• Narasi
  • Memahami Pramoedya Ananta Toer

Memahami Pramoedya Ananta Toer

Suara Pram lewat buku-buku yang ditulisnya adalah suara keberanian. Gagasan-gagasan beraninya akan terus sambung menyambung melewati batas ruang dan waktu.

Aldy Istanzia Wiguna

Aktivis Pemuda Persatuan Islam. Memiliki minat pada kajian sejarah, biografi, media, budaya, serta sastra.

Buku Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer koleksi Perpustakaan Bunga di Tembok, Bandung. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)

4 Maret 2025


BandungBergerak.id – “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” (Pramoedya Ananta Toer)

Pramoedya Ananta Toer atau karib kita tulis namanya dengan Pram merupakan sosok tak biasa. Seorang sastrawan besar yang lahir dan tumbuh di masa-masa tak mudah. Masa di mana tirani lebih banyak bergerak untuk membungkam suara demi suara yang dilantangkan lewat ragam buah penanya. Dari Tetralogi Buru nan melegenda sampai Arus Balik yang masih riuh diperbincangkan. Namanya abadi dalam persada sejarah dan sastra republik ini. Setara dengan banyak tokoh luar biasa lainnya semisal Hamka, tokoh besar yang menjadi kawan sekaligus seterunya.

Membicarakan sosoknya tentu bukanlah tanpa alasan. Dari awal mula riwayat itu hadir di 6 Februari 1925 sampai 30 April 2006, kisah tentangnya adalah kisah yang tak pernah selesai. Ia tumbuh dan hidup di sanubari banyak generasi yang kelak kita mengenalnya dengan istilah pramis, sebutan bagi orang-orang yang mengagumi dan mengikuti jejak besarnya.

Baginya, menulis adalah melawan dan keberanian yang tak boleh putus. Ianya adalah jawaban ketika ketidakadilan terus menerus dipertontonkan, keserakahan hingga alur sejarah yang berbelok dan menurut pada kehendak kuasa. Lewat Bumi Manusia yang melegenda, ia mengkritik kolonialisme dan budaya Jawa tradisional. Lewat Panggil Saja Aku Kartini, ia memperlihatkan bagaimana dahsyatnya suara perempuan yang tak hanya sekadar sambung menyambung kata lewat surat-surat belaka tapi juga menjadi asas sederhana tentang bagaimana mendidik bumiputra di masa hadapan.

Ia dengan segala kisah dan getirnya, manis dan racunnya adalah ia yang telah selesai dengan semua hidupnya. Jeruji besi dari masa penjajahan Belanda, Orde Lama sampai Orde Baru adalah bukti keteguhan dirinya dalam memegang prinsip dan pantang untuk mundur ke belakang.

Baginya kebenaran adalah sesuatu yang harus diperjuangkan meski mati atau di bui balasannya. Ia paham betul, bagaimana suara-suara mereka yang tak didengar harus didengar banyak orang seperti yang kita lihat lewat buku legendarisnya Perawan dalam Cengkeraman Militer yang bersaksi tentang bagaimana perempuan-perempuan muda republik dijebak dengan rayuan manis penjajah untuk kemudian menjadi pemuas hawa nafsu tentara Jepang di barak-barak militer. Suara mereka mungkin tidak akan pernah selantang hari ini bahkan sampai ke negeri Jepang jika saja Pram tidak menuliskan kisah-kisah perempuan yang dikenal dengan jugun ianfu sewaktu ia diinternir ke Pulau Buru, tempat lahirnya tetralogi Buru yang terkenal. Atau kisah tentang jalan legendaris Anyer-Panarukan yang terbukti menjadi salah satu bentuk penjajahan tidak manusiawi terhadap rakyat bumiputra sebagaimana ia rekam lewat buku Jalan Raya Pos, Jalan Deandels.

Baca Juga: Konferensi Asia Afrika dan Sukarno di Mata Pram
Tarian Larasati dalam Arus Revolusi di IFI Bandung, Sebuah Adaptasi dari Novel Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya, Lekra, dan Cinta yang Paripurna

Sang Pemberani

Sekali lagi, Pram adalah manusia pemberani. Meski di tahun-tahun setelah 60-an, karya-karyanya banyak dilarang pemerintah untuk dibaca banyak generasi muda sebab paham kiri yang dilekatkan padanya. Ia tetap saja bersuara tanpa ada yang bisa menghentikannya sampai kita mendengar bahwa salah satu penghargaan bergengsi di dunia yakni Nobel sempat menominasikan namanya untuk menerima penghargaan bergengsi tersebut dalam bidang sastra. Langkahnya tinggal sejengkal saja untuk menerima, sebelum akhirnya ia gagal menerima penghargaan bergengsi tersebut karena bisik dari pihak tertentu.

Suara Pram lewat buku-buku yang ditulisnya adalah suara keberanian. Ia seolah menjelma menjadi Minke, salah satu tokoh yang kemudian kita kenal di dunia nyata sebagai R. M. Tirto Adhi Soerjo, salah satu inisiator pers di republik ini. Sosok yang suara dan gagasannya menjadi bahan bakar Pram untuk terus menyerukan kebenaran meski hanya berteman sepi.

Seperti warna kaki laut yang menjadi warna favoritnya, ia akan tetap hadir sebagai manusia yang manusia meski Indonesia tidak hadir dalam Bumi Manusia-nya. Gagasan-gagasan beraninya akan terus sambung menyambung melewati batas ruang dan waktu. Seratus tahun silam, ia mungkin manusia biasa, namun hari ini kita mengenalnya sebagai manusia besar sebagaimana para peneliti luar dan dalam menyebutnya. Dan sembilan belas tahun silam, saat ia berpulang ke hadirat-Nya, kita menangisi sejenak kepergian manusia luar biasa ini sampai kemudian kita menyadari bahwa suara-suara keberanian itu akan tetap hadir meski ruh telah berpisah dari raga.

Dan kini, Pramoedya Ananta Toer hidup di kali kedua. Dalam usia panjang keabadian dan kekekalan karyanya di sanubari masyarakat Indonesia. Tabik!.

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain tentang Buku atau tentang Pramoedya Ananta Toer

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//