• Berita
  • Membela Palestina di Jalan Asia Afrika

Membela Palestina di Jalan Asia Afrika

Wanggi Hoed menyatakan, genosida di Palestina bukan saja pembunuhan terhadap manusia, tetapi mencakup pemusnahan produk-produk budaya dan warisan sejarah.

Penampilan simbolik orang tua yang menimang mayat anaknya pada sesi orasi oleh Dina Sulaiman, Bandung, 14 Juli 2024. (Foto: Audrey Kayla F/BandungBergerak)

Penulis Muhammad Wijaya Nur Shiddiq 23 Juli 2024


BandungBergerak.id“Di tengah arus informasi media-media arus utama, peran mereka sebagai kanal informasi yang netral dan objektif perlu untuk disorot. Suara berbagai kelompok marjinal dan pandangan alternatif dari negara-negara selatan (Global South) kerap dikesampingkan sebab kepentingan para elite politik dan ekonomi merupakan sumber-sumber informasi yang berperan dalam membentuk narasi berita.”

Kutipan di atas merupakan cuplikan yang bersumber dari karya Noam Chomsky dan Edward S. Herman dalam buku mereka bertajuk Manufacturing Consent. Paparan tersebut dibacakan oleh Dina Sulaeman dalam orasinya dalam Asia-Afrika Berkabung ‘Pestipal’ yang diadakan pada 14 Juli 2024 lalu. Acara ini bertepatan dengan 280 hari serangan ofensif tentara Israel terhadap masyarakat Palestina.

Peringatan berkabung yang diisi oleh para pegiat seni dan budaya ini menandai matinya rasa kemanusiaan akibat diamnya masyarakat global dalam menyikapi genosida yang terjadi di Palestina. Berbagai seni pertunjukan (performance art) yang ditampilkan oleh sejumlah komunitas seni hingga pertunjukan musik, orasi, serta puisi telah mewarnai aksi solidaritas tersebut.

Pembacaan puisi oleh perwakilan Komunitas Celah-Celah Langit Elly Dzarrah dalam aksi Asia Afrika Berkabung Pestipal, Bandung, 14 Juli 2024. (Foto: Audrey Kayla F/BandungBergerak)
Pembacaan puisi oleh perwakilan Komunitas Celah-Celah Langit Elly Dzarrah dalam aksi Asia Afrika Berkabung Pestipal, Bandung, 14 Juli 2024. (Foto: Audrey Kayla F/BandungBergerak)

Spanduk-spanduk yang menyerukan gencatan senjata di Palestina, penghentian kolonialisme, dan kalimat-kalimat solidaritas turut menghiasi tugu Asia Afrika. Bendera Palestina dikibarkan bersamaan dengan iring-iringan manekin tanpa kepala; menyimbolkan pemenggalan anak-anak kecil yang terjadi di Gaza. Tidak hanya itu, semangat solidaritas dan pengutukan terhadap Israel pun tergambarkan oleh pertunjukan perusakan dan pembakaran bendera Israel sebagai aksi penutup.

Menilik kembali orasi Dina Sulaeman, kesenjangan negara-negara Utara (Global North) dan selatan menjadi penopang utama Israel dalam melanggengkan tindakan kolonialismenya. Miliaran dolar yang diterima oleh Israel dari negara-negara barat dan perusahaan multinasional merupakan hasil dari pengerukan sumber daya negara-negara selatan. Dengan demikian, penjajahan yang dialami oleh Palestina adalah penjajahan serupa yang dialami bangsa selatan.

“Palestina adalah kita. Ketika berbicara mengenai Gaza, kita berbicara mengenai diri sendiri; tidak hanya rakyat Palestina. Perjuangan anak-anak muda di Palestina adalah perjuangan kita. Kita bisa belajar dari mereka dan membantu mereka,” kata Dina.

‘Manufaktur persetujuan’ sebagaimana yang menjadi ide utama buku Chomsky juga tampak dari pembingkaian media-media terhadap pembantaian di Gaza. Media menjadi instrumen pelanggeng struktur kekuasaan yang menggiring pola pikir masyarakat untuk menormalisasi genosida terhadap masyarakat Palestina; bahwa sah-sah saja Israel menyerang rakyat sipil,
toh mereka yang menyerang duluan.

Baca Juga: Doa untuk Palestina dari Cikapayang
Pameran Seni Menolak Genosida Israel di Tanah Palestina
Nyala Api Aksi Jalan Kaki dari Bandung untuk Palestina

Wanggi Hoed ketika sedang membuka Asia Afrika Berkabung Pestipal, Bandung, 14 Juli 2024. (Foto: Audrey Kayla F/BandungBergerak)
Wanggi Hoed ketika sedang membuka Asia Afrika Berkabung Pestipal, Bandung, 14 Juli 2024. (Foto: Audrey Kayla F/BandungBergerak)

Hentikan Genosida di Palestina

“From the river to the sea, Palestine will be free! Free free Palestine!”

Demikianlah seruan yang dilantangkan bersama para audiens selepas orasi oleh Wanggi Hoed, seorang artis pantomim yang menampilkan pertunjukannya dalam aksi ini. “Genosida bukan hanya pembunuhan terhadap manusia, tetapi mencakup pemusnahan produk-produk budaya dan warisan sejarah” ungkapnya.

Dengan demikian, komunitas dan pekerja seni hadir dalam ruang publik untuk membangun kesadaran melalui seni berkebudayaan untuk menghentikan genosida di tanah Palestina.

Dengan antusiasme serupa, Wanggi pun menggaungkan kembali semangat antikolonialisme yang melatarbelakangi Konferensi Asia Afrika 69 tahun lalu. Dalam pidatonya, Bung Karno menyerukan kemerdekaan Palestina yang berbunyi: “Selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, selama itu pula bangsa Indonesia akan terus berdiri melawan penjajahan Israel dan memiliki utang sejarah akan kemerdekaan Palestina.”

Narasi antikolonialisme ini pun tersorot dalam wawancara yang dilakukan kepada Wanggi selepas acara tersebut. Menurutnya, ‘Bandung Spirit for Palestine’ mencerminkan semangat zaman: situasi zaman sepanjang sejarah menunjukkan bahwa spirit perlawanan kolonialisme tertanam di seluruh belahan dunia, dari Kongo, Sudan, hingga Palestina.

Dalam menanggapi pertanyaan seputar makna simbolik dari karyanya, Wanggi menuturkan bahwa pertunjukan pantomim dengan tangan yang dicat berwarna merah merupakan simbolisme darah atas genosida di Gaza. Berangkat dari ungkapan tersebut, kita sebagai masyarakat global dituntut untuk menyuarakan kekejaman tersebut, dan ketidakberpihakan kita sudah cukup menunjukkan bahwa kita memiliki andil terhadap kejahatan kemanusiaan.

Keberpihakan terhadap kemanusiaan menurut Wanggi menjadi hal yang perlu dibangkitkan oleh komunitas seni. Melalui aksi solidaritas ini, Wanggi beserta komunitasnya hendak mengajak para seniman untuk menyuarakan semangat perjuangan melawan genosida–sebagaimana yang dituturkan oleh orasinya–yang mencakup penghapusan terhadap kebudayaan.

Tidak hanya sebagai aksi solidaritas, kegiatan aktivisme ini pun perlu disorot sebagai pilar edukasi budaya terhadap khalayak umum yang diharapkan berkontribusi dalam membangun kesadaran global terhadap (kejahatan) kemanusiaan, anti-kolonialisme, dan budaya.

*Kawan-kawan dapat membaca karya-karya lain dari Muhammad Wijaya Nur Shiddiq atau artikel-artiikel lain tentang Palestina

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//