• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Pembangunan IKN, Harapan atau Malapetaka Bagi Daerah Lain?

MAHASISWA BERSUARA: Pembangunan IKN, Harapan atau Malapetaka Bagi Daerah Lain?

Di balik kemegahan Ibu Kota Nusantara (IKN), terdapat wilayah-wilayah yang menjadi “tumbal” dan harus menanggung kerusakan ekologis.

Tubagus Eko Saputra

Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Paramadina

Mural yang menggambarkan kondisi warga Kel. Buluri dan Watusampu pada Hari Anti Tambang (HATAM) 2024. (Foto: Rasera Project, Tubagus Eko Saputra)

27 Februari 2025


BandungBergerak.id – Presiden ke-7 Indonesia, Joko Widodo mengklaim pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) sebagai ibu kota negara bertujuan untuk menciptakan pemerataan, baik dari sisi ekonomi, penduduk, maupun pembangunan. Ambisi besar ini dianggap sebagai langkah maju untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan pembangunan yang lebih merata di seluruh wilayah Indonesia.

Proses pembangunan IKN terus digalakkan karena harus rampung sesegera mungkin sesuai target Pemerintah Pusat, yakni tahun 2028. Hal ini mendorong meningkatnya aktivitas produksi material serta pertambangan dengan jenis komoditas Sirtukil, Batu quarry besar, Diorit dan Andesit yang akan digunakan sebagai bahan dasar pembangunan IKN.

Namun, di balik kemegahan IKN, terdapat wilayah-wilayah yang menjadi “tumbal” dan harus menanggung kerusakan ekologis. Wilayah yang harus menanggung dampak ambisi besar pemerintah ini, tidak hanya wilayah yang berada di Kalimantan, tetapi juga Sulawesi Tengah, khususnya Kelurahan Buluri di Kota Palu dan Kelurahan Watusampu di Kabupaten Donggala.

Kelurahan Buluri dan Kelurahan Watusampu merupakan dua dari sekian banyak Kelurahan di Kota Palu dan Kabupaten Donggala yang terdampak dari pembangunan IKN. Pegunungan di wilayah ini menjadi kawasan industri pertambangan galian C, yang menjadi pemasok material untuk pembangunan IKN. Berdasarkan database Jaringan Advokasi Tambang Sulawesi Tengah (Jatam Sulteng), terdapat setidaknya 34 izin pertambangan di Kota Palu dan 54 izin pertambangan di Kabupaten Donggala dengan status Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) dan Izin Usaha Pertambangan (IUP). Beberapa perusahaan yang tercatat memiliki izin tambang ini antara lain PT Sirtu Karya Utama, PT Watu Sinai Abadi, PT Aces Selaras, dan PT Putra Elan. Perusahaan-perusahaan ini memanfaatkan material seperti sirtukil, batu quarry besar, diorit, dan andesit, yang diambil secara masif dari wilayah ini.

Industri Pertambangan Galian C Kel.Buluri dan Desa Watusampu. (Foto: Tubagus Eko Saputra)
Industri Pertambangan Galian C Kel.Buluri dan Desa Watusampu. (Foto: Tubagus Eko Saputra)

Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Pro Kontra Undang-undang yang Mengatur Aborsi yang Berdampak pada Isu Kesetaraan Gender
MAHASISWA BERSUARA: Hilangnya Daya Kritis Pemuda, Pancasila di Persimpangan Jalan
MAHASISWA BERSUARA: SMK dan Fondasi yang Rapuh, Gagal Siap Kerja karena Tak Siap Belajar

Dampak Kerusakan Ekologis

Temuan Wahana Lingkungan Hidup Sulawesi Tengah (Walhi Sulteng), aktivitas tambang tersebut hanya berjarak 300 meter dari sumber mata air utama. Tepatnya di Uwentumbu dan Taipa Baki, digunakan oleh 1.308 kepala keluarga untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, akibatnya warga yang masih bergantung pada mata air tersebut untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, rentan terkena gejala penyakit seperti batuk dan gatal-gatal. Selain itu, Sungai Nggolo yang dulu dimanfaatkan oleh warga untuk mencuci dan mandi, kini juga terancam rusak akibat aktivitas pertambangan.

Tidak hanya air yang rusak, udara di sekitar tambang juga menurun kualitasnya, dampaknya sekelompok orang yang memiliki sensitif indra pernapasan mengalami gejala ringan hingga sedang dari keterpaparan jangka panjang, serta rentan terjangkit infeksi kulit dari debu tambang yang bertebaran. Data Puskemas Tipo Anutodea tahun 2023 mencatat 2.422 warga Tipo, Buluri dan Watusampu, tiga desa lingkar tambang, mengalami gangguan Infeksi Saluran Pernapasan (ISP) hal ini diduga akibat polusi udara yang disebabkan dari aktivitas pertambangan.

Selain berdampak pada kondisi sosial, aktivitas tambang tersebut juga berdampak pada kerusakan hutan. Jaringan Advokasi Tambang Sulawesi Tengah (Jatam Sulteng) menyebutkan bahwa tambang Galian C di Watusampu telah merusak setidaknya 546.01 Hektare hutan dan pegunungan, akibatnya beberapa flora dan satwa endemic pegunungan gawalise seperti Anoa terganggu, Selain itu kerusakan hutan yang ditimbulkan juga menyebabkan kawasan tersebut rentan terjadi banjir.

Kerusakan yang diakibatkan tambang terus meluas hingga merusak fasilitas umum, seperti jalan raya yang menghubungkan Kota Palu dan Kabupaten Donggala. Pengguna jalan poros Palu-Donggala kerap kali menuangkan aspirasi mereka di media sosial, seperti membuat sebuah cuitan atau status di aplikasi Facebook. Sebab, jalan tersebut diselimuti debu tambang yang menyebabkan pandangan pengendara roda dua maupun roda empat terganggu, serta kondisi jalanan yang licin akibat tertutupi debu rentan mengakibatkan kecelakaan. Hal terburuknya adalah ketika musim hujan, material tanah dan bebatuan menutupi jalan poros tersebut sehingga tidak bisa dilewati oleh masyarakat.

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain Mahasiswa Bersuara

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//