudah pernah terjadi di Indonesia. Setidaknya di Aceh pada Mei 2003, darurat militer dideklarasikan. Tujuannya untuk menumpas gerakan separatisme di sana. Alhasil, terjadi serangkaian pelanggaran berat hak asasi manusia yang begitu tragis.
Adolf Hitler: Sejarah Kelam Keadaan Darurat
Di era modern, konsep darurat militer menjadi populer setidaknya ketika ia dideklarasikan di Jerman oleh Presiden Paul von Hindenburg pada Februari 1933. Hal tersebut dipicu oleh peristiwa terbakarnya Reichstag –sebuah gedung parlemen Jerman, suatu kebakaran yang dianggap sebagai sinyal pemberontakan dan perang saudara. Deklarasi tersebut dituangkan melalui dekret tentang perlindungan rakyat dan negara.
Terbitnya dekret tersebut membuat Adolf Hitler, selaku Kanselir Jerman pada saat itu, melakukan tindakan-tindakan ekstra-legal, seperti pembatasan atas kebebasan pribadi, seperti hak untuk bebas berekspresi, berpendapat, dan hak-hak sipil lainnya. Lebih dari itu, Hitler pun memanfaatkan kondisi ini untuk menumpas oposisi serta pihak-pihak yang dianggap dapat membahayakan negara. Menurut siapa? Tentu subjektif menurut ukuran dirinya. Alhasil, Hitler mempertahankan kondisi seperti ini hingga 12 tahun kemudian yang berujung pada pecahnya Perang Dunia Kedua dan segala kejahatan terhadap kemanusiaan yang mengitarinya.
Sayangnya, apa yang dilakukan Hitler kiranya dibenarkan secara hukum positif. Didasari oleh Pasal 48 Konstitusi Weimar, penguasa negara diberikan wewenang untuk “mengambil tindakan yang diperlukan untuk memulihkan keamanan dan ketertiban umum”, termasuk menangguhkan sementara hak-hak sipil. Konstitusi yang dijadikan dasar itu ialah konstitusi yang diberlakukan secara demokratis pada 1919, era setelah runtuhnya Kekaisaran Jerman pasca Perang Dunia Pertama. Namun sayangnya, konstitusi yang demokratis tersebut digunakan sebagai pintu masuknya rezim totalitarianisme.
Semoga Dapat Menjadi Pelajaran
Darurat militer, keadaan darurat, keadaan bahaya, state of emergency, atau apa pun itu namanya, merupakan kondisi yang berbahaya bagi demokrasi dan masyarakat sipil. Sebab, subjektivitas penguasa menjadi penentu jalannya pemerintahan ketika itu. Penguasa berhak menentukan kondisi seperti apa yang dianggap sebagai kondisi “di atas normal”, termasuk cara-cara mengatasinya.
Kekuasaan Hitler telah menunjukkan bagaimana ia memanipulasi keadaan darurat sebagai jalan memuluskan hasratnya untuk berkuasa. Korea Selatan pun memperlihatkan bagaimana masifnya respons masyarakat sipil terhadap deklarasi darurat militer, yang kemudian berhasil dicabut berkat tekanan yang dilakukan. Terlebih, Presiden Korea Selatan pun berhasil dimakzulkan. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan bahwa kondisi serupa dapat terjadi (lagi) di Indonesia. Untuk itu, mempelajari sejarah atasnya sebagai bentuk kewaspadaan merupakan hal yang perlu dilakukan.
Semoga “di atas normal” tetaplah menjadi lagu Peterpan yang biasa saya dengar. Semoga ia tidak bertransformasi menjadi apa yang dituliskan di tulisan ini.
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lainnya tentang politik dan demokrasi