• Berita
  • SEBELUM SABTU SORE #1: Kejomloan Dipaksakan Menjadi Masalah Pribadi dalam Struktur yang Diciptakan Negara

SEBELUM SABTU SORE #1: Kejomloan Dipaksakan Menjadi Masalah Pribadi dalam Struktur yang Diciptakan Negara

Biaya hidup mahal, akses transportasi buruk, minimnya lapangan pekerjaan, dan mahalnya harga rumah mendorong orang-orang memilih melajang alias jomlo.

Diskusi Sebelum Sabtu Sore, Jumat, 14 Februari 2025 di Perpustakaan Bunga di Tembok, Bandung, membahas permasalahan kejomloan. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)

Penulis Yopi Muharam15 Februari 2025


BandungBergerak.idKejomloan terlanjut dipandang sebagai masalah individual, bukan struktural. Padahal kejomloan memiliki kaitan erat dengan minimnya akses pekerjaan dan akses individu yang belum bisa terpenuhi. Akhirnya, kejomloan tidak lepas dengan kebijakan pemerintah.

Dalam diskusi Sebelum Sabtu Sore pada Jumat, 14 Februari 2025 yang dihelat di Perpustakaan Bunga di Tembok, Jalan Pasir Luyu Timur, Bandung, permasalahan kejomloan ini diangkat menjadi tema khusus bertajuk ‘Ngerinya Nasib Jomlo di Negara +62’. Diskusi yang dimoderatori oleh Winda Fadilan ini dipantik oleh penulis Tofan Aditya dan aktivis gender dari Great UPI Nida Nurhamidah.

Sebagai pemantik pertama, Tofan menuturkan alasan kejomloan yang mengakar ini disebabkan oleh kebijakan dari negara. Menurutnya, negara tidak memenuhi setiap kebutuhan individu warga negaranya. Misalanya hak dasar kesehatan, hak mendapatkan hunian layak, bahkan hak mendapatkan transportasi yang baik. “Itu tidak dipenuhi oleh negara,” tutur Tofan, membuka diskusi.

Dari permasalahan dasar tersebut, menurut Tofan akan mempengaruhi cara hidup masyarakat yang melajang. Sebab, jika negara tidak memenuhi kebutuhan dasar masyarakat maka masyarakat itu sendirilah yang harus memenuhi kebutuhannya sendiri.

Menurutnya kebutuhan dasar masyarakat seharusnya sudah terpenuhi oleh pemerintah. Tidak hadirnya negara untuk memenuhi kebutuhan dasar menjadi beban ganda bagi tiap individu.

Tofan melanjutkan, pola hidup yang dibangun hari ini membuat orang-orang jomlo menjadi teralienasi dari lingkungannya. Akhirnya masyarakat semakin giat untuk bekerja dan lupa akan hak pribadinya untuk menemukan pujaan hati.

Tidak hanya itu, hal yang memperparah lagi selain dari kebutuhan dasar adalah standarisasi berpasangan yang terbentuk karena masalah struktural dan akhirnya menciptakan kultur. “Ada juga hal-hal lain kaya ekonomi, budaya seperti perestuan orang tua, hal yang dibentuk oleh masyarakat itu juga akan berpengaruh (untuk kejomloan)” terangnya.

Diskusi Sebelum Sabtu Sore, Jumat, 14 Februari 2025 di Perpustakaan Bunga di Tembok, Bandung, membahas permasalahan kejomloan. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak
Diskusi Sebelum Sabtu Sore, Jumat, 14 Februari 2025 di Perpustakaan Bunga di Tembok, Bandung, membahas permasalahan kejomloan. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak

Buruknya Transportasi dan Mahalnya Biaya Hidup

Kebutuhan dasar yang mesti dipenuhi oleh setiap pasangan hidup adalah tempat tinggal layak. Menurut Tofan harga rumah saat ini terus meroket. Di sisi lain, standarisasi orang berpasangan agar dicap mapan harus memiliki hunian pribadi.

“Yang biasanya itu menjadi standar di mana keluarga tuh bisa dibilang mapan kalau ketika dia udah punya rumah,” tutur Tofan.

Harga rumah setiap tahunnya mengalami kenaikan yang signifikan. Bisa naik 10-20 persen tiap tahunnya. Hal ini tidak sebanding dengan upah minimum provinsi (UMP) yang kenaikan tiap tahunnya hanya merayap.

UMP Jawa Barat hanya naik 6,5 persen dari 2.057.495 rupiah tahun 2024 menjadi 2.191.238 rupiah di tahun 2025. Sedangkan upah minimum kabupaten/kota (UMK) Kota Bandung tahun 2025 hanya 4.482.914 rupiah, naik 273.605 rupiah dari tahun 2024 sebesar 4.209.309 rupiah.

“Itu artinya kepemilikan rumah untuk orang-orang muda akan semakin sulit tercapai,” ungkapnya.

Belum lagi untuk biaya hidup sehari-hari yang hanya bisa dipenuhi secara pas-pasan. Dampaknya masyarakat akan sesusahan menabung.

“Jadi uang kita habisnya untuk kebutuhan kita, tapi enggak ada slot buat nabung, buat masa depan, apa pun itu, entah itu untuk karier, pendidikan, atau untuk tabungan menjalin hubungan,” jelasnya.

Bagi Tofan gaji sebesar UMK hanya mencukupi kebutuhan hidup pribadi, bukan untuk memenuhi satu keluarga. Tidak hanya itu, masalah akses transportasi juga turut mendorong orang-orang memilih hidup melajang.

Tofan bercerita, dia mempunyai teman perempuan yang memiliki pasangan lalu putus akibat jarak. Perempuan itu sangat jarang bertemu atau bahkan diantar-jemput oleh kekasihnya. Di antara rumah dan kantornya tidak terakses transportasi umum. Sementara ia butuh tebengan untuk bekerja.

Ia kemudian sering diantar jemput teman sekantornya. Perempuan itu akhirnya memutuskan pasangannya dan memilih pacaran dengan teman sekantor. “Akhirnya Cinlok (cinta lokasi) temen satu kantornya ini dan mutusin si pacarnya ini,” ceritanya.

Cerita Tofan jika dilihat dari perspektif biasa bisa saja orang menyalahkan pasangan baru tersebut. “Tapi kalau dari segi kebijakan sebenarnya yang harus dikritisi adalah kenapa negara enggak nyediain transportasi publik yang layak,” lanjutnya.

Hal tersebut juga diamini oleh Nida. Menurutnya minimnya akses transportasi publik yang memadai di Kota Bandung dapat mempengarhui tingkat kejomloan. Sebab, tidak semua orang mempunyai hak istimewa mempunyai kendaraan pribadi seperti motor.

“Itu kan menunjukan bahwa akses transportasi itu secara tidak langsung memperparah kejomloan ini,” ujar Nida.

Hal tersebut juga memengaruhi kemacetan di Kota Bandung. Melansir dari TomTom Traffic, Kota Bandung menduduki peringkat ke-12 sebagai kota termacet di dunia, mengalahkan kota kapital Jakarta yang menduduki peringat 90.

Akan tetapi, Nida melanjutkan bahwa pemerintah seharusnya bisa memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. “Mungkin barang kali bukan ingin pemerintah turut mengatur soal mencintai itu harus seperti apa,” tuturnya. “Tapi setidaknya permudahlah akses, untuk akhirnya mendapatkan cinta tersebut.

Baca Juga: SUARA SETARA: Menjadi Jomlo Bukan Salahmu!
Susahnya jadi Jomlo di Zaman ini
Tofan dan Betapa Pentingnya Keterlibatan Kaum Jomlo dalam Persoalan Aktual

Kejomloan dalam Tulisan Kritis 

Untuk membedah fenomena kejomloan sebagai masalah sosial, Tofan sebelumnya menulis esai berjudul ‘Kejomloan Saya adalah Kesalahan Negara!’. Tofan membeberakan alasan kenapa dia menjomlo selama tiga tahun padahal dirinya sudah berusia seperampat abad lebih.

Tofan sebetulnya pernah dikenalkan pada seorang gadis asal Solo. Namun Tofan menolaknya. Alasan Tofan karena perbedaan kelas sosial yang nyata. “Dengan apa yang dimiliki sekarang, saya merasa belum layak saya bersanding dengan perempuan mana pun,” tulis Tofan, dalam esai yang dimuat di BandungBergerak.

Tofan mengutip data dari Good News From Southeast Asia yang menyebut bahwa jumlah penduduk jomlo di Indonesia menjadi yang terbanyak se-Asia Tenggara (61.104.880 orang). Faktor penyebab utama fenomena melajang ini karena masalah finansial yang belum matang. “Artinya, dalam urusan hubungan, ekonomi memegang peran penting,” lanjut Tofan.

Sedangkan untuk menikah saja, sepasang kekasih setidaknya harus mempunyai modal agar pesta pernikahan itu dihelat semewah mungkin. Menurut Tofan menikah ini menjadi ajang adu gengsi di kalangan masyarakat.

Tulisan yang dibuat Tofan ini mendapat atensi dari para penulis lain, salah satunya Nida sendiri. Dalam kolom Suara Setara di BandungBergerak, Nida menulis Menjadi Jomlo Bukan Salahmu!’. Nida memvalidasi essay Tofan yang menyebut ada permasalahan sistematis yang membuat  kaum jomlo menjamur.

Nida mengungkapkan pengalaman menggelitiknya saat dia mengikuti seminar tentang pranikah. Saat itu, pemateri memaparkan bahwa angka pernikahan di Indonesia menurun drastis dalam satu dekade. Nida yang saat itu berada dekat dengan pemateri, dihampiri dan ditodong pertanyaan “Kapan kamu akan menikah?”.

Pertanyaan tersebut lantas membuatnya kaget. Sebab Nida menduga pemateri tersebut sudah memperkirakan dirinya sudah siap menikah di umurnya yang ke 24. Dirinya menjawab tidak tahu dan memperkirakan masih lama. Pertanyaan yang tak disangka Nida ialah pemateri tersebut mencapnya sebagai gen Z yang enggan menikah.

Saat ditanya alasan lebih dalam, Nida mejawab “Aku tidak yakin akan menikah di dunia yang hampir kiamat ini,” ceritanya. Dia juga menjawab dengan keluhan yang dirasakannya seperti mahalnya harga rumah, sampai biaya sekolah anak yang kian mahal.

Sehingga jawaban yang diterima Nida oleh pemateri tersebut dicapnya sebagai perempuan yang matre. “Padahal yang ingin aku tekankan adalah aku sedang berpikir realistis tentang kehidupan,” tulisnya.

Tetapi yang Nida digarisbawahi dalam tulisannya ini adalah adanya kapitalisme yang mengikat dan perasaan yang dijadikan komoditas. Bagi Nida jomlo ini adalah persoalan sistematis. Sebab di sana tersimpan muara kapitalisme yang berkelindan.

Dia mengutip pernyataan Eva Illous dalam why love hurts yang berpendapat bahwa penderitaan dalam cinta bukan sekadar akibat dari trauma individu, melainkan merupakan hasil dari perubahan sosial dan ekonomi yang mengatur cara kita berinteraksi satu sama lain.

“Dengan kata lain, cinta bukan hanya persoalan hati, tetapi juga bagaimana kapitalisme mengatur siapa yang berhak mencintai dan dicintai,” tulis Nida.

Tidak hanya Nida saja yang merespons tulisan Tofan. Ada juga Yogi Esa Sukma Nugraha yang menulis tentang ‘Tofan dan Betapa Pentingnya Keterlibatan Kaum Jomlo dalam Persoalan Aktual’ dan juga Laila Nursaliha mengungkapkan keresahannya di tulisan berjudul ‘Susahnya jadi Jomlo di Zaman ini’.

Mereka berdua menulis tentang keresahan seorang jomlo di era sekarang dengan persoalan yang sangat kompleks. Yogi melihat kejomloan dari perspektif sejarah dengan menceritakan kisah romansa Bung Hatta dan Tan Malaka. “Keduanya memiliki kisah asmara yang cukup unik dan mewarnai cerita perjalanan hidup masing-masing,” tulisnya.

Laila menulis kebanggaanya sebagai seorang jomlo. “Percaya tidak percaya, kejomloan saya 100 persen berguna meskipun bukan di ranah yang ideologis-ideologis amat. Tentu saja ini akan menambah optimisme di kalangan para jomlo,” tulisnya.

Permasalahan yang mengakar tentang kejomloan kepada tiap individu seyogianya tidak hanya disebabkan karena paras tampan atau semacamnya. Tofan mengeluarkan keresahannya selama ini di mana faktor atas dia menjomlo ada kaitnya dengan kebijakan pemerintah. Atau Nida yang mengungkapkan bahwa kapitalisme sudah mulai menjalar ke percintaan.

Mereka mengungkapkan permasalahan yang sudah akut namun terus dibiarkan hingga mengakar. Dalam subjudul Kapitalisme dan Cinta sebagai komoditas yang ditulis oleh Nida, dia mengutip pernyataan Fromm tentang cinta yang berubah menjadi tranksaksi.

“Manusia modern telah mengubah cinta menjadi komoditas. Orang-orang memandang satu sama lain sebagai investasi potensial yang seharusnya menghasilkan pertukaran terbaik,” tulis Nda mengutip Fromm (1956).

*Kawan-kawan bisa membaca artikel-artikel lain dari Yopi Muharamatau tulisan-tulisan menarik lain tentang DISKUSI SABTU SORE

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//