Upaya Perempuan Keluar dari Dominasi Laki-laki di Dunia Sastra
Novelis Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie menyatakan masih terdapat bias gender di dunia sastra. Perlahan bias ini mulai memudar.
Penulis Fitri Amanda 23 Februari 2024
BandungBergerak.id - Perempuan sering kali terjebak dalam labirin stereotip yang telah lama mengakar di masyarakat. Begitu juga dalam dunia sastra penulis perempuan sering kali harus menghadapi hal tersebut. Meskipun karya-karya mereka sama berkualitasnya dengan para penulis laki-laki, mereka sering dipersepsikan dengan sudut pandang terbatas.
Stereotip tersebut dialami sendiri oleh Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie saat mengisi diskusi bertajuk Perempuan dalam Tulisan di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, Senin, 19 Februari 2024.
"Aku cuma merasa bahwa sebagai perempuan mungkin pencapaianku lebih mudah dilupakan," ungkap Ziggy, penulis yang telah menerbitkan lebih dari 20 novel.
Peraih anugerah DKJ ini menyoroti pandangan sempit yang sering diberikan pada karya-karya perempuan, meskipun kualitasnya sejajar dengan karya-karya yang ditulis oleh penulis laki-laki. Salah satu hal yang dibahas Ziggy adalah persepsi umum terhadap karya autobiografi yang dianggap ranahnya para penulis perempuan dan sering dianggap sebagai tulisan "cengeng" dan kurang berbobot.
"Autobiografi itu selalu disampaikan sebagai tulisan perempuan, dan sering kali dianggap mudah dan receh. Padahal, itu sangat sulit," jelas Ziggy.
Ziggy juga menyoroti kekurangan penghargaan terhadap karya-karya yang mengangkat pengalaman domestik perempuan, meskipun realitas yang disajikan dalam karya-karya tersebut mencerminkan pengalaman umum bagi banyak perempuan. Ini menggarisbawahi bahwa pengalaman domestik perempuan tidak boleh diabaikan dalam kanon sastra yang dianggap berpengaruh, terutama ketika karya-karya semacam itu dapat memberikan bantuan dan pemahaman bagi pembaca yang mengalami situasi serupa.
Ziggy menegaskan, isu-isu yang lebih luas seperti politik atau perang memang penting. Namun, penting juga untuk memberikan penghargaan yang setara terhadap karya-karya perempuan yang memfokuskan pada pengalaman domestik.
Ziggy kemudian menceritakan di awal kariernya, dia mengalami perbedaan dalam penerimaan terhadap karyanya ketika dia memutuskan untuk mencari peruntungan di sayembara Dewan Kesenian Jakarta yang sebagian besar didorong oleh keinginan untuk melangkah ke ranah penulisan yang berbeda.
Saat mencoba masuk ke DKJ, dia menemui perbedaan yang signifikan dalam cara karya-karyanya diterima. Di DKJ, ada keyakinan yang kuat pada embel-embel prestise dan penghargaan sastra. Meskipun demikian, Ziggy masih mendapatkan resistens yang terjadi pada karyanya, salah satunya "Di Tanah Lada".
“Dan sebetulnya waktu ‘Di Tanah Lada’ juga masih ada resistance, karena dianggap sebagai karya yang terlalu mudah,” ungkap Ziggy, kepada BandungBergerak
Saat ini Ziggy melihat penerimaan terhadap karya-karya penulis perempuan telah meningkat, terutama karena pembaca menjadi lebih kritis. Pengamatannya menunjukkan bahwa penilaian berdasarkan gender tidak lagi dominan seperti sebelumnya. Namun, ia menjelaskan bahwa penulis laki-laki mungkin menghadapi kritik yang lebih keras terkait gender, karena pembaca menjadi lebih sensitif terhadap hal tersebut.
Pembaca, kata Ziggy, saat ini akan melihat bias gender di dalam suatu karya baik yang ditulis perempuan maupun laki-laki. Di sisi lain, kelompok pembaca perempuan semakin banyak dan sering mengadakan diskusi-diskusi khusus, menunjukkan adanya kesadaran akan pentingnya perspektif perempuan dalam sastra.
Meskipun demikian, Ziggy masih meragukan apakah ada perkembangan yang signifikan dalam ekosistem sastra secara keseluruhan. Dari sudut pandang pembaca, penerimaan terhadap karya-karya perempuan sudah jauh lebih baik daripada sebelumnya.
Yostiani Noor, dosen sastra dan bahasa Indonesia, menambahkan saat ini situasi telah berubah secara signifikan. Dia mencatat bahwa ruang bagi perempuan dalam dunia sastra lebih terbuka daripada sebelumnya. Perempuan-perempuan saat ini memiliki lebih banyak pilihan dan fleksibilitas dalam mempublikasikan karyanya.
“Ah gak keterima di penerbit mayor misalnya, bisa self-publishing. Kalau gak self-publishing bisa tulis di wattpad (internet),” jelas Yostiani, kepada BandungBergerak, usai diskusi.
Yostiani menjelaskan, fenomena tersebut mengindikasikan bahwa ruang bagi perempuan dalam sastra semakin luas dan terbuka. Perkembangan ini menunjukkan adanya perbaikan dalam hal penerimaan gender dalam dunia sastra, yang merupakan kemajuan dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
Baca Juga: MAS MARCO KARTODIKROMO SEORANG JURNALIS PERGERAKAN #4: Sastra Perlawanan
Gelar Sastra: Aku Ini Binatang Jalang, Pertunjukan Teater Bel dengan Banyak Unsur Kesenian
Silaturahmi Sastra Sunda
Menilik Sensitivitas Gender dalam Tulisan Fiksi
Yostiani Noor yang juga turut menjadi narasumber dalam diskusi “Perempuan dalam Tulisan”, mengatakan, ada beberapa aspek yang menunjukkan sensitivitas terhadap gender dalam sebuah cerita fiksi. Dia menjelaskan bahwa karya fiksi dapat menunjukkan sensitivitas gender melalui konstruksi naratifnya.
Salah satu aspek yang ditekankan adalah bagaimana karakter perempuan disajikan dalam alur cerita apakah hanya sebagai pemanis atau sebagai sosok yang kuat dan berpengaruh. Dia juga menggarisbawahi bagaimana akhir cerita dapat memengaruhi persepsi terhadap gender, seperti apakah emosi seperti tangisan dari karakter laki-laki dianggap sebagai kelemahan atau tidak.
Pembahasan Yostiani juga mencakup konstruksi tokoh dan penokohan dalam cerita. Dia menyoroti bagaimana latar belakang budaya dan interaksi antarkarakter dapat memengaruhi cara gender direpresentasikan dalam narasi. Penting juga memperhatikan karakter perempuan apakah hanya terbatas pada peran domestik atau juga aktif dalam ruang publik, karena hal ini mencerminkan stereotip gender yang ada dalam masyarakat.
Sudut pandang naratif juga menjadi fokus pembicaraan Yostiani. Dia menyoroti bagaimana hal tersebut dapat memengaruhi cara isu-isu gender disuarakan dalam cerita.
“Penggunaan sudut pandang, pemilihan siapa yang menjadi naratornya, itu sangat menunjukkan sekali bagaimana keberpihakan penulis terhadap isu gender yang terjadi,” tambahnya.
Yostiani menunjukkan contoh peran perempuan di dalam cerita legenda, misalnya dalam kisah Situ Patengan. Di sini pergerakan karakter perempuan lebih sedikit dibandingkan tokoh laki-laki. Tokoh perempuan hanya bergerak di daerah sekitar Situ Patengan sedangkan tokoh laki-laki dapat bergerak di berbagai tempat yang jaraknya lebih jauh.
“Bisa saja setiap teks mungkin memiliki perbedaan, tapi dari teks legenda ini, ini menunjukkan bahwa tokoh perempuan memang dari segi penyajian latar (tempat) menunjukkan bahwa perempuan itu pergerakannya memang lebih sedikit dibandingkan dengan tokoh laki-laki,” jelas Yostiani.
*Kawan-kawan yang baik bisa membaca lebih lanjut tulisan-tulisan Fitri Amanda, atau artikel-artikel lain tentang Sastra