• HAM
  • Hasil Sidang Etik Kasus Kekerasan terhadap Pemimpin Redaksi Floresa Melanggengkan Impunitas Aparat Polisi Pelaku Kekerasan

Hasil Sidang Etik Kasus Kekerasan terhadap Pemimpin Redaksi Floresa Melanggengkan Impunitas Aparat Polisi Pelaku Kekerasan

Pemimpin Redaksi Floresa mendapatkan kekerasan dari polisi saat meliput unjuk rasa warga di Poco Leok, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur.

Warga Poco Leok mengadang pemerintah dan PT PLN yang dikawal aparat keamanan di sekitar akses tambang panas bumi, 1 Oktober 2024. (Dokumentasi Floresa)*

Penulis Yopi Muharam3 Maret 2025


BandungBergerak.idRabu, 2 Oktober 2024, menjadi momen yang tak terlupakan oleh Herry Kabut. Pemimpin Redaksi Floresa ini mendapat tindak kekerasan dari polisi saat meliput unjuk rasa warga di Poco Leok, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur yang menolak pembangunan geotermal.

Saat itu, warga dari 10 kampung adat melakukan aksi yang mereka sebut sebagai “jaga kampung”. Aksi itu berlangsung di titik pengeboran atau wellpad D, di Lingko Meter, yang juga menjadi bagian dari tanah ulayat Gendang Lungar.

 

Menurut kronologi yang ditulis langsung oleh Herry di laman Floresa.co. tindakan kekerasan oleh aparat terjadi saat ia memotret keadaan sekitar. Warga yang berdemo tengah berduduk santai setelah menyantap makan siang.

Herry pun menangkap beberapa jepretan dari ponselnya. Akan tetapi, saat dirinya memotret dua orang warga dan dua Polisi Wanita (Polwan) yang sedang duduk di dalam mobil polisi, Herry pun diminta oleh Polwan tersebut masuk ke dalam mobil. Di sana dia dicecar dengan berbagai macam pertanyaan.

 

Setelah itu, beberapa anggota polisi yang mengenakan seragam dan baju bebas, menghampiri mobil tersebut dan meminta Herry untuk turun dari mobil. “Mereka menuding saya sewenang-wenang naik ke mobil itu,” terangnya, dalam kronologis yang dikutip BandungBergerak, Senin, 24 Februari 2025.

 

Setelah menjelaskan bahwa dirinya diminta oleh polwan, beberapa Polisi langsung menyuruhnya turun dan memiting leher Herry tanpa menghiraukan penjelasannya. Alhasil dia diboyong sejauh 60 meter dari lokasi mobil polisi itu parkir.

 

Herry diminta menunjukkan kartu pers. Herry menjelaskan bahwa ia tidak membawa id pers melainkan surat tugas. Dia pun meminta kepada polisi yang membawanya itu untuk melihat langsung ke web Floresa untuk membuktikan bahwa dia seorang Pemred Floresa. Namun permintaan itu tak dihiraukan.

 

Setelah dibawa ke samping mobil TNI, lagi-lagi ia menerima kekerasan mulai dari pukulan yang diarahkan ke muka dan kepala, serta tendangan ke beberapa bagian tubuhnya.

 

“Aksi itu dilakukan beberapa aparat, wartawan berinisial TJ, serta anggota polisi intel yang juga menyebut dirinya sebagai “anak media,” terang Herry.

Tidak hanya itu, gawai Herry pun dirampas. Foto-fotonya dihapus paksa. Sejumlah pesan di seluler dibuka tanpa seizin Herry.

 

Atas perlakuan yang diterimanya, Herry langsung melakukan visum, mengumpulkan bukti, serta melaporkan ke divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polda NTT.

 

Minim Progres

 

Sembilan hari pascatindak represi, Herry langsung melaporkan kejadian tersebut ke Propam. Dalam laporannya pada 11 Oktober 2024 lalu, Propam menerima laporan Herry bagian SPKT. Laporan diterima dengan nomor: LP/B/285/X/2024/SPKT/Polda Nusa Tenggara Timur.

 

Empat bulan berlalu. Penanganan terhadap kekerasan yang menimpa Herry belum membuahkan hasil. Merespons hal tersebut, Ferdinansa Jufanlo Buba, salah satu kuasa hukum Herry mengatakan, anggota polisi yang terlibat dalam pelanggaran etik harus mendapat hukuman yang menimbulkan efek jera.

 

“Kasus ini adalah kasus serius yang melibatkan aparat penegak hukum,” ujar Ferdinansa, dikutip BandungBergerak.

 

Menurutnya, tidak ada alasan untuk menghentikan kasus yang menimpa Herry. Sebab sudah ada bukti dan saksi yang melihat kejadian tersebut. “Karena itu, tidak ada alasan bagi polisi untuk tidak menindak anggotanya,” lanjutnya.

 

Minta Maaf

 

Dikutip dari Floresa, anggota Polres Manggarai Aipda Hendrikus Hanu dinyatakan terbukti melakukan pelanggaran dalam sidang etik terkait kasus kekerasan terhadap Pemimpin Redaksi Floresa, Herry Kabut. Namun, sanksi ringan berupa permintaan maaf yang dijatuhkan kepada Kanit IV Satuan Intelkam Polres Manggarai itu menurut Dewan Pers dan kuasa hukum Herry adalah bentuk upaya pelanggengan impunitas bagi aparat pelaku kekerasan.

 

Dalam putusan yang diumumkan pada akhir Sidang Komisi Kode Etik Polri [KKEP] pada 24 Februari, Hendrikus dinyatakan “terbukti melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf c Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi Polri dan Komisi Kode Etik Polri.”

 

Majelis menyatakan, Hendrikus “tidak profesional dalam melakukan pengamanan kegiatan identifikasi dan pendataan awal lokasi” proyek geotermal Poco Leok saat peristiwa pada 2 Oktober 2024. Tindakannya terhadap Herry dinyatakan “tidak sesuai prosedur” dan “sebagai perbuatan tercela.”

 

Sebagai sanksi, ia diwajibkan “menyampaikan permintaan maaf secara lisan di hadapan sidang KKEP serta secara tertulis kepada Pimpinan Polri dan pihak yang dirugikan.”

 

Kepala Divisi Humas Polda NTT, Henry Novika Chandra menyatakan, “dengan adanya keputusan ini, diharapkan seluruh anggota Polri dapat menjunjung tinggi profesionalisme dalam menjalankan tugas serta menghormati hak-hak masyarakat, termasuk kebebasan pers.”

 

Ia menjelaskan, “Polda NTT menegaskan komitmen dalam menegakkan kode etik profesi Polri guna menjaga integritas dan kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian.”

 

Sidang itu dipimpin Majelis Sidang Kode Etik, masing-masing Januarius Seran, Kasubbid Provos Bid Propam Polda NTT; Karel Leokuna, Wakil Kapolres Manggarai dan Galus Keko, Kepala Bagian Perencanaan Polres Manggarai. 

 

Erik Come dari Propam Polda NTT dan Heribertus Edot, Kepala Seksi Propam Polres Manggarai menjadi penuntut. Satu orang polisi pria dan dua orang polisi wanita ikut hadir, masing-masing sebagai pendamping dan saksi bagi Hendrikus.

 

Herry dan Karolus Gampur, warga Poco Leok juga hadir, masing-masing sebagai saksi korban dan saksi. Keduanya didampingi pengacara Ferdinansa Jufanlo Buba dan Yulianus Ario Jempau.

Baca Juga: Septia Bebas, Kemenangan Rakyat Melawan Pasal Karet UU ITE
YLBHI Merilis Catatan Kritis Bertepatan dengan 100 Hari Kerja Pemerintahan Prabowo
Diskusi Lintas Agama, Mendorong Negara untuk Tidak Melakukan Pelanggaran Kebebasan Beragama Berkeyakinan

Pelanggengan Impunitas 

Putusan sidang ini menuai kecaman, karena sanksi yang ringan dan proses sidang yang dinilai kental dengan upaya melindungi institusi. 

Erick Tanjung, Koordinator Satgas Anti Kekerasan Wartawan Dewan Pers menyatakan, sanksi dalam bentuk permintaan maaf tidak menimbulkan efek jera, baik bagi Hendrikus sebagai pelanggar maupun bagi Polri sebagai institusi.

“Kami melihat ini sebagai praktik pendisiplinan yang tidak sungguh-sungguh terhadap anggota Polri yang melakukan pelanggaran,” katanya.

Dari sisi korban, lanjutnya, sanksi tersebut “tidak memberikan rasa keadilan.”

Erick juga menyatakan, sanksi ringan terhadap Hendrikus adalah bentuk pelanggengan impunitas terhadap polisi pelaku kekerasan.

“Ini akan menjadi preseden buruk dalam proses hukum di Indonesia, apalagi pelakunya adalah aparat penegak hukum yang seharusnya menjadi pengayom,” katanya.

“Kalau penegak hukum sendiri yang melakukan pelanggaran pidana, seharusnya hukuman yang dijatuhkan itu berat, sehingga benar-benar memberikan efek jera.”

Polri, kata Erick, seharusnya mengevaluasi mekanisme sidang etik terhadap anggotanya yang melakukan kekerasan terhadap jurnalis.

Ferdinansa Jufanlo Buba, pengacara Herry berkata, kendati sidang itu menunjukkan itikad institusi dalam menindak anggotanya yang bersalah, namun prosesnya “tidak memuaskan.” 

Ia juga memprotes vonis ringan terhadap Hendrikus.

“Kami tidak menemukan alasan-alasan yang memadai untuk meringankan sanksi terhadap pelaku, karena ia sudah secara nyata terlibat dalam kekerasan,” kata Jufan.

Sementara Yulianus Ario Jempau, pengacara lainnya berkata putusan bersalah terhadap Hendrikus “memang menunjukkan adanya keberpihakan pada korban.” 

Putusan itu, katanya, juga jadi peringatan kepada polisi “bahwa kerja jurnalistik harus dihargai, dan tidak boleh ada kejadian serupa bagi jurnalis dan elemen masyarakat sipil lainnya.”

Kendati demikian, kata Ario, ada beberapa hal yang “sama sekali tidak dipertimbangkan” selama sidang etik, misalnya tindakan Hendrikus merampas dan mengakses ponsel Herry.

Keterangan Hendrikus dan saksi kepolisian yang menyatakan hanya “memegang jaket dan merangkul” Herry, kata Arrio, juga upaya mengaburkan fakta, kendati mereka melakukan kekerasan terhadap Herry.

Sementara itu dalam sebuah pernyataan beberapa jam setelah pembacaan putusan, Floresa menyatakan putusan ini mengecewakan setelah menanti empat bulan penanganan kasus ini.

“Sementara pernyataan permintaan maaf membuktikan bahwa Polri mengakui adanya kekerasan seperti yang kami laporkan, penanganan kasus ini menunjukkan bahwa institusi Polri memaafkan dirinya sendiri dan mengabaikan kewajiban untuk mengusut kasus ini secara tuntas,” menurut Floresa. 

“Ini adalah praktik impunitas yang dipamerkan secara terang-terangan.”

Proses Pidana

Merespons putusan etik ini, Erick Tanjung dari Dewan Pers dan kuasa hukum Floresa menyatakan, seharusnya ini menjadi alasan kuat untuk melanjutkan proses pidana kasus ini.

Karena Hendrikus sudah dinyatakan melakukan pelanggaran, kata Erick, harusnya proses pidana bisa diteruskan.

“Jika hasil sidang etik menyatakan Hendrikus bersalah, tentu secara pidana harus dilanjutkan,” katanya.

Erick menyatakan, kekerasan terhadap Herry merupakan pelanggaran Undang-Undang Pers Nomor 40 tahun 1999, yakni pasal 18 ayat 1 terkait upaya menghalang-halangi kerja jurnalistik.

“Itu ancamannya pidana penjara dua tahun dan denda Rp500 juta, juga juncto KUHP terkait penganiayaan,” kata Erick, yang juga Koordinator Komite Keselamatan Jurnalis.

Karena itu, lanjut Erick, pihaknya mendesak Kapolri Listyo Sigit Prabowo melakukan reformasi internal dalam institusinya.

“Ini adalah momentum Kapolri untuk melihat bahwa Polda NTT justru melindungi anggotanya yang merupakan pelaku tindak pidana kekerasan terhadap jurnalis,” katanya yang berjanji akan menyampaikan evaluasi itu kepada Kapolri.

Ia juga berkata penanganan lebih lanjut terkait tindak pidana kasus ini menjadi penting “agar tidak boleh ada impunitas terhadap pelaku kekerasan terhadap jurnalis.”

Hal senada disampaikan pengacara Ario Jempau, yang menyatakan, putusan etik yang menetapkan Hendrikus bersalah menjadi pertimbangan agar kasus penganiayaan ini diproses secara pidana.

“Putusan etik ini menjadi pintu masuk agar proses pidana dibuka lagi,” katanya.

Kasus Kekerasan Terhadap Jurnalis

Kasus yang menimpa Harry di awal tahun menambah daftar kekerasan terhadap jurnalis. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mengeluarkan catatan akhir tahun 2024 dan menyebut ada 73 kasus kekerasan terhadap jurnalis.

Kasus kekerasan fisik paling banyak terjadi, yaitu mencapai 20 kasus. Di urutan kedua ada teror dan intimidasi sebanyak 14 kasus. Urutan ketiga ada pelarangan peliputan sebanyak 9 kasus. Keempat ada ancaman sebanyak 9 kasus. Kelima ada serangan digital sebanyak 6 kasus.

Berikutnya, perusakan alat atau penghapusan data sebanyak 5 kasus; pemanggilan atau klarifikasi oleh aparat sebanyak 3 kasus; kekerasan berbasis gender sebanyak 3 kasus; penuntutan hukum sebanyak 2 kasus; pembunuhan terhadap jurnalis sebanyak 1 kasus; dan swasensor di ruang redaksi sebanyak 1 kasus.

Kasus kekerasan tersebut hampir ditemukan di seluruh wilayah di Indonesia. Di antaranya terjadi Sumatra Utara, Jakarta, Sulawesi Tengah, Denpasar, Maluku Utara, Papua Tengah, hingga Papua Barat Daya.

Sementara itu, pelaku kasus kekerasan terhadap jurnalis didominasi oleh polisi sebanyak 19 kasus. Menyusul TNI sebanyak 11 kasus. Lalu ada organisasi masyarakat sebanyak 11 kasus. Orang tak dikenal 10 kasus. Perusahaan 5 kasus. Aparatur pemerintah 4 kasus. 

Selanjutnya pekerja profesional 4 kasus. Pejabat legislatif 2 kasus. Lalu pejabat pengadilan 1 kasus. Terakhir rektorat perguruan tinggi sebanyak 1 kasus.

*Kawan-kawan yang baik bisa membaca tulisan-tulisan lain dari Yopi Muharamatau artikel-artikel lain tentang Kebebasan Pers

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//