Tofan dan Betapa Pentingnya Keterlibatan Kaum Jomlo dalam Persoalan Aktual
Ini waktu yang tepat bagi kaum jomlo merumuskan strategi. Berbagai kekuatan dikembangkan kaum jomlo belakangan ini.
Yogi Esa Sukma Nugraha
Warga biasa yang gemar menulis isu-isu sosial dan sejarah
24 Januari 2025
BandungBergerak.id - Saya tidak punya kehendak membatalkan pendapat Tofan ihwal kejomloan, yang menurutnya merupakan problem struktural, yang disebabkan negara. Bagaimanapun, uraiannya tampak masuk akal ketika melihat persoalan yang sudah tentu punya dampak menyakitkan. Malah berterima kasih karenanya, sebab jadi tahu bahwa penulisan baku yang benar itu jomlo, bukan jomblo. Namun saya berminat menggeser sedikit pandangan untuk lebih optimis dalam melihat kaum jomlo, yang bahkan sebetulnya mampu diandalkan sebagai tulang punggung perubahan sosial. Itu sudah.
Sesaat setelah membaca tulisan Tofan, tiba-tiba teringat sebuah narasi yang hingga kini masih berkutat di kepala: bahwasanya modal penting para pendekar republik dalam usaha membebaskan rakyat dari belenggu kolonial adalah asmara. Beberapa dari kita mungkin saja tahu pergulatan hidup sosok seperti Bung Hatta dan Tan Malaka. Keduanya memiliki kisah asmara yang cukup unik dan mewarnai cerita perjalanan hidup masing-masing.
Saya kira itu jelas, juga terperinci. Kisah asmara yang terukir pada tokoh pertama sungguh cemerlang, dengan memberi buku karangan sendiri sebagai mas kawin. Sayang, kisah asmara tokoh kedua begitu muram --jika terminologi tragis terlalu brutal untuk melukiskan tragedi yang menimpa bapak republik. Ia terlampau getir bahkan untuk sekadar diwartakan; sang pujaan hati ditikung seorang feodal. Oh, betapa nahasnya...
"De tijd heelt alle wonden," tulis Marco Borsato, musisi Belanda, yang kira-kira memiliki pengertian bahwa, "waktu bisa menyembuhkan semua luka."
Saya tidak tahu apakah waktu pula yang mampu menyembuhkan luka sementara yang diderita Tan Malaka. Namun, jika hendak berbicara tentang asmara, Pramoedya Ananta Toer —sastrawan masyhur yang lahir genap seabad lalu itu, pernah menuliskan: "asmara selamanya merupakan tenaga perkasa yang pernah dipergunakan manusia dalam hidupnya." Sebagai suatu tenaga perkasa, tentu dapat dibayangkan seperti apa kekuatan dahsyat bagi orang yang memilikinya, terutama jomlo yang gamang menghadapi badai kesepian.
Yang Tersisa dari Pandemi
Dunia belum lama diguncang pandemi. Perubahan besar-besaran terjadi nyaris di seluruh belahan bumi. Setidaknya jutaan orang terjangkit virus dan sebagiannya meninggal. Saat itu beberapa cerdik cendekia berlomba-lomba menyodorkan analisis tentang bagaimana wajah dunia sesaat setelah wabah Corona menerjang. Dimulai Yuval Noah Harari, Slavoj Žižek, sampai Martin Suryajaya. Ada yang menawarkan pendapat bahwa dunia akan lebih buruk setelah pandemi. Sebagian lagi punya pandangan optimis.
Setelah semua berlalu, kita tahu bahwa anggapan pertama lebih tahan lama. Untuk sementara (dan untuk penghuni mayoritas di bumi), dunia kian terasa muram. Ia menggagalkan tesis yang menyatakan bahwa, oleh karena manusia adalah makhluk yang bisa merefleksikan diri, maka ia pasti lepas dari keadaan paling muram di dalam hidup ini.
Pada akhirnya saya turut menyadari bahwa pendapat sejenis itu terlampau naif. Pandemi memang telah pergi. Namun (bagi rakyat kecil yang terkena dampak beleid absurd rezim), kerusakan masih terus terjadi. Kita bisa melihat bahwa dalam berbagai situasi, nyaris selalu ada yang bersiasat mengambil keuntungan sepihak di republik ini. Untungnya, tentu saja ini langka, masih tersisa orang-orang yang berlaku sebaliknya. Ada juga kalangan yang --jomlo maupun tidak-- terus berupaya untuk sama-sama bertahan sekadar memenuhi kebutuhan dasar.
Inilah yang subur pada kehidupan akar rumput, dan tumbuh dalam ruang-ruang yang kumuh; dengan lain kata, bisa ditemui pada siapa-siapa yang dekat dengan kenyataan sehari-hari masyarakat, atau dari wilayah dengan penduduk yang padat. Pada saat krisis pandemi ini mulai melanda, begitu bergeliatnya publik di beberapa titik yang berupaya memaknai dan merayakan kembali relasi dengan sesamanya, meski sebagian hanya di dunia maya --sebagai penanda, bisa dilihat masifnya tagar #wargabantuwarga.
Sialnya, momentum kebersamaan pada saat dunia yang seolah mengalami jeda ini, disia-siakan begitu saja oleh para pembuat policy. Dan itu pula yang sekarang menjadi persoalan krusial. Lama setelah pandemi meluluhlantakkan dunia dan seisinya, kerusakan ekologis dan ketimpangan justru makin parah. Bahkan sangat mungkin pertikaian ekonomi bakal terjadi lebih keras lagi, dan tentu saja yang akan menjadi korban di garda terdepan adalah manusia lapis bawah (baca: kaum pekerja, wabilkhusus yang masih jomlo) dan lingkungan sekitarnya.
Baca Juga: Kejomloan Saya adalah Kesalahan Negara!
Untungnya Musik Universal, Akmal Mungkin Tidak Menyadarinya
Sialnya Kita Miskin, Bernadya Mungkin Tidak Merasakannya
Selanjutnya, Bagaimana?
Selain Tofan yang telah melempar pandangannya ihwal kejomloan, belakangan ini sejumlah teoritikus juga ramai-ramai membuat analisis tentang kemungkinan apa yang bakal terjadi setelah Prabowo-Gibran memimpin republik. Di antaranya Coen Hosein Pontoh dan Abdil Mughis Mudoffir.
Pihak pertama berpendapat bahwa demokrasi akan jatuh ke pangkuan rezim dengan corak diktator kapital. Ia menunjukkan bahwa melalui perspektif kelas, pemerintahan Prabowo justru akan semakin otoriter ketimbang Jokowi. Sementara yang kedua melihat, walaupun berpotensi menggerus fondasi demokrasi, tetapi tak akan mampu membonsainya.
Pendapat kedua itu juga menunjukkan bahwa Prabowo sangat musykil mengganti demokrasi dengan sistem otoriter karena ada kendala struktural yang justru disediakan oleh sistem demokrasi itu sendiri. Tantangan yang berpotensi menghadang beleid aneh yang ditentukan pemerintah kiwari, menurut argumen kedua yang ditulis Abdil Mughis Mudoffir, "...bukan datang dari masyarakat sipil, melainkan dari persaingan di antara para elite predator yang berupaya memusatkan kekuasaan dan kekayaan di tangan mereka sendiri."
Saya merasa keduanya masuk akal. Namun apa boleh bikin. Sejauh ini, semuanya masih sebatas kemungkinan, belum menjadi kenyataan aktual itu sendiri. Dan jika kembali mengingat pada Pram, ia sempat menuliskan, "bahwa kasih sayang tradisional yang tidak diarahkan pada masa datang yang lebih pelik dan beragam adalah juga kekeliruan yang harus dibetulkan", selanjutnya Pram juga mencatat, "untuk membetulkan kasih sayang pun dibutuhkan pergulatan, keberapian, dan ketepatan tindak."
AHA! Tindakan macam apa kira-kira yang bisa tepat guna bagi jomloan/jomlowati masa kini?
Saya tidak bisa menyodorkan apa-apa. Namun kiranya ini adalah waktu yang tepat bagi kaum jomlo merumuskan strategi taktik. Mengenai tenaga perkasa atau yang secara mudah dipahami dengan istilah kekuatan, Theodore Brameld dalam studi berkepala Education as Power pernah mengungkapkan bahwa setiap kekuatan bisa diibaratkan sebagai dua sisi mata uang, di dalamnya pasti terdapat sisi positif maupun sisi negatif. Saya merasa segi pertama telah cukup mengemuka, ditandai dengan hadirnya berbagai kekuatan yang dikembangkan kaum jomlo belakangan ini.
Mereka ---yang diwakili, dan sedikit banyak telah dibuktikan, oleh Tofan melalui tulisannya--- seolah menegaskan bahwa tengah muncul transisi terhadap kebiasaan maupun sudut pandang atas kehidupan yang biasa dijalani para jomlo. Ia juga sekaligus memberi sinyal untuk masuk barisan pada siapa-siapa yang hendak merawat kelestarian lingkungan dan mengikis ketimpangan. Untuk dunia yang lebih berkeperijomloan, dan demi terhindar dari kekeliruan dalam menyikapi cobaan yang bisa menimpa banyak orang, tidak ada salahnya jika berusaha maksimalkan potensi kekuatan dan merajut solidaritas antarsesama (tuna asmara).
Sebab, kaum jomlo tidak akan kehilangan apa pun kecuali belenggu kejomloannya...
*Kawan-kawan yang baik bisa membaca tulisan-tulisan Yogi Esa Sukma Nugraha atau tulisan-tulisan lain tentang sejarah, sosial, dan budaya.