Mahasiswa Tingkat Akhir UIN SGD Bandung Keberatan dengan Kebijakan Penghapusan Potongan 50 Persen Uang Kuliah Tunggal
Mahasiswa UIN SGD Bandung resah. Kebijakan penghapusan potongan 50 persen Uang Kuliah Tunggal (UKT) bagi mahasiswa tingkat akhir dirasa tidak adil.
Penulis Yopi Muharam20 Februari 2025
BandungBergerak.id - Bagi mahasiswa semester akhir di Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati (UIN SGD) Bandung, saat seharusnya ini menjadi masa-masa menyelesaikan skripsi dengan tenang. Namun, kebijakan baru yang menghapus potongan 50 persen Uang Kuliah Tunggal (UKT) justru membuat mereka terbebani. Tanpa adanya pengurangan biaya, mereka kini harus membayar penuh meskipun tidak lagi aktif mengikuti perkuliahan reguler.
Kebijakan ini merupakan implementasi dari Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 498 Tahun 2024 tentang Uang Kuliah Tunggal pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) untuk Tahun Akademik 2024-2025. Dampaknya, mahasiswa semester 9 hingga 12 yang sebelumnya hanya membayar setengah UKT kini diwajibkan membayar penuh.
Padahal dari semester 8 mahasiswa UIN SGD Bandung sudah tidak ada lagi mata kuliah yang diampu, selain fokus melakukan sidang proposal, komprehensif, hingga menggarap tugas akhir skripsi. Tidak hanya itu, untuk fasilitas kelas pun, mahasiswa semester 8 sudah tidak lagi belajar di kelas, terkecuali bagi mahasiswa yang masih mempunyai mata kuliah mengulang.
Atas diberlakukannya kebijakan di semester genap ini, mahasiswa UIN SGD Bandung melakukan protes ke rektorat hingga menggeruduk kantor Kementrian Agama di Jakarta, Kamis, 30 Januari 2025. Aksi yang dimobilisasi oleh Dewan Eksekutif Mahasiwa (DEMA) UIN SGD Bandung ini menuntut agar KMA Nomor 498 dicabut.
Dampak dari kebijakan tersebut dirasakan oleh Riziq Abdul Malik, mahasiswa jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) semester 12 yang diharuskan mambayar full UKT golongan 3 sebesar 2.520.000 rupiah. Padahal pada semester 9-11 UKTnya mendapat potongan setengahnya atau 1.260.000 rupiah.
Menurut Riziq keputusan UIN SGD Bandung dan Kementrian Agama terkesan buru-buru tanpa melibatkan audiensi dengan mahasiswa yang akan terkena dampaknya secara langsung. “Bahkan terkesan merugikan,” keluh Riziq, saat dihubungi BandungBergerak, Jumat, 14 Februari 2025.
Tidak hanya itu, Riziq juga mengeluhkan kurangnya sosialisasi dari pihak kampus terkait implementasi kebijakan ini. Hal tersebut membuatnya belum membayar Uang Kuliah Tunggal hingga kini. Padahal batas pembayaran UKT terakhir pada tanggal 31 Januari dan diperpanjang hingga 15 Februari setelah munculnya keputusan KMA nomor 498 pada 30 Januari.
Terkait pembayaran sebelumnya mahasiswa yang bekerja pada sektor jasa kebersihan itu sudah menyiapkan anggaran untuk membayar UKT. “Sampai sekarang UKT tersebut belum saya bayar karena saya hanya menyiapkan dana sebanyak 50 persen atau sama seperti UKT sebelum mengalami perubahan kebijakan,” keluhnya.
Tentu saja dengan diterpakan kebijakan itu, membuat Riziq kaget. Sebab dirinya mempunyai tunggakan saat masa panggebluk lalu. Hal tersebut juga membuatnya tidak bisa sidang komprehensif atau sidang proposal. Terkait mata kuliah, dirinya mengaku tergolong sangat aman. Karena tidak ada mata kuliah yang mengulang.
Tidak hanya Riziq yang merasakan impak dari kebijakan tersebut, Abdurafi, mahasiswa jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI) semester 10 juga mengungkapkan keresahannya. Menurutnya kebijakan KMA 498 menjadi riskan bagi mahsiswa semester 9 ke atas.
“Karena secara akademiknya mereka enggak merasakan lagi mata kuliah ataupun mengambil akademik yang lebih padet lagi selain dari pada skripsi,” ujarnya saat dihubungi BandungBergerak, Selasa, 11 Februari 2025. Dia juga mengeluhkan bahwa fasilitas kampus pun tidak sepenuhnya digunakan. “Artinya ke kampus cuma bimbingan skripsi aja.”
Baca Juga: Kebijakan Penetapan Uang Kuliah Tunggal UPI Meresahkan Mahasiswa
UKT Batal Naik, Sekadar Omon-Omon Belaka?
Survei KM ITB Soal Kenaikan UKT: Memberatkan Mahasiswa Baru
Berdampak Panjang
Kebijakan KMA Nomor 498 membikin banyak mahasiswa resah. Pasalnya mereka dituntut harus menyelesaikan masa akademik hingga semester 8 agar tidak membayar UKT secara penuh di semester selanjutnya. Tidak hanya itu, menurut Rafi efek dari kebijakan ini berpengaruh pada ekonomi.
Rafi sendiri merasakan hal tersebut sebab dia juga mempunyai kerjaan sampingan menjadi pengajar di Madrasah Ibtidaiyah (MI, setingkat SD). Setidaknya dalam seminggu sekali, dia harus pulang ke Sukabumi untuk mengajar. “Saya harus membantu orang tua pulang pergi ke Sukabumi,” ujarnya.
Sudah empat tahun dia mengajar sebagai guru bantuan di MI. Dalam pembayaran UKT, Rafi termasuk ke golongan yang tinggi, yaitu tingkat 6 dengan nominal 3.384.000 rupiah. Manurutnya golongan tersebut tidak sesuai dengan faktor ekonominya. “Karena kan pendapatan orang tua sedang down, karena faktor usia juga,” jelasnya.
Selain itu, pada masa pagebluk selama 2020-2022, UIN SGD Bandung mengeluarkan kebijakan pencicilan UKT bagi mahasiswa yang terdampak ekonominya. Hal tersebut membuat mahasiswa menjadi telat lulus, bahkan harus mencicil pembayaran dari tiap semesternya.
Seperti yang dirasakan oleh Riziq. Penunggakan UKT di masa pandemik membuat Riziq harus mencicil tiap semester. Pada pembayaran semester 11, dirinya beruntung, sebab Riziq mendapatkan beasiswa selama satu semester. Sehingga dia tinggal melunasi tunggakan semester 12 saja.
Riziq mebiayai kuliah menggunakan uangnya sendiri. Sebab setelah lulus di bangku SMA dia sempat bekerja selama dua tahun untuk mengumpulkan biaya untuk kuliah. “Saya mesti bekerja dengan sedikit-sedikit bantu kebutuhan keluarga di rumah,” jelasnya.
Tidak hanya itu, pada semester 3 Riziq juga aktif berorganisasi di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Suaka hanya dua tahun. Padahal ketentuan dari lembaga pers mengharuskan setiap anggotanya lulus tiga tahun. Alasan yang mendorong Riziq keluar setelah menjabat sebagai redaktur foto karena dia harus melanjutkan bekerja.
Jalan Panjang Menuntut KMA Nomor 498
Di sisi lain, Presidan Mahasiswa (Presma) UIN SGD Bandung Hamimudin Nasir mengatakan, keresahan yang dirasakan mahasiswa muncul tatkala KMA nomor 498 mulai diimplementasikan oleh UIN SGD Bandung.
“Semester kemarin UIN tidak menjalankan kebijakan KMA 498, namun semester sekarang UIN menjalankan KMA itu. Sehingga reaksi yang ditimbulkan berbeda,” tutur Nasir, kepada BandungBergerak.
Kemunculan KMA Nomor 498 ini sebetulnya sudah tercium pada pertengahan tahun 2024. Pada masa Pengenalan Budaya Akademik Kampus (PBAK) di UIN SGD Bandung, Nasir sendiri sudah mencoba menyampaikan keresahan itu kepada Sekretaris Jenderal Menteri Agama Ali Ramdhani. Akan tetapi tidak membuahkan hasil.
Selanjutnya, dari pihak DEMA UIN SGD Bandung juga sudah membuat draft legal terkait keberatannya mengeani KMA Nomor 498. Draft itu juga sempat dikirimkan ke Kementrian Agama. “Namun tidak juga mendapatkan respons,” ujarnya.
Sehingga pihak DEMA UIN Bandung menempuh audiensi secara langsung dengan birokrasi UIN SGD Bandung. Lagi-lagi audiensinya itu tidak mendapat jawaban yang memuaskan dari pihak birokrat UIN SGD Bandung. “Sehingga kami harus berangkat ke Jakarta untuk menyuarakan keresahan itu,” ungkapnya.
Menanggapi keluhan mahasiswa, Wakil Rektor 2 UIN SGD Bandung Bagian Bidang Administrasi Umum, Perencanaan, dan Keuangan Tedi Priatna menjelaskan, penerapan kebijakan ini bukanlah keputusan sepihak kampus melainkan akibat desakan dari PTKIN lain yang ingin ada keseragaman dalam penerapan KMA 498.
"Sebenarnya UIN Bandung sudah lama diminta mencabut kebijakan potongan 50 persen untuk semester 9. Kampus-kampus PTKIN lain merasa kebijakan ini bisa memicu mahasiswa mereka menuntut hal serupa," jelas saat ditemui BandungBergerak di ruangannya, Rabu 19 Februari 2025.
Tedi juga menambahkan bahwa kebijakan potongan 50 persen di semester 9 sebelumnya hanya berlaku karena pandemi Covid-19, bukan kebijakan permanen. Dengan adanya KMA 498, aturan baru ditegaskan bahwa hanya mahasiswa semester 13 ke atas yang berhak mendapatkan potongan UKT.
"Kami sudah berusaha menahan kebijakan ini selama tiga tahun. Bahkan sempat ditunda sejak semester ganjil. Tapi akhirnya harus diterapkan sekarang," ujarnya.
Namun, Tedi memastikan bahwa mahasiswa yang mengalami kesulitan dapat mengajukan permohonan keringanan UKT. "Silakan ajukan permohonan keringanan. Bisa sampai 50 persen juga, asal ada alasan yang objektif," katanya.
Meski demikian, mahasiswa merasa kebijakan ini tetap tidak adil. Mereka berharap Kementerian Agama mencabut atau merevisi KMA 498 agar mahasiswa semester akhir tetap mendapat keringanan UKT mengingat minimnya fasilitas kampus yang mereka gunakan.
*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Yopi Muharam, atau artikel-artikel lain tentang Uang Kuliah Tunggal