Mengapa Kita Perlu Waspada Terhadap Target Pertumbuhan Ekonomi Prabowo?
Permasalahannya bukan pada investasi dan pertumbuhan ekonominya. Akan tetapi, pada cara untuk dapat mencapai pertumbuhan ekonomi yang dimaksud.

Iqbal Yanuar Ramadhan
Warga Bandung Barat yang sedang menempuh pendidikan pascasarjana di Program Sstudi Ilmu Politik Universitas Padjadjaran (Unpad)
17 Februari 2025
BandungBergerak.id – Mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi telah menjadi semacam obsesi bagi setiap presiden terpilih Indonesia. Dalam dua dekade terakhir, baik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Joko Widodo (Jokowi), menargetkan perekonomian Indonesia tumbuh di rata-rata 5 persen hingga 7 persen. Pertumbuhan ekonomi dipercaya dapat menjadi obat mujarab bagi permasalahan ekonomi yang masyarakat hadapi. Mulai dari kemiskinan, pengangguran, dan masalah turunan yang dihasilkan oleh keduanya. Logikanya, jika ekonomi tumbuh, maka lapangan kerja akan terbuka. Jika masyarakat memiliki pekerjaan, maka tingkat konsumsi masyarakat akan terkerek pula. Konsumsi ini akan berujung pada potensi peningkatan pendapatan negara yang mengambil pajak dari barang yang masyarakat konsumsi. Jika pendapatan negara tumbuh, negara dapat menyediakan layanan publik yang lebih baik. Semua senang, semua tenang.
Setali tiga uang dengan pendahulunya, Prabowo Subianto juga terobsesi dengan pertumbuhan ekonomi. Di umur pemerintahan yang masih seumur jagung, Prabowo telah memasang target yang ambisius. Dalam pidatonya di acara Musyawarah Nasional Konsolidasi Persatuan Kamar Dagang Indonesia (Kadin), ia menargetkan ekonomi tumbuh sebesar 8 persen setiap tahunnya. Pernyataan ini perlu kita sikapi dengan hati-hati. Pasalnya, target ini berpotensi untuk memperluas kuasa oligarki dan melemahkan agenda reformasi.
Baca Juga: Indonesia di Bawah Prabowo-Gibran, Kabinet Gemuk Dikhawatirkan Melemahkan Semangat Oposisi dan Kritik
Menerka Tantangan Pergerakan Sipil di Tangan Pemerintahan Prabowo-Gibran
YLBHI Merilis Catatan Kritis Bertepatan dengan 100 Hari Kerja Pemerintahan Prabowo
Belajar dari Pemerintahan Jokowi
Pada tahun 2021, Eve Warburton, seorang Indonesianis, melakukan analisa terhadap pemerintahan Jokowi. Analisisnya menunjukkan bahwa pemerintahan Jokowi dapat dikategorikan sebagai pemerintahan yang bercorak neo-developmentalisme. Analisa ini dibangun atas dua argumentasi. Pertama, pemerintahan Jokowi bersifat sangat pragmatis dalam upayanya mencapai pertumbuhan ekonomi. Kedua, Jokowi akan mensubordinasi agenda lain di bawah kepentingan pertumbuhan ekonomi. Artinya, Jokowi hanya akan melaksanakan suatu agenda jika dipandang dapat mendukung pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, ia juga tidak segan untuk meninggalkan agenda-agenda yang dipandang dapat menghalangi pertumbuhan ekonomi negara.
Analisa ini menemukan kebenarannya ketika kita melihat berbagai kebijakan yang Jokowi hasilkan. Misalnya, Jokowi mengesahkan Undang-undang Cipta Lapangan Kerja (UU Cilaka) di tengah penolakan yang luas dari masyarakat umum. Masyarakat menyandarkan penolakannya pada dua argumentasi. Pertama, proses penyusunan UU tersebut tidaklah demokratis dan transparan. Kedua, UU ini dianggap terlalu berorientasi pada kepentingan pemilik modal. Di tengah penolakan yang luas tersebut, Jokowi tetap bergeming dan mengesahkan UU tersebut. Penolakan masyarakat bobotnya sangat kecil dibandingkan dengan agenda Jokowi untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi.
Pengesahan UU Cilaka juga menunjukkan tren membahayakan dalam kebijakan ekonomi Jokowi. Kebijakan ini menghasilkan kapitalisme kroni. Suatu kondisi yang menggambarkan lahirnya kelas konglomerasi yang mengakumulasi kekayaannya melalui kedekatan dengan penguasa. Hubungan ini diterjemahkan dalam bentuk pembuatan kebijakan yang menitikberatkan kepentingan pengusaha. Hal ini ditukar dengan investasi untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi negara. Konsekuensinya, pertumbuhan ekonomi dampaknya lebih banyak dirasakan oleh pemodal ketimbang masyarakat luas.
Selain kemunculan kapitalisme kroni, dampak lain dari kebijakan bercorak neo developmentalisme juga terefleksikan dari tingginya konflik agraria di era pemerintahan Jokowi. Menurut catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), dalam kurun waktu 10 tahun pemerintahan Jokowi, jumlah konflik agraria di Indonesia mencapai 2.939 konflik. Angka ini jauh lebih besar dari angka konflik agraria yang muncul pada era pemerintahan SBY yang mencapai 1.502 konflik. Munculnya konflik agraria tidak dapat dilepaskan dari orientasi neo-developmentalisme tersebut. Pasalnya, konflik agraria lahir sebagai akibat dari perlawanan masyarakat terhadap praktik penguasaan lahan oleh pemerintah maupun korporasi yang difasilitasi melalui kebijakan yang tidak berkeadilan.
Belajar dari pengalaman ini, kita perlu berhati-hati dengan segala bentuk target pertumbuhan ekonomi yang dicanangkan oleh pemerintah. Permasalahannya bukan pada investasi dan pertumbuhan ekonominya. Akan tetapi, pada cara untuk dapat mencapai pertumbuhan ekonomi yang dimaksud. Dalam kasus Jokowi, pertumbuhan ekonomi adalah yang utama. Segala bentuk agenda yang dianggap dapat menghambat pertumbuhan ekonomi adalah hal yang sekunder. Termasuk berbagai agenda reformasi seperti demokratisasi, pemberantasan korupsi, kebebasan pers, otonomi daerah, penghapusan dwifungsi ABRI, dan sebagainya.
Adakah Benih-Benih Neo-Developmentalisme pada Prabowo?
Sejatinya sulit bagi kita untuk menilai benih-benih neo-developmentalisme dalam kebijakan ekonomi Prabowo. Selain karena masa pemerintahannya yang masih pendek, pemerintahan Prabowo juga tampak masih belum memiliki cetak biru yang jelas untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi yang dicanangkannya. Majalah Tempo mencatat bahwa pemerintahan Prabowo masih berfokus pada program populis seperti makan gizi gratis dan belum memfokuskan diri pada kebijakan ekonomi.
Di tengah ketidakpastian cetak biru kebijakan ekonomi, penulis akan menyoroti pernyataan Prabowo. Pernyataannya dapat kita anggap sebagai sinyal bagi kebijakan ekonomi yang akan diambil oleh pemerintah. Lebih spesifik lagi, penulis menyoroti pernyataan Prabowo yang mengindikasikan akan lebih banyak melibatkan sektor privat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Dalam beberapa kesempatan, Prabowo menyatakan peran vital pengusaha, terutama untuk pembangunan infrastruktur. Pernyataan Prabowo ini dapat dipahami mengingat kondisi pemerintahan yang tidak akan mampu jadi penggerak ekonomi utama. Alasannya, gemuknya postur kabinet dalam pemerintahan Prabowo membuat jumlah anggaran belanja pemerintah membengkak. Selain itu, pemerintah juga memiliki berbagai program ambisius yang menelan anggaran dalam jumlah yang besar seperti makan bergizi gratis. Sehingga ruang fiskal dari pemerintah sangatlah terbatas untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Perluasan peran sektor privat untuk menggerakkan pertumbuhan ekonomi perlu menjadi perhatian, terutama jika pola-pola pelibatannya sama seperti di era pemerintahan Jokowi. Di era pemerintahan Jokowi, pemerintah terlampau berpihak kepada pemilik modal ketimbang pada masyarakat luas. Dampaknya, pertumbuhan ekonomi lebih banyak dirasakan oleh pemodal. Sementara itu, masyarakat harus berjibaku untuk mempertahankan hak atas penghidupannya yang rentan di rampas oleh pemerintah dan korporasi. Kondisi ini sangat mungkin pula terjadi di era pemerintahan Prabowo. Pasalnya, pemerintahan ini mewarisi berbagai produk hukum yang melegitimasi praktik ekonomi lancung yang memprioritaskan pemilik modal sekaligus meminggirkan hak-hak masyarakat seperti UU Cilaka.
Selain itu, kita juga dapat melihat kecenderungan Prabowo untuk mensubordinasi agenda reformasi untuk mewujudkan program prioritasnya. Hal ini terlihat dari adanya kecenderungan pemerintahan Prabowo untuk membangkitkan kembali dwi fungsi ABRI. Buktinya, pemerintahan ini melibatkan militer secara ekstensif dalam rangka menyukseskan program Makan Bergizi Gratis dan proyek strategis Food Estate di Merauke. Melihat kecenderungan tersebut, bukan tidak mungkin, di kemudian hari Prabowo akan mengeluarkan kebijakan lain yang tidak sensitif terhadap agenda reformasi demi menyukseskan target pertumbuhan ekonominya yang tinggi.
Pentingnya Agenda Penguatan Masyarakat Sipil
Kebijakan pemerintahan Prabowo di bidang ekonomi sejauh ini memang masih belum jelas. Akan tetapi, potensi pemerintahan ini untuk menjadi rezim neo-developmentalisme sudah mulai dapat kita rasakan. Di tengah situasi seperti ini, selaku masyarakat sipil, hal yang dapat kita lakukan adalah tetap waspada. Target pertumbuhan ekonomi Prabowo perlu kita lihat dengan kacamata yang penuh keraguan. Di saat yang bersamaan kita juga perlu sama-sama membangun basis kekuatan bagi terciptanya gerakan sosial yang efektif.
Kehadiran gerakan sosial yang efektif adalah sebuah keharusan. Pasalnya, di tengah situasi politik yang serba gelap dengan ketiadaan partai oposisi yang kuat, masyarakat tidak bisa menggantungkan harapannya kepada siapa pun selain pada dirinya sendiri. Agenda penguatan masyarakat sipil dalam mengawal target pertumbuhan ekonomi ini jelas. Pertama, kita harus pastikan bahwa program untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi dijalankan berdasarkan prinsip keadilan dan penghormatan atas hak-hak masyarakat sipil. Kedua, kita harus pastikan hasil pertumbuhan ekonomi dapat dirasakan manfaatnya oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa terkecuali.
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain mengenai politik