• Opini
  • Stigma Kere yang Melekat pada Pejalan Kaki di Indonesia, Bukti Gagalnya Pemerintah!

Stigma Kere yang Melekat pada Pejalan Kaki di Indonesia, Bukti Gagalnya Pemerintah!

Pejalan kaki di Indonesia masih menjadi warga negara kelas dua, terpinggirkan.

Aditya Ikhsan

Pegiat mobilitas berkelanjutan dari Koalisi Pejalan Kaki Surabaya

Pejalan kaki berjalan di tepi jalan, bukan di trotoar. (Foto: Aditya Ikhsan)

3 Maret 2025


BandungBergerak.id – Di tengah kehidupan perkotaan dan dinamika biaya hidup di kota metropolitan yang semakin tinggi, menghemat pos pengeluaran transportasi adalah hal penting untuk dilakukan. Termasuk menyiasatinya dengan rutin jalan kaki dan naik transportasi umum.

Bayangkan saja sehari kita bisa menghabiskan uang bensin dan parkir hingga Rp 25 ribu, karena naik transportasi umum kita bisa menghemat hingga setengahnya. Lumayan buat tambahan beli jajan atau seporsi bakso langganan.

Selain bisa menghemat uang, jalan kaki dan naik transportasi umum juga bisa bikin kita lebih dekat dengan kota yang kita tinggali. Seperti pengalaman saya, pernah menemukan sebuah bangunan sejarah bekas rumah sakit peninggalan Hindia Belanda, toko buku, hingga warung pecel yang kini jadi langganan. Padahal saya sering lewat sana naik motor, tetapi baru tahu saat saya sering jalan kaki.

Tetapi segudang manfaat yang ditawarkan saat jalan kaki, hari-hari ini begitu berat untuk dinikmati. Karena kenyataannya, menjadi pejalan kaki di Indonesia masih begitu sulit. Seperti baru melangkah beberapa meter keluar gang kampung, terdengar suara celetukan dari tetangga. Katanya, “Ngapain jalan kaki, kayak orang kere (miskin) saja. Gak kasihan sama motormu di rumah tah.”

Rasanya kondisi seperti ini tidak cuma saya saja yang pernah merasakannya, mungkin banyak dari kita semua mengalami. Sungguh menyebalkan ya ketika jalan kaki dianggap aktivitas buruk bahkan gilani.

Baca Juga: Berjalan Kaki Menceritakan Kuliner Legendaris di Kota Bandung
Pejalan Kaki Terancam Celaka Menyeberang di Jalur Cepat Jalan Sukarno Hatta
Lebih dari 11 Miliar Rupiah Tender Pembangunan dan Rehabilitasi Trotoar Kota Bandung Sepanjang 2024, Kualitas Fasilitas Pejalan Kaki Belum Merata

Kendaraan Pribadi, Gengsi sebuah Kelas Masyarakat

Data Korlantas Polri Agustus 2024 menunjukkan jumlah kendaraan bermotor saat ini mencapai 164 juta unit, tersebar ke berbagai daerah di Indonesia. Pulau Jawa menempati urutan pertama dengan jumlah 97 juta unit. Bukti industri otomotif dan minat kepemilikan kendaraan pribadi sangat tinggi di Indonesia, bahkan lumrah sekali kita temukan satu rumah memiliki dua sampai tiga motor, bahkan ruang tamu disulap menjadi garasi.

Contoh lainnya bisa kita lihat di jalan raya, bagaimana sudut jalanan dipenuhi oleh kendaraan pribadi dan kemacetan. Terkadang bisa dihitung jari orang yang jalan kaki ataupun naik transportasi umum.

Di kalangan masyarakat kita, memiliki kendaraan pribadi sangat  bergengsi dan hukumnya wajib. Apalagi tipe motor yang dimiliki adalah tipe paling “wah” dikategorinya. Misalkan ada seseorang hanya memiliki Mio Sporty dengan seorang yang baru beli sebuah NMAX, coba tebak siapa yang paling dipandang sebelah mata. Semakin mahal kendaraan pribadi yang dimiliki, maka simbol kelas yang disematkan juga ikut tinggi.

Jika kita tidak memiliki kendaraan pribadi sama sekali, siap-siap dianggap anomali oleh tetangga. Artinya kepemilikan kendaraan pribadi juga diasosiasikan sebagai bentuk keberhasilan atau kesuksesan sebuah individu. Kelak, seseorang tidak memiliki apa yang mayoritas orang lain miliki, maka dianggap tidak setara atau lebih rendah kelasnya karena tidak memiliki simbol yang pantas.

Kondisi seperti ini terus berlangsung bertahun-tahun sejak terakhir budaya berjalan kaki hilang pada periode tahun 90-an. Memunculkan paradigma baru, cenderung menghasilkan stigma negatif yang begitu kuat dan melekat bagi kelompok yang tidak mampu membeli kendaraan pribadi.

Degradasi Fungsi Transportasi Umum

Masyarakat yang memilih jalan kaki dan naik transportasi umum, terkadang tidak ada pilihan lagi. Jangankan untuk Down Payment (DP) kendaraan pribadi, untuk makan sehari-hari saja harus bercucuran keringat kesan-kemari.

Apalagi data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Agustus 2024 menunjukkan jumlah pekerja informal di Indonesia mencapai 83,83 juta warga. Saat ini, kepastian dan kesejahteraan warga dalam bekerja cukup rendah bahkan penghasilan tidak menentu. Menimbulkan ketidakstabilan finansial, cenderung kebutuhan dasar kurang tercukupi.

Sehingga masalah kendaraan pribadi sering kali menjadi paradoks sosial. Ketika jumlah kepemilikan kendaraan pribadi sangat tinggi, sedangkan sebagian besar masyarakat kita belum mendapatkan penghasilan yang layak. Jika ditarik akar masalahnya, akses terhadap transportasi umumlah yang membuat banyak masyarakat terpaksa mengambil opsi kredit kendaraan pribadi.

Transportasi umum di Indonesia hari-hari ini tidak ada peningkatan, malah di akhir tahun 2024 beberapa daerah mengalami penghentian layanan Teman Bus seperti di Jogja, Makassar, Palembang dan Surabaya. Pemangkasan anggaran yang tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD Tahun Anggaran 2025. Memunculkan kekhawatiran akan keberlangsungan dan penyediaan pelayanan transportasi umum di Indonesia.

Apalagi di Indonesia, transportasi umum seakan menjadi prioritas ke sekian untuk didahulukan. Penyediaan dan pengembangannya pun dianggap sebagai subsidi yang sia-sia. Isu transportasi umum selain mengalami penurunan kualitas juga mengalami degradasi fungsi dan pemaknaan. Terlihat dari bagaimana para pejabat di sejumlah daerah ataupun pusat, merespons kondisi transportasi umum di daerahnya.

Dalam hal ini, para pemangku kebijakan berpikir adanya transportasi umum harusnya dapat menghasilkan keuntungan yang besar secara material. Artinya orientasi perencanaan hingga pembangunannya bertumpu keuntungan bisnis semata, alih-alih memprioritaskan hak dasar dan pelayanan umum.

Ketiadaan Fasilitas yang Layak

Hasil riset penelitian dari Universitas Standford yang diterbitkan di jurnal Nature beberapa tahun yang lalu, sempat menjadi perbincangan hangat bagi sebagian besar masyarakat kita. Karena dalam hasil riset tersebut, menunjukkan orang Indonesia termasuk negara yang paling malas jalan kaki. Indonesia menempati posisi terakhir dengan hanya 3.513 langkah per hari saja. Dibanding negara-negara lain yang rata-rata hingga 4.961 langkah per hari .

Sesungguhnya hal tersebut adalah sebuah prestasi sekaligus ironi. Karena kita tahu bahwa sebagian daerah-daerah di Indonesia selalu mengusung kota yang humanis dan mengutamakan warganya. Tetapi kenyataannya, urusan berjalan kaki masih sangat sulit dilakukan oleh masyarakat pada umumnya.

Ketiadaan fasilitas pejalan kaki seperti trotoar, penyeberangan orang hingga sarana penunjang bagi kelompok rentan (difabel, lansia dan anak-anak) sangat tidak memadai. Sekalipun ada, kondisinya tidak ramah bagi pejalan kaki untuk mengaksesnya. Rahasia umum jika kita sering menemui trotoar yang putus di ujung jalan, berlubang dan jadi tempat parkir motor bahkan pos polisi.

Kondisi tidak aman juga menjadi momok berbahaya bagi pejalan kaki, khususnya para perempuan. Pelecehan seksual dan tindak kriminal mengintai setiap langkah di trotoar. Minimnya penerangan, tidak adanya CCTV ataupun desain jalan yang kurang aktif turut menjadi faktor penting terjadinya kejahatan.

Pada akhirnya stigma yang terjadi pada pejalan kaki di Indonesia, merupakan proses panjang dan bentuk kegagalan pemerintah dalam mengakomodir hak serta kebutuhan dasar warganya. Padahal mobilitas rendah emisi seperti berjalan kaki, memiliki banyak sekali manfaat bagi kesehatan, sosial dan ekonomi suatu negara. Namun sekali lagi, pejalan kaki di Indonesia masih menjadi warga negara kelas dua, terpinggirkan.

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain tentang isu kota

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//