Pejalan Kaki Terancam Celaka Menyeberang di Jalur Cepat Jalan Sukarno Hatta
Beberapa mahasiswa pengguna jalan mengaku takut jika menyeberang Jalan Sukarno Hatta. Jembatan penyeberangan orang (JPO) tidak membantu.
Penulis Repi M Rizki31 Januari 2024
BandungBergerak.id – Betapa sulitnya menyeberang Jalan Soekarno Hatta, Bandung. Meskipun sudah ada zebra cross tetap saja kendaraan melaju kencang, baik dari arah Cibiru (timur) maupun sebaliknya (barat). Banyak warga yang mengeluhkan kondisi tak ramah pejalan kaki ini. Keluhan serupa muncul dari mahasiswi yang kuliah di kampus 2 Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati (UIN SGD) Bandung.
“Karena emang susah saat nyeberang. Waktu itu pernah melihat mahasiswi UIN juga yang hampir tertabrak. Saat kita mau nyeberang, tiba-tiba ada sepeda motor melaju dengan kecepatan tinggi, jadi ngerem ngedadak dan jatuh,” cerita Fadhilatunnisa Hurul Aini (20 tahun), mahasiswi dari fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN SGD Bandung, 27 Januari 2024.
Setelah kejadian itu perepuan yang akrab disapa Nisa merasa trauma saat akan menyeberang jalan. Di jalan keamanannya terancam. Padahal ia dan temannya sudah berjalan menyusuri garis zebra cross, tetap saja kendaraan yang melewat melaju cepat.
Nisa bertempat tinggal di Lembang, Kabupaten Bandung Barat. Ketika kuliah di UIN SGD Bandung, ia memutuskan untuk ngekos di daerah Manisi, Cibiru. Kini ia duduk di semester 6.
Nisa kuliah setiap hari di kampus 2 UIN Bandung di Jalan Sukarno Hatta. Ia selalu berangkat kuliah menggunakan angkutan umum (Angkot) atau bareng dengan rekan kuliahnya mengendarai motor. Jika sedang menggunakan angkot, ia akan lebih sering berjalan kaki atau menyeberang jalan. Di saat menyeberang jalan itulah ia kerap menghadapi kesulitan.
“Saya udah dua tahun lebih kuliah di kampus 2 UIN, dan kebanyakan naik angkot. Kadang saya merasa kesulitan saat hendak menyeberang jalan,” ungkap Nisa saat ditemui di daerah UIN kampus 1.
Memang, penyeberangan untuk mahasiswa biasanya mendapatkan bantuan dari satpam kampus. Masalahnya, kalau pas lagi kebetulan satpam sibuk, Nisa dan teman-temannya harus menunggu lama di jalan mencari situasi yang kira-kira aman untuk diseberangi.
Terkadang jika keadaan sedang ramai kendaraan dan tidak ada satpam yang membantu nyeberang, Nisa terpaksa memberanikan diri menyeberang atau menunggu penyeberang lain. Bahkan jika semua itu tidak ada, suatu kali Nisa pernah meminta bantuan supir angkutan umum untuk menyeberangkannya.
Baca Juga: Jembatan Penyeberangan Orang di Bandung, untuk Pejalan Kaki atau Sampah Visual?
Sudahkah Keadilan Berpihak kepada Warga Dago Elos?
Skema Pembayaran UKT ITB dengan Pinjol semakin Memperparah Kondisi Ekonomi Keluarga Mahasiswa
JPO, untuk Keselamatan Pejalan Kaki atau Iklan?
Dampak tidak adanya jembatan penyeberangan orang dirasakan juga oleh Chintiya Adi Kusuma, mahasiswi semester akhir fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN SGD Bandung yang saat ini tinggal menunggu waktu wisuda. Ia berdomisili di Garut dan ngekos di daerah Manisi, Cibiru.
Chintiya sudah empat tahun merasakan keresahan yang dialami oleh mahasiswa-mahasiswa lain yang kesulitan saat menyeberang. Sudah sejak lama keresahan itu disampaikan oleh masyarakat khususnya mahasiswa kampus 2 UIN Bandung.
“Selama berangkat kuliah biasanya aku bawa motor pribadi, tapi kadang naik angkutan umum juga, kalau pas berangkatnya aman aja sih karena searah. Tapi kalau mau pulang harus nyeberang dulu dan itu pada kencang bawa kendaraannya,” ujar Chintiya.
Chintiya mengakui dirinya termasuk orang yang tidak berani menyeberang sendiri, ditambah dengan kendaraan yang melaju kencang di Jalan Soekarno Hatta semakin membuat ia tidak berani menyeberang.
“Bahkan kalau semisal ga ada satpam atau orang yang nyeberangin di daeah kampus 2, aku mah selalu pergi ke daerah belakang kampus 2, atau daerah Universitas Terbuka karena biasanya di sana ada bapak-bapak yang ngatur keluar masuk kendaraan (Pak Ogah) yang bisa bantu aku buat nyeberang,” ungkap Chintiya.
Chintiya berharap ada alternatif jalan lain seperti jembatan penyebrangan orang di daerah kampusnya untuk memudahkan dan menjaga keselamatan masyarakat yang hendak menyeberang. Ia juga berpesan kepada seluruh masyarakat yang hendak menyeberang di Jalan Sukarno Hatta diharap untuk lebih hati-hati, lebih waspada, dan alangkah lebih baiknya untuk lebih sabar menunggu situasi aman dan nyaman sebelum memutuskan menyeberang jalan.
Kepada para pengemudi kendaraan ia berharap untuk lebih hati-hati dan memperlambat kecepatan saat melalui daerah ramai penduduk. Menurutnya pembangunan jembatan penyeberangan orang juga perlu dibangun atau petugas khusus yang untuk membantu masyarakat saat akan menyeberang.
Jalan sesibuk dan sebesar Jalan Sukarno Hatta hanya memiliki satu unit JPO. Itu pun tidak layak. Menyikapi hal itu ketua DPRD Kota Bandung Tedy Rusmawan menilai kondisi JPO yang di Jalan Sukarno Hatta cukup berbahaya bagi masyarakat, terutama lansia. Kondisi kemiringan anak tangga yang curam dan licin saat diguyur hujan.
“Kami mendorong agar di tahun depan Dinas Perhubungan (DISHUB) bisa segera merencanakan untuk membuat desain baru, terutama terkait tangga yang sangat curam,” ucap Tedy, dikutip dari laman DPRD Kota Bandung.
Menurut Tedy, JPO di Jalan Sukarno Hatta perlu diperbaiki, mulai dari sudut kemiringan dan ketinggiannya. “Mudah-mudah perbaikan ini bisa segera dilakukan, demi keamanan para penyeberang di kawasan Soekarno Hatta ini. Bahkan untuk desain kontruksinya, Dishub bisa mengadopsi kontruksi JPO sejenis ini di daerah lain. Semoga hal ini menjadi perhatian kita semua,” katanya.
BandungBergerak.id pernah menurunkan liputan mengenai JPO. Masalah yang mencuat, sering kali JPO yang dibangun menyalahi fungsinya. Fasilitas yang tadinya untuk pejalan kaki justru dipakai untuk pemasangan iklan atau reklame. Fungsi JPO tidak banyak dipakai karena desainnya yang curam dan tidak ramah pejalan kaki, khususnya lansia atau teman difabel.
Studi kasus tentang jembatan penyeberangan orang di Bandung pernah dilakukan Sri Sularti dan Fauzia Mulyawati dari Fakultas Teknik Universitas Langlangbuana, Bandung, terhadap JPO di Jalan P.H.H. Mustopha dan di Jalan Merdeka. Hasilnya, perencanaan pembangunan kedua JPO tersebut kurang matang.
“Dilihat dari persyaratan jalan masih ada kekurangan fasilitas pejalan kaki dan kelengkapan jalan (street furniture). Akses ke JPO kurang terlihat dengan jelas, sempit dan tertutup kaki lima dan akses tidak lewat trotoar,” demikian salah satu temuan studi kasus ini.
Posisi tangga berada di atas sungai yang memotong jalan PHH. Mustopha sangat berbahaya apabila ada yang terperosok. Tipe tangga lurus tanpa bordes, naik tangga menjadi capai. “Idealnya ketinggian tangga yang sudah melebihi 2.00 meter harus ada tempat pemberhentian sementara atau bordes. Dilihat dari aspek perkotaan dan kriteria rancangan kurang memenuhi persyaratan, khususnya untuk lokasi tangga tidak memenuhi persyaratan, lahan untuk JPO kurang luas,” lanjut peneliti.
*Kawan-kawan dapat membaca lebih lanjut tulisan Repi M Rizki atau artikel lain tentang Cagar Budaya