Nonton Bareng Film The Dupes dan Penggalangan Dana untuk Palestina di Perpustakaan Bunga di Tembok
Gencatan senjata Israel di Palestina menjadi kesempatan untuk mengirimkan donasi ke jalur Gaza. Penggalangan dana dilakukan di Perpustakaan Bunga di Tembok.
Penulis Salma Nur Fauziyah19 Februari 2025
BandungBergerak.id - Seorang laki-laki tua melintasi dataran gurun yang gersang. Dengan setelan kemeja kotak-kotak dan tudung yang melindungi kepala dari sengatan sinar matahari, ia berjalan tertatih-tatih. Langkahnya kemudian terhenti kala kedua matanya menemukan deretan pepohonan palem yang lebat. Ia, Abu Quais, kemudian berjalan ke sana.
Di bawah rimbun palem ia melempar tas dan tudungnya. Ia tersimpuh dan menelungkupkan tubuhnya di atas tanah yang subur. Sekelebat ingatan masa lalunya merangsek masuk. Adegan beralih pada saat ia berbaring di atas tanah bersama kawannya. Mengepal tanah subur di tangannya.
“Apakah kau mencium aroma dari tanah ini?” ia bertanya pada sang kawan.
Kawannya seorang lelaki tua menggeleng sebelum menjawab, “Setiap kali aku menciumnya saat berbaring di tanah, aku seperti bisa mencium aroma rambut istriku setelah mandi.
Mata Abu Quais berkaca-kaca mengingat kenangan itu seraya menyandarkan tubuhnya ke batang pohon palem. Pandangannya menerawang ke sebuah sungai. Kembali ia mengenang masa lalunya. Tentang rumahnya, istrinya, dan anaknya. Hal yang dirindukannya.
Itulah cupllikan awal dari film The Dupes (1972) yang disutradarai Tewfik Saleh. Ditayangkan di Perpustakaan Bunga di Tembok, Sabtu, 15 Februari 2025 dalam acara “Gaza Fundraising Event” yang disokong LayarKita, Muslih, dan Wanggi Hoed.
Film hitam-putih ini hasil adaptasi dari novel karya penulis dan juga salah satu pendiri dari Front Pembebasan Palestina Ghassan Kanafani berjudul “Men In The Sun”. Bahkan sejak penayangannya, film ini banyak ditolak oleh berbagai pihak. Hingga larangan penayangan di beberapa negara Arab karena begitu kental dengan unsur politik.
Berlatar waktu tahun 1958, sepuluh tahun setelah kejadian Nakba (1948), film Men In The Sun menampilkan kehidupan orang-orang Palestina di kawasan pengungsian. Berpusat pada tiga orang protagonis laki-laki yang ingin pergi ke Kuwait untuk mencari peluang kehidupan yang lebih baik. Mereka adalah Abu Quais, Marwan, dan Assad.
Saat mencari orang yang dapat menyelundupkan mereka, Assad bertemu dengan Abul Khaizaran, seorang supir truk angkut yang bekerja pada seorang kaya di Kuwait. Ia menawarkan pada Assad dan kedua orang lainnya bahwa ia siap menyelundupkan mereka ke Kuwait melewati Iraq. Namun dengan sebuah syarat, mereka harus bersembunyi di dalam tanki setiap melewati pos penjagaan di waktu matahari sedang terik-teriknya (latar film menyebutkan bahwa saat itu musim panas di bulan Agustus).

Dalam suasana temaram yang hening, para penonton yang duduk di kursi dan sebagian lantai Perpustakaan Bunga di Tembok menonton setiap adegan yang disajikan. Terkadang tertawa dengan lelucon yang dilontarkan para tokoh. Namun, ketegangan begitu mendominasi.
“Film ini merupakan salah satu film paling intens yang pernah saya tonton. Tidak ada yang menyenangkan dari film ini. Karena sekali lagi, kita ditampar oleh kejamnya realita hidup yang harus dihadapi banyak manusia tak bersalah,” ujar Nuryanti, salah satu penonton yang juga menjadi pembawa diskusi film The Dupes.
Setelah film selesai diputar, diskusi berlangsung dipimpin Muslih (inisiator acara) dan Yanti. Mereka melontarkan pandangannya terhadap alur film dan juga refleksi atas realitas kejam yang terus saja berlangsung terhadap orang-orang Palestina hingga saat ini.
Selanjutnya, penampilan duet Muslih dan Wanggi Hoed. Muslih yang memainkan Oud (instrumen musik klasik Arab) sambil menyanyikan dua lagu (Yama Muwil Al-Hawa dan Ya Falestiniyah) yang mengiringi penampilan pantomime Wanggi Hoed. Malam itu Wanggi mengenakan kostum seorang dokter bedah. Di dadanya tersemat nama Dr. Hussam Abu Safiya, seorang dokter yang beberapa waktu lalu ditahan Israel. Penampilan ini menjadi acara terakhir dari penggalangan dana untuk Gaza.
‘Wahai rakyat Palestina, Revolusi adalah kepastian,
Dengan senapan kita akan membentuk kehidupan baru kita.
Tak peduli seberapa panjang atau jauhnya jalan,
Mempercepat langkah kita adalah yang akan membawa kita maju…” – potongan lagu ‘Ya Falestiniyah’
Baca Juga: Sastra Palestina, Kolonialisme, dan Pemanusiaan
Dari Baghdad ke Bandung, Menyuarakan Kemanusiaan di Palestina Lewat Kesusastraan
Membela Palestina di Jalan Asia Afrika

Lebih Baik Mati di Tanah Sendiri
Saat sesi diskusi salah satu penonton mengomentari pakaian para pemain yang menurutnya pada tahun 50-an, negara yang terkenal dengan buah zaitunnya itu memakai pakaian yang ‘biasa’. Tidak seperti apa yang dibayangkannya tentang cara berpakaian orang Arab yang sering kali ditampilkan oleh media massa memakai abaya. Namun, komentar itu direspons oleh salah satu mahasiswa Palestina yang hadir di sana.
Said, bukan nama sebenarnya mahasiswa tersebut, mengatakan Palestina seperti kebanyakan negara Arab yang tidak pernah berada dalam hukum syariat. Maka cara berpakaian mereka tidak ditentukan oleh hukum agama tertentu. Orang muslim akan berpakai sebagaimana seorang muslim berpakaian, begitupun jika mereka seorang Kristen ataupun Yahudi.
“Dan tidak seperti apa yang kita pikirkan, ketika kita memikirkan Saudi Arabia. Jadi, mungkin ini stereotipe yang harus kita pelajari lagi, yang harus kita review lagi. Karena itu bisa jadi stereotipe yang harmful bagi teman-teman kita di Palestina,” kata Yanti, mencoba menerjemahkan poin yang diomongkan Said.
Dengan kata lain, Palestina merupakan bangsa yang majemuk terdiri dari penganut Islam, Kristen, dan Yahudi. “Yang merasakan dampak dari genosida itu bukan hanya muslim. Tapi, umat kristiani juga,” katanya.
Pada intinya semua orang Palestina menderita. Said juga bercerita di saat perayaan Paskah dan Natal umat kristiani Palestina tidak diperbolehkan untuk merayakannya. Mereka akan ditanya kota asal sebelum masuk gereja. Jika mereka umat kristiani Palestina maka mereka tidak diperbolehkan memasuki gereja.
Said sebagai seorang Palestina yang lahir dan besar di luar negaranya, mengingat kembali kalimat yang pernah dilontarkan ayahnya. “Ayahku berkata, meskipun ia bekerja di sebuah perusahaan yang bagus sebagai insinyur sipil (civil engineer). Pokoknya semuanya tidak ada kekurangan. Namun, apa yang dia katakan, aku lebih baik mati di desaku dibandingkan harus pergi dan bermukim di tempat lain,” ujarnya, dalam bahasa Inggris.
Hal kedua adalah apa yang terjadi pada orang-orang di Gaza yang masih tinggal di sana adalah mereka lebih baik mati di Gaza dibandingkan harus keluar dari sana. “Ke mana pun kalian pergi, kalian akan menderita,” lanjut Said.
Tidak semua negara akan menyambut mereka dengan ramah. Pun jika mereka tinggal di negara tersebut, mendapatkan identitas (kewarganegaraan) pun bukan sebuah hal yang mudah.

Penggalangan Dana dan Meningkatkan Kesadaran
Penggalangan dana ini terpantik peristiwan gencatan senjata Israel dan Palestina beberapa waktu lalu. Muslih melihat ada kesempatan mengirimkan donasi ke jalur Gaza. Saat sebelum gencatan senjata diberlakukan, setiap truk yang membawa bantuan kemanusiaan tidak dapat masuk. Ia memutuskan membuka acara penggalangan dana ini.
“Aku sudah sering mampir ke mari selama kurang lebih satu bulan. Dan aku suka kerja-kerja kalian. Aku suka event kalian dan aku memerpercayai kalian, Bunga di Tembok dan juga BandungBergerak,” jawab Muslih ketika ditanya mengapa menyelenggarakan penggalangan dana di Perpustakaan Bunga di Tembok.
Mohamed Muslih, sebagai inisiator penggalangan dana, bercerita ia awalnya hanya ingin menyelenggarakan acara musik saja. Namun, hal tersebut hanya akan berlangsung secara singkat. Ia juga sebelumnya berencana akan bernyanyi berdua dengan temannya, tapi karena suatu hal, rencana itu tidak jadi dilaksanakan.
Sebelumnya, ia pernah melakukan sebuah konser mini di kegiatan komunitas LayarKita. Hal tersebut ternyata membawa banyak antusias dari banyak orang. Maka ia memutuskan untuk menggelar acara nonton bareng dan konser mini.
Pemilihan film The Dupes bukan tanpa alasan. Ini adalah salah satu film yang begitu meninggalkan kesan mendalam bagi Muslih. Ia bahkan memerlukan waktu sebanyak 15 menit untuk mengorientasi pikirannya sehabis menyimak film tersebut.
Menurutnya, tidak ada sebuah unsur ‘kemenangan’ dalam film ini. Tidak seperti film Amerika di mana sang tokoh utamanya selalu digambarkan sebagai orang yang tidak terkalahkan. Jika film adalah sebuah media untuk ‘propaganda’, Muslih merasa tidak bermasalah dengan kata tersebut yang pada dasarnya mengarah pada suatu hal yang ‘buruk’.
“Bagi saya, kata ‘propaganda’ sering merujuk pada media yang megagitasi orang atau menekankan suatu cara pandang tertentu. Dalam hal ini, semua film Hollywood adalah propaganda liberal. Namun, kata ini bisa digunakan secara positif, contohnya mengacu pada media yang dibuat untuk rakyat oleh rakyat,” ujarnya.
Ketika ditanya penggalangan dana lanjutan, Muslih belum bisa menjawab akan ada kembali atau tidak. Di sisi lain, Yanti sendiri berharap acara penggalangan dana ini terus berlanjut. “Untuk kemanusiaan!” ungkapnya.
Muslih sendiri berharap acara ini bisa meningkatkan kesadaran atas isu Palestina, selain menjadi ruang untuk mengumpulkan donasi. Perang Palestina sudah berlangsung sejak lama yang dimulai dari pemberontakan Arab di Palestina (1936) hingga persitiwa terkini (7 Oktober 2023). Dan meski gencatan senjata sudah diberlakukan, warga Palestina masih banyak yang terbunuh.
“Harapanku juga adalah ingin mengumpulkan banyak orang untuk membicarakan Palestina. Karena Palestina bukan sebuah tren. Karena sayangnya, sekarang semuanya serba ditrenkan,” ujar Muslih, berharap api perjuangan tidak pernah padam.
*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Salma Nur Fauziyah atau artikel-artikel lain tentang Palestina