Septia Bebas, Kemenangan Rakyat Melawan Pasal Karet UU ITE
Bebasnya Septia menjadi yurisprudensi bagi kasus-kasus kriminalisasi menggunakan pasal karet UU ITE. Rakyat agar tidak takut bersuara kritis.
Penulis Muhammad Akmal Firmansyah23 Januari 2025
BandungBergerak.id - Setelah berjuang panjang menuntut keadilan, Septia Dwi Pertiwi buruh perempuan muda yang dikriminalisasi oleh John LBF, pengusaha PT Hive Five, dinyatakan bebas dari dakwaan oleh majelis hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu, 22 Januari 2025.
“Membebaskan terdakwa Septia Dwi Pertiwi oleh karena itu dari seluruh dakwaan penuntut umum,” kata Ketua Majelis Hakim, Saptono.
Majelis hakim juga meminta Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk segera membebaskan Septia dan memulihkan kemampuan, kedudukan, harkat, dan martabatnya. Negara juga diminta mengganti segala kerugian yang dialami Septia.
Sebelumnya, JPU menuntut satu tahun penjara ditambah denda 50 juta rupiah subsider 3 bulan kurungan. Putusan hakim mematahkan seluruh tuntutan yang diajukan oleh JPU.
Kuasa hukum sekaligus Sekretaris Jenderal Perhimpunan Bantuan Hukum dan Ham Indonesia (PBHI) Gina Sabrina menjelaskan, hakim membebaskan seluruh dakwaan terhadap Septia baik dakwaan primer Pasal 27 ayat 3 dan Pasal 36 UU ITE dan alternatif Pasal 311 KUHP.
Semua tangkapan layar yang dicuit oleh Septia di akun X mengenai kondisi kerja dan pelanggaran hak ketenagakerjaan adalah fakta yang sama sekali tidak ditunjukkan untuk menyerang personal atau kehormatan John LBF. Gina mengatakan, majelis hakim mempertimbangkan fakta dalam kasus ini.
Tim Advokasi Septia Gugat Negara Abai (Tim Astaga) berharap, putusan majelis hakim ini menjadi yurisprudensi bagi kasus-kasus kriminalisasi UU ITE yang masih terus terjadi sampai saat ini. Dalam putusan majelis hakim yang menjadi pertimbangan mengambil keputusannya yakni, Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Menteri Komunikasi dan Informatika, Kepala Kepolisian Republik Indonesia, dan Jaksa Agung mengenai Pedoman Implementasi UU ITE. Di antara poin ketentuan tersebut menyebutkan bahwa ungkapan atas sebuah kenyataan atau fakta tidak dianggap memenuhi unsur pencemaran nama baik.
Baca Juga: Menyuarakan Kesejahteraan Buruh Bukan Tindakan Kriminal, Bebaskan Septia!
Kriminalisasi terhadap Partisipasi Publik, Cara Negara Menjegal Kritik
Masih Marak Kriminalisasi, Makin Sulit HAM Terlindungi
Septia Dwi Pertiwi dan Rentetan Kasus Kriminalisasi UU ITE
Septia sendiri menyatakan, sudah seharusnya kebebasan menjadi miliknya. Kriminalisasi yang dilakukan pengusaha terhadap buruh merupakan hal yang sia-sia. Ia berharap semua buruh yang dikriminalisasi bisa mendapatkan kemenangan.
Hafizh Nabiyyin, Kepala Divisi Kebebasan Berekspresi SAFEnet menilai putusan majelis hakim menjadi kabar baik bagi iklim demokrasi di Indonesia. Meski UU ITE telah direvisi, namun kriminalisasi masih digunakan untuk membungkam suara-suara kritis.
Hafizh juga mendesak, pihak kepolisian dan Jaksa Agung untuk mengevaluasi kinerja seluruh penegak hukum yang terlibat dalam kriminalisasi Septia. Kasus seperti ini diharapkan tidak terjadi berulang-ulang yang merugikan baik secara finansial dan psikologis.
“Septia tidak akan terkuras energi, finansial, dan psikologisnya selama kurang lebih dua tahun seandainya sedari awal kasus ini tidak ditindaklanjuti oleh polisi. Seharusnya polisi maupun jaksa menghentikan kasus ini sejak awal, karena secara terang benderang bertentangan dengan SKB 3 lembaga tentang pedoman implementasi UU ITE, yang hari ini kita lihat juga jadi pertimbangan majelis hakim,” kata Hafizh, dalam keterangan resmi yang diterima BandungBergerak.
Selama bertahun-tahun UU ITE menjadi hantu menakutkan bagi masyarakat Indonesia. Safenet mencatat selama 2020 terdapat 84 kasus pemidanaan dengan 64 di antaranya menggunakan UU ITE.
Dari tahun 2019 sampai Mei 2022, Amnesty International Indonesia mencatat sebanyak 332 orang dijerat dengan UU ITE, termasuk jurnalis dan satu media dalam catatan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, 14 wartawan dan satu media dilaporkan dijerat menggunakan UU ITE kurun waktu 2019 sampai 2021. (https://aji.or.id/system/files/2024-07/final20-20policy20briefuu20ite2028edit292028129_0.pdf)
Direktur Trade Union Rights Center Andriko Otang mengatakan, sepanjang pasal karet UU ITE belum dicabut, akan selalu menghantui segala bentuk ketidakadilan dan membungkam suara kritis. Kasus Septia mengajari untuk tidak takut dalam kritis dan mengungkapkan fakta kebenaran.
Andri menjelaskan, gerakan solidaritas terhadap Septia juga menjadi tanda kemenangan gerakan rakyat yang masih bisa menjadi harapan bagi masyarakat dalam menyuarakan suara kritis.
Hal yang sama dituturkan Juru Kampanye Amnesty International Indonesia Satya Azyumar yang menegaskan pasal-pasal UU ITE yang bermasalah harus segera dihapuskan, sebab pembungkaman suara-suara kritis masih terus terjadi.
Sementara itu, Jumisih, Ketua Bidang Politik Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) mengasperasi keberanian Septia melawan ketidakadilan. Jumisih menegaskan agar otoritas ketenagakerjaan di pusat maupun di daerah bisa lebih peduli serta menindak pengusaha-pengusaha nakal dengan upaya preventif dan penindakan.
*Kawan-kawan silakan membaca tulisan lain Muhammad Akmal Firmansyah atau artikel-artikel tentang Kriminalisasi atau UU ITE