Siapa Peduli dengan Nasib Riset di Indonesia?
Ekosistem riset di Indonesia membutuhkan banyak sekali perbaikan, mulai dari budaya riset hingga kualitas penelitian.

Muhammad Andi Firmansyah
Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Padjadjaran (Unpad)
4 Maret 2025
BandungBergerak.id – Penelitian ilmiah menuntut tidak hanya dedikasi tetapi juga biaya yang besar. Mirisnya, ketika negara-negara lain berlomba meningkatkan investasi penelitian mereka, dana riset di Indonesia justru terus mengecil dalam beberapa tahun terakhir dan terancam dipangkas lagi akibat kebijakan “efisiensi” anggaran baru-baru ini.
Dalam 100 hari pertama masa jabatannya, Presiden Prabowo mengeluarkan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 2025 yang mengamanatkan pemotongan anggaran kementerian dan lembaga untuk menghemat lebih dari Rp 306 triliun. Meskipun media-media arus utama membingkai langkah ini sebagai bentuk penghematan, apa yang sebenarnya terjadi hanyalah realokasi anggaran.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menegaskan bahwa total pengeluaran pemerintah pada tahun 2025 tidak berubah, hanya saja alokasinya akan disesuaikan dengan agenda pemerintahan baru. Presiden Prabowo juga telah berulang kali menekankan bahwa hasil dari “efisiensi” ini akan digunakan untuk membiayai program-program prioritas –lebih tepatnya, janji-janji kampanyenya– seperti program makan bergizi gratis (MBG).
Satu hal yang pasti: riset tidak termasuk di dalamnya.
Hal itu dapat dilihat dari besarnya pemangkasan anggaran Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi (Kemendiktisaintek) sebanyak Rp 22,5 triliun dari total pagu anggaran 2025 sebesar Rp 57,6 triliun. Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) juga kehilangan Rp 1,429 triliun (24,46%), yang semakin menyusutkan total pagu anggaran yang sudah terbatas sebesar Rp 5,842 triliun.
Karena pendanaan riset pemerintah sudah terkonsentrasi di BRIN, kecilnya anggaran mereka patut disorot. Pada tahun 2023, total anggaran BRIN hanya sebesar Rp 6,38 triliun. Dari jumlah yang kecil ini, 64% digunakan untuk biaya operasional seperti gaji dan langganan jurnal, menyisakan sekitar Rp 2,2 triliun untuk dana riset. Jika biaya operasional mereka tetap berada di angka 60%, maka anggaran riset pada tahun ini setelah pemangkasan akan semakin menyusut menjadi sekitar Rp 1,7 triliun.
Jangankan 1% dari total Produk Domestik Bruto (PBD), seperti yang dianjurkan oleh UNESCO, rasio 0,01% saja tidak sampai.
Kepala BRIN Laksana Tri Handoko meyakinkan publik bahwa pemotongan anggaran tidak akan mengganggu kegiatan riset. Namun, pembelaan ini mengabaikan masalah yang sebenarnya: bahkan tanpa pemotongan pun, dana riset Indonesia sudah sangat rendah. Pemerintah tidak pernah memprioritaskan penelitian dan pengembangan.
Laporan R&D World tahun 2022 menempatkan Indonesia di peringkat ke-34 dari 40 negara dalam hal pendanaan riset. Jika diukur menurut rasio PDB, peringkat Indonesia lebih buruk lagi dengan berada di urutan terakhir (0,24%) –sangat kontras dengan negara-negara maju yang bersedia menggelontorkan dana riset 2-4% dari total PDB mereka. Bahkan di kawasan Asia Tenggara, Indonesia berada di belakang Malaysia, Vietnam, Thailand, Filipina, apalagi Singapura yang rutin menempati peringkat tinggi dunia dalam berbagai indikator riset dan inovasi.
Beberapa pihak meminta agar kecilnya dana riset ini, termasuk risiko pemotongan akibat kebijakan “efisiensi” anggaran, dilihat sebagai kesempatan untuk memanfaatkan dana riset dengan sebaik mungkin guna kemajuan ilmu pengetahuan di Indonesia. Seolah semakin kecil anggarannya, semakin kecil pula celah untuk memboroskan dan menyalahgunakannya.
Konsepsi itu salah kaprah.
Logika yang sama dengan “anggaran pas-pasan tidak mungkin dikorupsi” sangatlah berbahaya. Hal ini didasari oleh asumsi yang salah bahwa pemborosan hanya terjadi pada dana yang besar. Kenyataannya, korupsi dan inefisiensi bukanlah efek samping dari dana yang besar, melainkan konsekuensi dari pengawasan yang buruk dan salah urus struktural.
Ketika anggaran kecil (apalagi dipotong), tekanan untuk melakukan lebih banyak hal dengan lebih sedikit dana justru dapat memperbesar masalah tersebut. Sumber daya yang langka mendorong banyak peneliti untuk mengambil jalan pintas, misalnya memanipulasi data atau melakukan plagiarisme, demi mendapatkan publikasi dan portofolio yang baik dengan biaya sekecil mungkin.
Baca Juga: Menguji Arah Kebijakan Dalam dan Luar Negeri dari Kandidat Presiden dan Wakil Presiden 2024
Neoliberalisme dan Epidemi Kesepian
Ingar-bingar Politik dan Kepanikan Presiden Jokowi di Ujung Kekuasaan
Saatnya Beralih ke Pendanaan Swasta?
Walaupun telah menjamin bahwa pemotongan anggaran BRIN tidak akan menghambat agenda riset strategis, Handoko tetap mendorong para peneliti untuk mencari sumber pendanaan alternatif di luar pemerintah. “Jadi, justru [pemotongan anggaran] ini menjadi kesempatan untuk mengakselerasi hilirisasi riset dilakukan dari awal langsung atas permintaan industrinya,” ujarnya.
Pernyataan itu ada benarnya, tetapi untuk saat ini sangat problematis.
Pertama, lebih dari 80% pendanaan untuk penelitian dan pengembangan (litbang) di Indonesia masih bergantung pada pemerintah. Proporsi ini berbanding terbalik dengan negara-negara maju atau sekadar negara-negara tetangga, di mana pendanaan swasta sudah mencakup lebih dari setengah pengeluaran riset nasional. Bahkan di Thailand dan Vietnam, hampir 80% dana riset mereka disokong oleh investor swasta.
Demikianlah, Indonesia belum siap untuk beralih sepenuhnya ke pendanaan swasta dalam waktu dekat. Terlebih, menarik minat swasta untuk berinvestasi pada ilmu pengetahuan bukanlah perkara mudah. Para peneliti harus mampu meyakinkan mereka bahwa modal yang mereka suntikkan akan digunakan sebaik mungkin dan, di atas segalanya, menghasilkan timbal balik finansial yang signifikan.
Motif ekonomi seperti itu merupakan masalah berikutnya: bahkan jika pendanaan swasta diperoleh, ada risiko serius bahwa kualitas dan integritas penelitian akan terganggu. Dalam sistem pendanaan swasta, kepentingan investor turut menentukan agenda atau pertanyaan penelitian. Meskipun hal itu tidak harus mengorbankan tingkat keilmiahan sebuah penelitian, sejarah menunjukkan kisah-kisah sebaliknya.
Para investor swasta sering kali mendorong peneliti untuk mempelajari pertanyaan-pertanyaan yang bertujuan untuk memaksimalkan manfaat dan meminimalkan bahaya produk mereka, mengalihkan perhatian publik dari penelitian independen yang dinilai merugikan mereka, mengurangi regulasi yang menghambat produk mereka, dan mendukung posisi hukum dan kebijakan mereka.
Studi mengenai tembakau merupakan contoh paling populer. Pada tahun 1981, sebuah penelitian berpengaruh di Jepang menunjukkan adanya hubungan antara perokok pasif dan kanker paru-paru. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa istri dari perokok berat memiliki risiko dua kali lipat terkena kanker paru-paru dibandingkan istri yang bukan perokok –dan risiko ini terkait dengan dosis.
Tidak butuh waktu lama bagi perusahaan tembakau untuk mendanai banyak peneliti akademis guna membantah temuan tersebut dengan penelitian “ilmiah” tandingan. Para petinggi perusahaan terlibat dalam setiap langkah penelitian yang didanai: menyusun pertanyaan penelitian, merancang metode penelitian, mengumpulkan dan menganalisis data, dan menulis publikasi akhir. Mirisnya, keterlibatan ini baru terungkap beberapa dekade kemudian.
Publikasi tersebut menyimpulkan bahwa asap rokok tidak berbahaya. Tidak ada bukti langsung yang mengindikasikan bahwa paparan asap rokok pasif meningkatkan risiko kanker paru-paru. Industri tembakau secara masif mengutip studi “ilmiah” ini dalam dokumen pemerintah dan peraturan-peraturan lainnya untuk menyangkal penelitian independen sebelumnya tentang bahaya perokok pasif.
Masalah berikutnya atas peralihan dari pendanaan pemerintah ke pendanaan swasta adalah memperburuk krisis pendanaan ilmu sosial dan humaniora. Kedua bidang ini sudah sering dituduh sebagai disiplin yang tidak ilmiah, berbiaya murah atau bahkan gratis, kurang berharga secara praktis, dan di atas segalanya, tidak profitable. Inilah mengapa rata-rata investor swasta enggan berinvestasi pada penelitian-penelitian sosial.
Orang-orang dalam industri gula tidak akan ragu mendanai riset yang membuktikan hubungan kecil antara gula dan penyakit jantung, apalagi mengalihkan kesalahan dari gula ke lemak sebagai penyebab epidemi penyakit jantung. Masalahnya, apakah mereka bersedia membiayai penelitian mengenai hak asasi manusia, atau tentang regulasi yang membatasi kadar gula di dalam setiap produk –studi-studi yang menjadi domain ilmu sosial?
Kecilnya (kalaupun ada) ketersediaan pendanaan swasta bagi para peneliti di bidang ilmu sosial dan humaniora sangat menghancurkan dengan sendirinya, tetapi kenyataan bahwa hal itu terjadi tanpa adanya pendanaan pemerintah yang memadai bahkan lebih mencemaskan. Banyak ilmuwan sosial dan humanis akan berjuang tanpa nasib yang jelas untuk memajukan bidang mereka dalam lanskap seperti sekarang.
Pada saat yang sama, universitas sendiri masih akan meremehkan para ilmuwan sosial dan humanis karena ketidakmampuan mereka untuk memperoleh pendanaan eksternal. Ungkapan bahwa universitas bakal memprioritaskan pendanaan ilmu sosial dan humaniora sebagai kompensasi atas besarnya pendanaan eksternal terhadap bidang sains dan teknologi (saintek) hanyalah mitos.
Faktanya, universitas (nyaris selalu) menghabiskan jauh lebih banyak dana kelembagaan mereka untuk mendukung penelitian yang sudah memiliki pendanaan eksternal. Dengan kata lain, alih-alih memprioritaskannya, universitas justru lebih lanjut mengabaikan bidang ilmu sosial dan humaniora ketika pemerintah mengabaikan mereka. Kebanyakan universitas menghabiskan sebagian besar anggaran penelitian internal mereka untuk menambah dana eksternal yang telah diterima oleh saintek.
Pengamatan Christopher John Newfield tampaknya benar: “Krisis (ilmu sosial dan) humaniora harus dilihat sebagai krisis pendanaan… (Mereka) tidak mati karena minat atau kebutuhan publik yang menurun. Studi ini diam-diam dibekap oleh kekurangan dana.”
Urgensi Meningkatkan Alokasi Dana Riset
Tidak dapat dipungkiri bahwa ekosistem riset di Indonesia membutuhkan banyak sekali perbaikan, mulai dari budaya riset hingga kualitas penelitian. Wakil Menteri Diktisaintek Stella Christie, misalnya, mencatat bahwa jurnal ilmiah dari Indonesia yang terindeks Q1 Scopus –tingkat tertinggi dalam publikasi internasional– hanya berjumlah 11 dari 22.000 jurnal.
Rendahnya kualitas dan produktivitas riset Indonesia juga terindikasi dalam peringkat publikasi riset internasional. Berdasarkan pemeringkatan Scimago Journal dalam kurun 1996-2023, Indonesia menempati peringkat ke-38 di dunia. Sebagai perbandingan, Malaysia berada di posisi ke-26. Sementara itu, meskipun meningkat, Indonesia hanya berada di posisi ke-54 dalam Indeks Inovasi Global (GII) 2024, kalah dari Malaysia (33), Thailand (41), Vietnam (44), dan Filipina (53).
Terlepas dari itu, perbaikan ekosistem riset kita membutuhkan investasi finansial yang signifikan. Dana riset memang bukan segalanya, tetapi segalanya bukan apa-apa tanpa dana riset yang memadai. Masa depan ilmu pengetahuan di Indonesia dapat menjadi lebih baik, dan masa depan ini harus didanai. Tidak kalah pentingnya, jumlah dana ini harus signifikan dan terlindung dari gejolak politik dan administratif.
* Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain dari Muhammad Andi Firmansyah, dan artikel lainnya tentang politik.