MAHASISWA BERSUARA: Hilangnya Daya Kritis Pemuda, Pancasila di Persimpangan Jalan
Pendidikan tentang Pancasila sering kali bersifat dogmatis, hanya menekankan hafalan tanpa memberikan ruang diskusi kritis.

Tubagus Eko Saputra
Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Paramadina
18 Februari 2025
BandungBergerak.id – Pancasila telah dikenal sebagai ideologi negara Indonesia dan diajarkan sejak dini kepada masyarakat. Namun, persepsi tentang Pancasila terus mengalami perubahan, khususnya di kalangan generasi muda. Pancasila yang awalnya dicanangkan oleh Ir. Soekarno sebagai Philosofische Grondslag atau dasar filsafat bangsa, kini dipandang semata-mata sebagai ideologi negara. Pemahaman ini, terutama di kalangan orang muda yang memiliki pemikiran cenderung dangkal dan keliru akibat berbagai faktor, termasuk minimnya literasi dan daya kritis.
Bagi mereka yang memiliki daya kritis dan literasi yang baik, Pancasila dipahami sebagai fundamen negara, sesuai pandangan Soekarno bahwa Pancasila adalah dasar di mana Indonesia merdeka didirikan. Namun, bagi generasi muda yang kurang literasi, Pancasila hanya dipandang sebagai slogan ideologi tanpa memahami makna mendalam di baliknya. Hal ini mengakibatkan implementasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari menjadi lemah.
Salah satu penyebab utama dari kesalahan pandangan ini adalah metode pembelajaran yang kurang efektif sejak usia dini. Pendidikan tentang Pancasila sering kali bersifat dogmatis, hanya menekankan hafalan tanpa memberikan ruang diskusi kritis. Selain itu, perkembangan teknologi dan perubahan budaya juga turut memengaruhi. Teknologi informasi, meskipun memberikan akses luas ke berbagai pengetahuan, membawa dampak negatif berupa masuknya budaya asing yang tidak sesuai dengan nilai-nilai lokal. Budaya hedonisme dan individualisme yang tersebar melalui media sosial, misalnya, semakin menjauhkan orang muda dari pemahaman akan nilai-nilai kebangsaan.
Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Potensi Tanaman Ganja Medis untuk Kesehatan, Peluang atau Tantangan?
MAHASISWA BERSUARA: Pro Kontra Undang-undang yang Mengatur Aborsi yang Berdampak pada Isu Kesetaraan Gender
MAHASISWA BERSUARA: Musik Dangdut sebagai Diplomasi Budaya
Melemahnya Daya Kritis
Budaya diskusi dan literasi yang menurun di kampus-kampus juga menjadi salah satu faktor penting. Lingkungan kampus yang seharusnya menjadi ruang untuk menuntut ilmu dan mengasah daya kritis kini lebih banyak dimanfaatkan sebagai tempat persaingan gaya hidup. Hal ini menyebabkan hilangnya fokus pada isu-isu kebangsaan, termasuk pemahaman mendalam tentang Pancasila.
Ketidakpahaman ini berdampak langsung pada implementasi lima sila Pancasila. Sila pertama, "Ketuhanan Yang Maha Esa," misalnya, sering kali dijadikan bahan candaan oleh sebagian generasi muda. Naluri keadilan yang seharusnya tergerak untuk menegakkan keadilan sosial, sebagaimana diamanatkan oleh sila kedua, justru memudar. Persatuan yang menjadi inti sila ketiga juga terganggu dengan munculnya gerakan separatis yang memperjuangkan kepentingan daerah tertentu.
Sila keempat, yang menekankan pentingnya musyawarah dalam mengambil keputusan, kini sulit diterapkan. Para pemimpin sering kali membuat kebijakan yang merugikan rakyat tanpa memperhatikan aspirasi masyarakat. Orang muda, yang seharusnya menjadi motor penggerak kritik terhadap kebijakan yang tidak adil, kini kehilangan suara mereka. Sila kelima, "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia," juga mengalami nasib serupa. Kebijakan pemerintah yang sering kali lebih memihak kepentingan elite dibanding masyarakat kecil jarang mendapatkan respons kritis dari generasi muda.
Dibandingkan masa lalu, peran orang muda dalam menyuarakan keadilan dan mengawal pemerintahan sangat menurun. Sejarah mencatat bahwa pemuda memainkan peran penting dalam berbagai momentum perubahan besar di Indonesia. Sumpah Pemuda, pergerakan mahasiswa pada masa transisi Orde Lama ke Orde Baru, hingga reformasi 1998 adalah bukti nyata peran pemuda sebagai penggerak perubahan. Namun, dalam satu dekade terakhir, hanya tiga aksi besar yang diinisiasi orang muda: "Reformasi Dikorupsi," "Tolak Omnibus Law," dan "Kawal Putusan MK."
Minimnya pergerakan ini menunjukkan lemahnya daya kritis generasi muda saat ini. Hilangnya ruang diskusi, baik di kampus maupun di masyarakat, semakin memperburuk situasi. Tanpa diskusi yang mendalam, sulit bagi orang muda untuk memahami permasalahan bangsa dan mencari solusi berdasarkan nilai-nilai Pancasila.
Refleksi
Dalam kasus ini kita diingatkan kembali oleh sosok Paulo Freire dengan mengkritik sistem pendidikan "gaya bank" yang memperlakukan siswa sebagai wadah kosong untuk diisi informasi tanpa mendorong pemikiran kritis. Pendidikan yang membebaskan harus mendorong dialog dan refleksi kritis agar siswa mampu memahami realitas sosial dan memperjuangkan perubahan yang lebih adil dan demokratis. Pendidikan yang dogmatis menjadi penyebab utama. Tanpa diskusi dan analisis mendalam, pemuda sulit memahami makna sejati Pancasila. Jika pendidikan bersifat dialogis dan berbasis realitas sosial, pemuda dapat lebih aktif berpikir kritis serta berperan dalam menyuarakan keadilan dan nilai-nilai kebangsaan.
Kondisi saat ini juga sangat relevan dengan teori Hegemoni oleh Antonio Gramsci. Gramsci menjelaskan bahwa kelas penguasa mempertahankan dominasinya melalui hegemoni budaya. Media, sistem pendidikan, dan institusi sosial membentuk kesadaran masyarakat agar menerima status quo tanpa perlawanan.. Dalam kondisi saat ini, hegemoni budaya terlihat dari pendidikan dogmatis yang hanya mengajarkan hafalan tanpa analisis kritis. Media juga lebih banyak menampilkan budaya konsumtif dan individualistik, menjauhkan pemuda dari nilai-nilai kebangsaan. Hegemoni ini membuat pemuda kehilangan daya kritis terhadap isu-isu sosial dan kebangsaan Akibatnya, pemuda cenderung apatis terhadap kebijakan publik dan kurang terlibat dalam gerakan sosial.
Untuk membangkitkan kembali daya kritis orang muda, langkah strategis yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan pendidikan yang mendorong pemikiran kritis. Kurikulum pendidikan perlu dirancang agar lebih interaktif dan melibatkan diskusi, debat, serta analisis kasus nyata yang relevan dengan kehidupan sehari-hari..
Selain itu, ruang diskusi yang konstruktif harus dihidupkan kembali di berbagai lingkungan, baik di kampus maupun di komunitas masyarakat. Diskusi-diskusi ini perlu difokuskan pada isu-isu kebangsaan, seperti bagaimana penerapan nilai-nilai Pancasila dapat menjadi solusi atas berbagai tantangan sosial dan politik saat ini. Ruang-ruang semacam ini juga dapat menjadi wadah bagi generasi muda untuk saling bertukar pikiran, memperluas wawasan, dan menciptakan solusi inovatif untuk memajukan bangsa.
Tidak hanya sebatas mengubah metode pembelajaran dan membuka ruang-ruang diskusi, tetapi juga membentuk wadah kajian yang bertujuan untuk memantik literasi dan nalar kritis orang muda, serta menggelar berbagai kegiatan bermutu seperti kegiatan seminar ataupun lokakarya adalah hal yang sangat penting.
Memberikan pendidikan kritis, dibentuknya ruang-ruang diskusi, menciptakan wadah kajian untuk memantik literasi dan menggelar berbagai kegiatan yang bermutu adalah empat kunci dasar apabila kita ingin membangkitkan kembali daya kritis orang muda saat ini, empat gagasan diatas sangat berpengaruh untuk memberantas sifat dogmatis yang tertanam pada diri orang muda.
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain Mahasiswa Bersuara