• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Siapa pun Pemimpinnya Gua mah Tetap Kerja dan Cari Duit Sendiri, Apa Sesederhana itu?

MAHASISWA BERSUARA: Siapa pun Pemimpinnya Gua mah Tetap Kerja dan Cari Duit Sendiri, Apa Sesederhana itu?

Pemerintah mempunyai kendali atas penciptaan wewenang yang akan menimbulkan berbagai pengaruh ke dalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat.

Wildan Maulana

Mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Pendidikan Indonesia (UPI)

Ilustrasi. Pemilu merupakan ajang demokrasi untuk menentukan pemimpin. (ilustrasi: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id)

28 Februari 2025


BandungBergerak.id – "Siapa pun pemimpinnya kita tetep kudu nyari duit dan kerja sendiri." Opini yang biasanya terdengar dari banyak orang ketika sudah tiba masanya akan memasuki pesta demokrasi rakyat, yaitu pemilu. Ya betul, tidak ada yang salah dengan opini tersebut. Kita sebagai manusia sudah jelas perlu mengeluarkan usaha untuk mempertahankan kehidupan kita masing-masing, salah satunya yaitu dengan bekerja dan mendapatkan upah atau kita mendapatkan penghasilan dari usaha yang kita kelola lalu hidup dari penghasilan tersebut terlepas dari siapa pun yang tengah menjadi pemimpin.

Kita bebas hendak melakukan apa saja dengan penghasilan yang kita dapatkan tersebut. Entah itu mau dipakai makan enak sebagai salah satu bentuk apresiasi kepada diri sendiri karena telah bekerja keras, dipakai membeli gadget impian yang sudah dari kapan lalu ingin dibeli, dipakai untuk pergi liburan ke tempat-tempat baru, dipakai menonton film yang tengah menjadi populer, membeli satu set pakaian baru, bahkan mungkin lebih memilih untuk menyimpannya sebagai dana darurat di masa depan dan masih banyak lagi.

Lalu, sebagian dari kita mungkin banyak yang berpikir, "Ah ternyata selama kita bekerja keras, siapa pun yang jadi pemimpin tidak terlalu memengaruhi kehidupan sehari-hari kita." Dan semua berjalan normal seperti pada biasanya sampai pada suatu waktu, pemerintah membuat kebijakan yang akhirnya memengaruhi bagaimana cara kita mengelola kondisi finansial kita.

Misalnya, pemerintah memberlakukan kebijakan baru mengenai pajak penghasilan yang secara tiba-tiba mengalami kenaikan dari sebelumnya dan tentu kebijakan tersebut wajib diikuti oleh para pekerja. Kita semua yang pada awalnya mungkin telah memiliki rencana tertentu akan dipakai untuk apa gaji sebagai buah dari kerja keras kita, terpaksa harus mengubah rencana awal kita dan mengatur kembali strategi finansial kita karena upah yang kita terima mengalami pemotongan lebih besar dari sebelumnya. Jelas kebijakan tersebut merepotkan kita karena kita akan lebih kesulitan dalam memenuhi kebutuhan kita, penghasilan kita mengalami pemangkasan sementara di sisi lain biaya untuk memenuhi kebutuhan hidup kita tetap sama dan bahkan cenderung mengalami peningkatan. Kita mengalami berbagai kesulitan setelah kebijakan tersebut diberlakukan, tetapi mau tidak mau kita dituntut untuk harus tunduk terhadap aturan yang disahkan oleh otoritas dan sederet sanksi pidana menanti di pengadilan jika kita tidak mau mematuhinya.

Sebuah contoh lainnya, misalnya anggaplah kita adalah seorang petani yang mengandalkan penghasilan dari bertani untuk menghidupi diri kita. Mulai dari mempersiapkan lahan untuk ditanami, memilih benih seperti apa yang akan ditanam, melakukan penanaman, setelah menanam pun kita masih perlu memantau dengan ketat perkembangan dari benih yang ditanam serta merawatnya dengan menyiram, memberikan pupuk dan mungkin memastikannya terhindar dari hama serta penyakit yang biasa menyerang hasil tani sampai akhirnya memanen hasil tani kita. Proses yang panjang itu jelas merupakan kerja keras dari petani dan seharusnya karena mereka telah bekerja keras kehidupan para petani hendaklah sejahtera. Tapi di sisi lain, pemerintah pada saat itu memberlakukan kebijakan impor padahal hasil tani lokal masih mencukupi kebutuhan pasar yang pada akhirnya membuat para petani menurunkan harga hasil panennya karena jika tidak, mereka akan kesulitan menjual hasil panen mereka ke pasaran. Di sini, kerja keras yang telah dikerahkan tidak sebanding dengan hasil yang didapat karena adanya pengaruh kebijakan otoritas yang berkuasa.

Dari contoh-contoh di atas, kita seharusnya bisa memahami bahwa dalam menjalani kehidupan sebagai masyarakat dari negara yang memiliki serangkaian aturan dan undang-undang yang mengikat warga negaranya, keberadaan pemimpin dan jajarannya yang mempunyai kendali atas penciptaan wewenang, jelas akan menimbulkan berbagai pengaruh ke dalam kehidupan sosial ekonomi masyarakatnya.

Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Hilangnya Daya Kritis Pemuda, Pancasila di Persimpangan Jalan
MAHASISWA BERSUARA: SMK dan Fondasi yang Rapuh, Gagal Siap Kerja karena Tak Siap Belajar
MAHASISWA BERSUARA: Pembangunan IKN, Harapan atau Malapetaka Bagi Daerah Lain?

Apatis Memilih Pemimpin

Akan tetapi dengan kenyataan yang terjadi sekarang, di mana masih cukup banyak masyarakat yang cenderung bersikap apatis ketika hendak memilih pemimpin, bahkan menurut data dari Bawaslu, partisipasi politik pada kontestasi Pilkada 2024 menyentuh angka di bawah 70 persen dan ini jelas merupakan indikasi kuat sikap apatisme politik di masyarakat. Sikap apatisme juga terkadang muncul terhadap suatu kebijakan dan aturan yang diberlakukan dan tanpa disadari, aturan-aturan tersebut sebenarnya memberikan pengaruh besar terhadap kehidupan mereka.

Jika kita pikirkan kembali, sebenarnya hampir semua hal yang terjadi di suatu negara itu sarat akan unsur-unsur politik, bagaimana negara membuat regulasi terkait pendidikan, kesehatan, ekonomi, pertanian, industri dan berbagai sektor krusial lainnya itu diatur dalam peraturan perundang-undangan dan itu semua merupakan wewenang dari para pemimpin yang tengah memegang kendali.

Negara mempunyai segala daya dan kuasa untuk menentukan seperti apa ke depannya kualitas pendidikan di negara tersebut, seberapa terjangkaunya masyarakat bisa mengakses fasilitas kesehatan yang memadai, selayak apa sarana transportasi umum yang diakses oleh masyarakat, penegakkan hukumnya akan setegas apa, kebijakan ekonomi apa yang akan diberlakukan yang nantinya akan memengaruhi roda ekonomi masyarakat dan juga negara. Pemimpin suatu negara memegang nasib dan penghidupan jutaan orang di bawah arahan dan aturan yang diberlakukannya, maka dengan menyebut bahwa siapa pun pemimpinnya, tidak akan membawa pengaruh apa pun terhadap kehidupan pribadi seseorang merupakan suatu kesalahan berpikir yang perlu dibenahi, apalagi jika pola pikir ini dibangun secara kolektif di masyarakat.

Langkah awal yang mungkin bisa diambil untuk membenahi hal ini adalah mulai dengan membangun kebiasaan untuk memiliki rasa skeptis dalam menanggapi suatu hal, cobalah untuk mempertanyakan segala hal yang telah, sedang, dan akan digagas oleh pemimpin negara. Kita perlu cerewet ketika hal itu berkaitan dengan perancangan aturan dan kebijakan yang akan diberlakukan, suarakan jika dirasa kebijakan dan aturan tersebut akan banyak membawa berbagai konsekuensi negatif, selalu ingat bahwa ketika suatu kebijakan disahkan maka kita akan terikat dengan hal tersebut dan wajib untuk tunduk pada kebijakan yang telah diberlakukan.

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain Mahasiswa Bersuara

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//