Gemuknya Kabinet Prabowo, Memuluskan Transaksi Politik?
Gaya akomodatif politik mewajibkan aktor politik harus bersekutu dengan beragam elite termasuk yang berseberang untuk mewujudkan kestabilan pemerintahan.

Cusdiawan
Direktur Eksekutif Center for Indonesian Governance and Development Policy (CIGDEP)
24 Februari 2025
BandungBergerak.id – Politics is the art of the possible adalah adagium yang sangat terkenal yang pernah diucapkan oleh Bismarck, Kanselir Kekaisaran Jerman abad ke-19. Adagium tersebut relevan untuk menggambarkan kondisi politik Indonesia hari-hari ini, termasuk menyoal kabinet Prabowo-Gibran. Hal utama yang paling disorot dari kabinet tersebut adalah jumlah kementerian yang dinilai terlalu banyak, yang setidaknya berimplikasi pada dua kemungkinan. Pertama, yakni anggaran negara yang akan semakin boros, namun pada sisi lain, adanya kementerian dan atau badan baru membuat kerja-kerja kementerian baru tersebut tidak bisa langsung efektif karena adanya proses administratif dan atau birokratisasi terkait penyesuaian.
Keduanya, dengan semakin banyaknya kementerian, maka yang diidealkan adalah kerja masing-masing kementerian atau badan lebih terfokus, dan ke depannya hal tersebut bisa mengefektifkan kinerja pemerintahan, tapi dengan catatan jika ada koordinasi yang baik di antara masing-masing kementerian/ badan tersebut sehingga tidak terjadi tumpeng tindih kewenangan serta pos-pos kementerian atau badan tersebut memang benar-benar diisi oleh orang-orang yang kompeten.
Namun, isu gemuknya postur kabinet Prabowo pun mengundang pertanyaan kritis dari benak sebagian publik, bukan hanya terkait ramuan komposisinya, tetapi juga kepentingan yang melandasinya. Hal inilah yang dielaborasi lebih lanjut.
Baca Juga: Indonesia di Bawah Prabowo-Gibran, Kabinet Gemuk Dikhawatirkan Melemahkan Semangat Oposisi dan Kritik
Dari Balas Budi ke Politik Nilai, Menakar Harapan untuk Kabinet Prabowo
Menerka Tantangan Pergerakan Sipil di Tangan Pemerintahan Prabowo-Gibran
Oligarki dan Politik Kartel
Terlepas dari dua kemungkinan di atas, hal lain yang perlu menjadi sorotan tajam adalah kepentingan yang melandasi terkait postur dan komposisi dari kabinet tersebut. Sangat wajar bila kita menduga bahwa apa yang dilakukan oleh Prabowo, mengikuti pendahulunya, yakni Joko Widodo, yakni mengembangkan gaya akomodatif politik dan bahkan bisa disebut sebagai pola patronasi yang pada tujuannya berupaya untuk melestarikan (dan atau mengefektifkan) kekuasaannya. Singkat kata, gemuknya kabinet Prabowo bertujuan untuk membagi kue kekuasaan, dan ini bukan hanya tidak sejalan dengan prinsip-prinsip good governance, tapi juga bisa semakin mengikis oposisi pemerintahan, yang padahal keberadaan oposisi harusnya menjadi keniscayaan dalam suatu rezim demokrasi.
Kita perlu ingat, bahwa gaya akomodatif politik, menurut sejumlah analisis, misalnya saja Aspinall dan kawan-kawan dalam The Yudhoyono Presidency: Indonesia's Decade of Stability and Stagnation (2015) dapat menyebabkan demokrasi tidak berkembang, karena untuk mewujudkan kestabilan suatu pemerintahan, seorang aktor politik harus bersekutu dengan beragam elite lain, termasuk mereka yang agendanya tidak sejalan dengan demokrasi.
Lalu, bagaimana kaitannya dengan adagium yang diucapkan oleh Bismarck di atas untuk menganalisis postur dan komposisi kabinet Prabowo? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, penulis ingin mengutip lagi suatu adagium terkenal lainnya, bahwa dalam politik “tidak ada lawan dan kawan abadi, yang abadi adalah kepentingan”. Maka, tidak mengherankan bahwa meskipun aktor-aktor yang saat ini menempati posisi penting dalam kabinet dan mengharuskan mereka untuk saling bekerja sama, tapi di masa lalu memiliki catatan persaingan dan bahkan perselisihan. Untuk menjelaskan fenomena tersebut yang memang sudah mengakar dalam politik Indonesia, ada dua tesis yang menarik untuk diperbincangkan. Pertama, yakni tesis dari perspektif struktural, yang melihat dari sifat relasi kekuasaan yang bekerja (oligarkis dan atau predatoris), sebagaimana yang dirumuskan oleh Vedi Hadiz dan Richard Robison dalam Reorganising power in Indonesia: The politics of oligarchy in an age of markets (2004). Keduanya, tesis kartel sebagaimana yang dirumuskan oleh Kuskridho Ambardi dalam Mengungkap Politik Kartel (2009).
Kedua tesis di atas masing-masing menjelaskan mengapa tata kelola pemerintahan yang baik sulit terwujud. Kedua tesis di atas, meskipun memiliki perbedaan, tapi titik temu keduanya adalah bagaimana praktik perburuan rente, mengakses sumber daya material, yang bila perlu menggunakan instrumen negara begitu mengakar dan menyejarah dalam politik Indonesia. Konsekuensinya, instrumen politik justru bekerja untuk kepentingan privat yang dalam hal ini adalah akumulasi kapital. Maka, besar kemungkinannya bahwa meskipun elite-elite politik yang hari ini menjadi menteri tapi di masa lalu memiliki rekam jejak berseteru, kecil kemungkinan konfliknya akan terus berlanjut, tapi dengan catatan, jika transaksi di antara mereka untuk mengamankan sumber-sumber material dan mengakses lembaga negara untuk menjamin hal tersebut terjalin secara lancar. Artinya ada “kepentingan” (untuk “menjarah”, memburu rente sumber daya negara maupun kekuasaan) yang sama di antara mereka).
Namun, bila yang terjadi adalah hal sebaliknya (tidak terjadi titik temu di antara kepentingan mereka), maka faksionalisme (menguatnya konflik antar faksi politik) dalam kabinet, besar kemungkinan akan terjadi. Memang menjadi ironis, struktur yang oligarkis dan kartelisasi politik menjadikan politik yang harusnya “yang publik” (kebaikan bersama) menjadi sarana untuk memuluskan kepentingan “yang privat”. Ironisnya lagi, politik yang harusnya didasarkan pada diskursus (kekuataan argumentasi) menjadi “transaksi di pasar gelap”.
Pertarungan Antarfaksi Politik, Mungkinkah?
Dua masalah umum (struktur oligarkis dan politik kartel) yang diuraikan di atas, memang sudah lama menjadi penyakit dalam politik Indonesia. Lalu yang jadi pertanyaan menarik selanjutnya, adakah kemungkinan yang bersifat khusus, dalam hal ini yang melibatkan aktor-aktor politik dalam pemerintahan Prabowo yang kemungkinan akan memperlihatkan faksi yang saling bertentangan? Jika iya, siapa faksi yang dimaksud?
Segala kemungkinan dalam politik bisa terjadi, sebagaimana yang diungkapkan oleh Bismarck di atas, termasuk menguatnya faksionalisasi dalam kabinet. Kita perlu ingat, sebagian menteri yang saat ini menjabat (dan pejabat tinggi di lembaga lainnya, seperti di kepolisian) adalah orang-orang kepercayaannya Joko Widodo, yang jika Jokowi dan orang-orang kepercayaannya ini memiliki agenda politik yang berbeda dengan Prabowo, termasuk salah satunya dalam menghadapi pilpres yang akan datang, maka besar kemungkinan faksionalisasi (kubu yang menjadi loyalis Jokowi di satu sisi dan kubu yang menjadi loyalis atau lebih pro kepada gerbongnya Prabowo pada sisi lain) akan menguat. Dan bila faksionalisasi menguat, maka jelas akan merugikan kinerja pemerintahan Prabowo itu sendiri yang sebenarnya memiliki target-target yang luar biasa.
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain tentang politik