MAHASISWA BERSUARA: SMK dan Fondasi yang Rapuh, Gagal Siap Kerja karena Tak Siap Belajar
Sebelum memasuki ilmu yang lebih spesifik seperti yang diajarkan di SMK, siswa seharusnya dibekali dengan fondasi atau modal berpikir yang kuat.

Yoga Ariansyah Tarigan
Mahasiswa Telkom University
25 Februari 2025
BandungBergerak.id – SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) merupakan salah satu institusi pendidikan di Indonesia yang berfokus pada keterampilan motorik siswa. Sekolah kejuruan memiliki sejarahnya sendiri sejak awal masa penjajahan kolonial Belanda dengan nama yang berubah-ubah.
Pada tahun 1997 Wadirman Djojonegoro mengubah nama sekolah kejuruan STM berubah menjadi SMK (Hanif Ramadhani, 2023). Dan pada tahun 2003 SMK dirancang untuk mempersiapkan lulusannya bekerja di bidang tertentu. Hal ini dinyatakan melalui UU 20/2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 15. Keputusan ini bertujuan untuk mempersiapkan lulusan siap kerja terutama bekerja dalam bidang tertentu. Meskipun niat kebijakan ini baik, implementasinya menimbulkan berbagai tantangan di bagi peserta didik, bahkan sebelum memasuki sekolah kejuruan ini.
Berdasarkan tingkat pendidikan, penyumbang pengangguran terbuka terbesar di RI adalah lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), yaitu sebesar 9,01% (BPS, 2024). Lulusan SMK juga selalu menunjukkan angka pengangguran yang paling tinggi dari tahun 2019 sampai tahun 2024, melampaui Universitas, SMA, SMP, bahkan SD (Cicin Yulianti). Fenomena ini dianggap sebagai suatu paradoks. Tempat di mana siswa dididik untuk siap kerja malah menghasilkan pengangguran paling tinggi. Lulusan SMK yang seharusnya lumbung padat karya malah menjadi lumbung padat pengangguran. Bahkan, seringkali SMK diartikan sebagai Susah Mendapat Pekerjaan oleh masyarakat.
Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Pro Kontra Undang-undang yang Mengatur Aborsi yang Berdampak pada Isu Kesetaraan Gender
MAHASISWA BERSUARA: Musik Dangdut sebagai Diplomasi Budaya
MAHASISWA BERSUARA: Hilangnya Daya Kritis Pemuda, Pancasila di Persimpangan Jalan
Kompetensi Lulusan SMK
Pengangguran yang tinggi pada lulusan SMK ini terjadi karena berbagai hal, utamanya adalah kompetensi yang dimiliki siswa lulusan SMK tidak cukup untuk terjun langsung ke dunia kerja. Dari sudut pandang bisnis, perusahaan tentu tidak ingin mengambil risiko dengan merekrut tenaga kerja yang belum memenuhi kompetensi minimal yang dibutuhkan. Setiap pegawai yang direkrut adalah investasi bagi perusahaan, sehingga mereka akan memastikan bahwa pegawai tersebut benar-benar mampu memberikan nilai tambah bagi perusahaan. Oleh karena itu, banyak perusahaan lebih memilih merekrut lulusan yang memiliki pengalaman atau keterampilan yang lebih teruji.
Kompetensi yang tidak memenuhi standar dunia kerja adalah akibat dari kegagalan dalam pelaksanaan sekolah kejuruan ini. Hal ini Masalah ini disebabkan oleh banyak hal, seperti kurikulum yang tidak sesuai kebutuhan industri, tenaga pendidik yang kurang kompeten, keterbatasan fasilitas, dan lain sebagainya. Tetapi masalah yang paling mendasar adalah kurang dipersiapkannya peserta didik untuk menerima sekolah kejuruan ini. Lulusan SMK dipersiapkan untuk dapat terjun langsung ke dunia kerja. Tetapi di sisi lain, peserta didik belum cukup dipersiapkan untuk menerima sekolah kejuruan tersebut.
Kesalahan pada sistem pendidikan kejuruan ini tidak hanya terletak pada pelaksaannya di SMK saja, tetapi juga pada jenjang pendidikan sebelumnya. Saat SD dan SMP, anak didik sudah diajarkan mengenai ekonomi, geografi, biologi dan lain sebagainya. Tetapi mereka tidak cukup dibekali bagaimana pola pikir yang baik untuk mengelola berbagai macam informasi yang diterima. Mata pelajaran seperti logika, filsafat dasar, pemecahan masalah, dan berpikir kritis seharusnya diperkenalkan sejak dini agar siswa memiliki fondasi yang kuat pada pola pikir tersebut. Pola pikir itu yang dimaksud adalah pola pikir yang melibatkan logika, kemampuan berbahasa, berpikir matematis (mathematical thinking), serta keterampilan analitis lainnya. Pola pikir ini adalah modal utama bagi seseorang untuk memahami informasi, mengolah data, serta menarik kesimpulan yang benar dari berbagai informasi yang mereka peroleh.
Sebelum seseorang ataupun siswa mendalami suatu bidang, ia harus memiliki fondasi yang kuat, yaitu pola pikir tadi. Sayangnya, kebijakan pendidikan di Indonesia justru mengabaikan hal mendasar ini. Sebelum memasuki ilmu yang lebih spesifik seperti yang diajarkan di SMK, siswa seharusnya dibekali dengan fondasi atau modal berpikir yang kuat. Supaya mereka tidak hanya sekadar belajar secara mekanis, tetapi juga mampu memahami, menganalisis, dan mengembangkan keterampilan yang diajarkan. Terlebih lagi, pada persoalan praktis sering kali terjadi permasalahan pada praktik yang tidak diajarkan di kelas. Pada kasus itu, siswa harus mampu mencari solusi atas permasalahan tersebut. Tanpa pola pikir yang baik, siswa akan kesulitan menemukan solusi atas permasalahan yang jawabannya tidak diajarkan di kelas.
Saya juga adalah lulusan SMK dari jurusan Otomatisasi Tata Kelola Perkantoran. Saya menemukan banyak dari teman sekelas, bahkan saya sendiri yang kesulitan dalam memahami dan menguasai keterampilan yang diajarkan. Hal ini terjadi karena kami juga tidak terlepas dari sistem pendidikan yang tidak cukup memberikan bekal pola pikir yang baik. Pada akhirnya, kebanyakan dari kami memilih untuk melanjutkan ke perguruan tinggi karena alasan kompetensi tersebut.
Pendidikan Kejuruan yang Ideal
Saya sangat setuju, bahwa pendidikan kejuruan bukanlah konsep yang buruk, tetapi penerapannya di Indonesia masih jauh dari ideal. Di negara lain program ini sukses dilakukan dan memberikan dampak yang besar atas kemajuan negara tersebut dan kemampuan mereka menghadapi berbagai krisis. Contohnya Jerman, menurut Anton Supit (Ketua Bidang Ketenagakerjaan APINDO), 80% siswa SMP melanjutkan pendidikan di sekolah kejuruan dan 90% mendapatkan pekerjaan.
Di Jerman, pembentukan pola pikir yang baik dimulai sejak pendidikan dasar (Grundschule) melalui pendekatan yang menekankan pemahaman konsep, berpikir kritis, dan pemecahan masalah. Kurikulum di negara tersebut tidak berfokus semata-mata pada hafalan, tetapi mendorong siswa untuk memahami alasan di balik setiap konsep yang dipelajari. Misalnya, dalam pelajaran matematika, siswa tidak hanya diajarkan rumus, tetapi juga bagaimana dan mengapa suatu konsep bekerja. Selain itu, sistem pendidikan Jerman menerapkan pembelajaran berbasis masalah (Problem-Based Learning) yang mendorong siswa untuk menganalisis dan mencari solusi atas permasalahan nyata. Sejak dini, mereka terbiasa bekerja dalam kelompok, berdiskusi, serta mengembangkan keterampilan berpikir logis. Bahkan, pelajaran logika dan pemecahan masalah telah menjadi bagian dari kurikulum dasar mereka melalui permainan teka-teki, tantangan berpikir kritis, dan eksperimen sederhana.
Jika pendekatan ini diterapkan di Indonesia, maka lulusan SMK akan memiliki kesiapan mental yang lebih baik dalam menerima pendidikan kejuruan. Mereka tidak hanya akan belajar secara mekanis, tetapi juga mampu memahami prinsip-prinsip dasar dari keterampilan yang mereka pelajari, mengembangkan inovasi, dan lebih siap menghadapi tantangan di dunia kerja.
Pendidikan kejuruan di Indonesia haruslah berjalan dengan perubahan mendasar tersebut, supaya kita tidak hanya akan mengulang siklus yang sama dan mencetak lebih banyak pengangguran yang baru lagi –meluluskan generasi yang tidak cukup siap menghadapi dunia kerja, sekaligus memperbesar angka pengangguran terdidik. Terlebih lagi, saat ini SMK menjadi preferensi masyarakat Indonesia untuk menyekolahkan anaknya, lebih besar daripada SMA. Para orang tua akan kehilangan kepercayaannya terhadap SMK, dan masalahnya akan lebih rumit lagi. Oleh karena itu, sangat penting untuk mengkaji ulang dan memperbaiki sistem pendidikan saat ini.
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain Mahasiswa Bersuara