Wanita Lajang Usia 30 Tahun, antara Harapan dan Realitas
Sudah waktunya berhenti untuk menghakimi pilihan hidup wanita berdasarkan status pernikahan.

Yunita Miftahul Jannah
Dosen PGSD Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung
28 Februari 2025
BandungBergerak.id – Wanita di usia 30-an tahun yang masih sendiri atau belum menikah kerap menjadi topik hangat yang tidak ada habisnya untuk dibicarakan, baik dalam lingkungan keluarga, pertemanan, pekerjaan, maupun masyarakat. Padahal, jika kita renungkan secara lebih mendalam, status pernikahan bukanlah satu-satunya indikator kesuksesan atau kebahagiaan hidup seseorang (Sandberg, 2013).
Sudah menjadi rahasia umum bahwa masyarakat kita memiliki pandangan bahwa wanita harus sudah menikah di umur sekian. Sehingga, bila ada wanita yang belum mencapai standar tersebut, akan dipandang berbeda dan senantiasa dituntut agar segera menikah seolah hal tersebut adalah kewajiban yang harus dilakukan sesegera mungkin. Tindakan menjodohkan-jodohkan wanita usia 30-an tahun yang belum menikah dengan kenalan si ini dan si itu seolah-olah seperti tindakan pemaksaan terhadap takdir hidup seseorang dengan kedok menolong.
Dalam agama, menikah memang disebutkan sebagai penyempurna separuh agama. Kendati demikian, apakah memaksakan kehendak ke orang lain diperkenankan? Apakah kita punya hak untuk mengatur orang lain? Setiap orang memiliki prinsip yang berbeda. Mungkin bagi kita, prinsip kita adalah yang terbaik. Hanya saja, belum tentu orang lain cocok dengan prinsip yang kita anut. Setiap orang memiliki prinsip yang berbeda-beda sesuai dengan perjalanan hidup masing-masing individu.
Baca Juga: Menggugat Kuota 30 Persen Perempuan di Panggung Politik, untuk Kesetaraan Gender atau Sekadar Angka?
Upaya Perempuan Keluar dari Dominasi Laki-laki di Dunia Sastra
Pemerintah Belum Serius Memenuhi Hak-hak Perempuan
Masa Emas Wanita
Kemajuan teknologi serta mudahnya akses terhadap berbagai berita perlahan mulai membuka pandangan masyarakat mengenai berbagai pilihan hidup manusia. Memang sudah waktunya masyarakat melek dan meninjau kembali persepsi tentang wanita yang memilih atau belum memiliki kesempatan untuk menikah di usia 30-an tahun.
Salah satu fakta yang sering kali terlupakan adalah mengenai usia 30-an tahun yang menjadi masa emas bagi banyak wanita (Doyle, 2020). Pada usia ini, wanita biasanya telah mencapai berbagai pencapaian penting dalam hidupnya, baik dari segi karier, pendidikan, maupun pengembangan diri. Banyak wanita di usia ini telah menduduki posisi penting dalam berbagai instansi, meraih gelar tinggi di pendidikan, memiliki usaha sendiri, atau bahkan menjadi figur inspiratif yang terkenal di bidang yang ditekuni. Wanita di usia ini memiliki daya juang yang luar biasa, kemandirian finansial, serta jaringan sosial yang luas.
Meski begitu, berbagai pencapaian luar biasa tersebut tertutup oleh pandangan yang melekat di masyarakat yang sering kali menyudutkan posisi wanita lajang usia 30-an. Mereka dianggap terlambat menikah atau bahkan yang lebih menyakitkan adalah dipandang sebagai "perawan tua". Istilah tersebut sudah semestinya ditinggalkan karena bersifat merendahkan dan tidak relevan dengan perkembangan zaman. Tidak seharusnya kekurangan seseorang dijadikan sebagai bahan omongan di masyarakat. Hal semacam ini tidak hanya membebani wanita secara mental tetapi juga menciptakan tekanan sosial yang tidak perlu.
Padahal banyak alasan mengapa seorang wanita belum menikah di usia 30-an tahun (Slaughter, 2015). Pertama, beberapa wanita memang memilih untuk terlebih dahulu fokus pada pengembangan diri dan karier. Mereka ingin memastikan bahwa fondasi yang dimiliki sudah kuat sebelum memulai kehidupan berumah tangga, terutama terkait finansial dan mental. Kedua, ada pula yang memang belum menemukan pasangan yang sejalan dengan nilai dan tujuan hidup. Dalam dunia yang semakin kompleks ini, menemukan pasangan yang cocok tidaklah semudah membalikkan telapak tangan.
Disisi lain, kita tidak bisa asal memilih pasangan hanya karena terimpit umur dan lelah dicap sebagai perawan tua. Menikah adalah keputusan yang sangat besar yang akan menentukan bagaimana masa depan kita dan keturunan kita ke depannya. Di masa depan, anak-anak kita berhak memiliki sosok ayah yang memang pantas untuk dijadikan sebagai teladan yang baik. Ketika menikah pun, wanita akan mengorbankan banyak waktunya untuk mengurus rumah tangga. Belum lagi, bentuk tubuh wanita yang akan banyak berubah pasca menikah. Beberapa hal tersebut tentunya memiliki dampak yang sangat signifikan terhadap karir yang telah kita bangun dan perjuangkan selama ini. Oleh karena itu, memilih pasangan dengan sangat bijaksana adalah sebuah keharusan.
Selain alasan tersebut, tidak sedikit wanita yang menyadari bahwa kebahagiaan tidak selalu bergantung pada pernikahan (Bennetts, 2007). Kita bisa menemukan kebahagiaan dalam hal-hal lain seperti menjalani hobi, berkontribusi pada komunitas, bepergian ke berbagai tempat, atau bahkan sekedar menikmati waktu sendiri tanpa tekanan. Paradigma bahwa wanita hanya bisa merasa lengkap setelah menikah sudah seharusnya digantikan dengan pemahaman bahwa setiap individu memiliki jalan hidup yang berbeda-beda.
Wanita yang Tangguh
Dalam menghadapi tingginya tekanan sosial yang didapatkan, sesungguhnya situasi ini menunjukkan bahwa kita sebagai wanita lajang usia 30-an memiliki ketangguhan luar biasa yang patut diapresiasi. Kita belajar untuk tumbuh menjadi pribadi yang tidak mudah terpengaruh oleh omongan orang lain dan tetap berjalan di jalur yang diyakini. Sebagai wanita dengan kodrat yang mengutamakan perasaan, tentu situasi ini tidak mudah untuk ditangani. Akan tetapi, ketangguhan diri yang kita tunjukkan membuktikan bahwa kita memiliki pemikiran yang matang dan kemampuan mengambil keputusan yang bertanggung jawab untuk hidup kita.
Tidak dapat disangkal bahwa kadang kita merasa galau dengan status lajang yang sedang dirasakan, terutama ketika melihat teman-teman sebaya yang telah menikah dan memiliki anak. Perasaan ini sangat manusiawi dan wajar. Namun, penting untuk diingat bahwa setiap orang memiliki timeline hidup yang berbeda. Tidak ada yang salah dengan berjalan di jalur yang berbeda selama itu membawa kebahagiaan dan kedamaian batin. Kita sendirilah yang tahu jalur mana yang paling tepat serta membahagiakan untuk diri kita sendiri.
Bagi masyarakat, sudah waktunya untuk berhenti menghakimi pilihan hidup wanita berdasarkan status pernikahan. Alih-alih mempertanyakan kapan akan menikah, akan jauh lebih baik jika kita mendukung wanita dalam mengejar impian dan tujuan hidup. Menghargai pilihan hidup orang lain adalah bentuk empati dan menghargai yang sangat diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat.
Bagi para wanita lajang di usia 30-an, penting untuk terus merawat cinta dan penghargaan terhadap diri sendiri (Brown, 2010). Mengembangkan potensi diri, menjalin hubungan yang sehat dengan orang-orang di sekitar serta menjalani hidup dengan penuh rasa syukur adalah langkah-langkah yang dapat membawa kebahagiaan sejati. Jangan biarkan tekanan sosial menghalangi kita untuk menjalani hidup yang bermakna dan berdampak bagi sekitar.
Terakhir, mari kita ubah narasi tentang wanita usia 30 tahun yang belum menikah. Kita bukanlah individu yang tertinggal atau kurang beruntung. Sebaliknya, kita adalah wanita yang berani mengambil kendali atas hidup kita sendiri dengan menjalani perjalanan hidup yang penuh makna serta terus berkembang menjadi versi terbaik dari diri kita sendiri. Kita adalah bukti nyata bahwa kebahagiaan dan kesuksesan tidak terikat pada satu jalan hidup dan standar sosial tertentu.
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lainnya tentang isu gender