• Narasi
  • Pramoedya, Lekra, dan Cinta yang Paripurna

Pramoedya, Lekra, dan Cinta yang Paripurna

Karya Pramoedya Ananta Toer menunjukkan bahwa sastra tidak melulu tentang romansa dan cinta. Pram mengubah pena menjadi senjata dan menulis menjadi laku politik.

A Fadhil Aprilyandi Sultan

Seorang buruh yang sedang keranjingan politik, sejarah, dan sastra.

Dramatic roman novel Bumi Manusia oleh Zaskia Putri dalam Bukan Jumaahan ke-118 di Kedai Jante, Bandung. (Foto: Fauzan Rafles

3 Maret 2025


BandungBergerak.id – Bulan Februari ditandai oleh sebagian orang sebagai bulan kasih sayang. Pada bulan yang sama, tepatnya pada tanggal 6 Februari 1925, seorang pujangga terlahir di Blora. Sebagai seorang pujangga yang terlahir di bulan cinta, tidak terbayang betapa syahdunya alunan kata dan aksara yang akan menjadi buah tangan seorang Pramoedya. Namun, sepanjang kariernya dalam bersastra, sangat jarang kita temui karya cipta Pram yang mendayu-dayu. Meskipun demikian, gaya menulis Pram tidaklah hambar seperti laporan berita. Di sana tetap terdapat cinta. Bukan cinta dalam makna sempit seperti yang sering kali ditemui dalam karya sastra kekinian. Lebih daripada itu, di sana tertanam cinta yang abadi dan paripurna.

Dalam rangka memperingati kelahiran sang pujangga yang juga bertepatan dengan bulan cinta, tulisan ini akan mengulik bagaimana cinta mewujud dalam setiap goresan larik bait seorang Pramoedya. Dalam segala keterbatasannya, tulisan ini pertama-tama akan mengulas konteks sosial yang memengaruhi Pramoedya guna mengidentifikasi pengejawantahannya dalam salah satu teks monumental sang pujangga: Tetralogi Pulau Buru. Setelah sastra menjadi terang, maka cinta akan menyeruak dengan sendirinya.

Baca Juga: Konferensi Asia Afrika dan Sukarno di Mata PramTarian Larasati dalam Arus Revolusi di IFI Bandung, Sebuah Adaptasi dari Novel Pramoedya Ananta ToerMinke dan Warisan Ketidakadilan, Relevansi Bumi Manusia di Era Modern

Pramoedya dan Lekra

Pencarian dilabuhkan pada kehidupan sosial-politik era 1945-1965. Begitu riuh gelanggang politik di masa itu: bergerbong-gerbong dan bercorong-corong. Berbagai gerakan politik berlomba menggoreskan taringnya dalam risalah zaman. Meskipun menghendaki satu hal yang sama, yakni sebuah bangsa yang berdiri di atas kaki sendiri, gerbong-gerbong besar ini kerap saling bergesekan dan bersengketa dalam memperebutkan hegemoni.

Kegaduhan ini mengakibatkan pelembagaan politik merambat cepat ke dalam setiap sendi kehidupan bermasyarakat, termasuk pula di dalamnya kehidupan para seniman. Salah satu lembaga kesenian yang bergerak sebagai instrumen politik adalah Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra).

Sebagai sebuah organisasi kesenian, Lekra merupakan corong yang paling nyaring dalam perebutan hegemoni kebudayaan pada waktu itu. Bukan main, organisasi ini menjadi tubuh yang dilekati berbagai organ kebudayaan: Harian Rakjat (Jurnalistik), Lestra (Lembaga Sastra), Lesrupa (Lembaga Seni Rupa), dan masih banyak lagi. Di dalam salah satu organ naungan Lekra, yakni Lestra, tergabunglah seorang Pramoedya. Dengan demikian, penulis akan mengantar pembaca agar setidaknya memahami gaya berkesenian Lekra. Sebab sukar rasanya memahami alam pikiran seorang Pramoedya Ananta Toer tanpa terlebih dahulu mengarifi garis politik yang mengilhami karya-karyanya, khususnya sebagai salah satu sastrawan terkemuka Lekra.

Berdasarkan pembacaan atas beberapa literatur mukadimah terkait Lekra, penulis menggarisbawahi sebuah asas yang wajib diimplementasikan setiap seniman Lekra. Asas ini disebut sebagai asas 1-5-1: (1) Satu yang pertama berarti politik sebagai panglima. Maksudnya, setiap karya yang ditelurkan oleh sesiapa saja seniman Lekra haruslah sarat dengan tendensi politik. Lantas tendensi politik apa yang dimaksud? Hal tersebut dirincikan ke dalam lima (5) prinsip: (1) Meluas dan meninggi, yang berarti bahwa seluruh karya budayawan Lekra haruslah kaya referensi (meluas) dan unggul dalam kualitas (meninggi). (2) Tinggi mutu ideologi dan artistik, yang berarti bahwa karya cipta seniman Lekra harus menjadi media politis yang disertai dengan kesadaran ideologis. Di sisi lain, demi menyebarluaskan kesadaran ideologis melalui karya seni, seniman Lekra harus dibekali kecakapan artistik yang mumpuni. (3) Tradisi baik dan kekinian revolusioner. Tradisi baik yang dimaksud menyoroti aspek moral para pelaku seni berikut proses penciptaan karyanya. Menurut asas ini, setiap karya seni harus baik sejak dalam pikiran hingga dalam pengejawantahanya. Meskipun demikian, tradisi baik ini harus dibarengi dengan kesesuaian dengan perkembangan terkini karya seni revolusioner. Sederhananya, moralitas dan kreativitas revolusioner bukanlah sesuatu hal yang perlu dipertentangkan. (4) Kreativitas individual dan kearifan massa, yang berarti bahwa kecakapan seorang seniman Lekra tidak boleh dimaknai sebagai sesuatu hal yang terpisah dari kearifan sosial-masyarakat yang melingkupinya. Seorang seniman merupakan produk masyarakatnya. Oleh karena itu, karya ciptanya pun tidak boleh terlepas dari konteks masyarakat tempatnya berasal; dan yang terakhir sekaligus yang terpenting, yakni (5) Realisme sosial dan romantik revolusioner. Satu yang terakhir dari lima prinsip ini merupakan ciri yang harus melekat pada Lekra sebagai salah satu organ kesenian yang bercorak Marxis-Leninis. Realisme yang dimaksud adalah metode pembacaan realitas yang berdasarkan analisis Materialisme Dialektis dan Materialisme Historis (MDH). Dengan ketetapan yang demikian, setiap seniman Lekra diharapkan dapat merepresentasikan sebenar-benarnya kondisi sosial-masyarakat dalam setiap karya ciptanya. Kelima prinsip tersebut dilaksanakan dengan satu (1), dan hanya satu, metode kerja: Turun ke bawah (Turba). Dengan demikian, paripurna sudah koridor berkesenian Lekra: 1-5-1.

Pramoedya Ananta Toer merupakan seorang tokoh yang paling tegas menerapkan garis berkesenian Lekra dalam setiap buah tangannya. Semua karya yang lahir dari tangan dingin Pram merupakan pengejawantahan asas 1-5-1. Roman Tetralogi Buru: Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca merupakan contoh keseriusan Pram dalam menghidupkan asas berkesenian Lekra.

Tetralogi Buru, Pengejawantahan Sastra Ideologis

Tetralogi Buru adalah roman berseri garapan Pramoedya ketika beliau menjalankan masa hukumannya sebagai tahanan politik di Pulau Buru. Secara garis besar, seluruh seri dari tetralogi ini menceritakan periode perjuangan politik sebuah bangsa yang kelak kita namai Indonesia.

Diceritakan petualangan seorang protagonis bernama Minke menghadapi belenggu dua kutub besar. Di satu sisi, ia hidup dalam bangsa yang bercorak feodal, yang menuhankan penghambaan manusia atas manusia lain atas dasar darah dan garis keturunan. Di sisi lain, modernisme Eropa, yang awalnya dilihat oleh Minke sebagai juru selamat dari feodalisme, ternyata melakukan penindasan yang sama tapi dengan alat yang berbeda: Modal/Kapital.

Penyajian ironi pada dua sisi ini tidak akan membawa pembaca pada keputusasaan. Sastra Pram bukanlah karangan pesimistik para penyair posmodern. Tetralogi Buru menanamkan harapan melalui metode pengorganisiran politis-ideologis yang tersirat dalam setiap serinya. Bumi Manusia mewakili fase bangkitnya kesadaran kelas (class consciusness). Di dalam buku ini tergambar jelas konflik batin Minke yang harus memilih antara menjadi kelas priayi tulen atau mengikuti arus modernisme Eropa sebagai seorang sinyo. Seri lanjutannya, Anak Semua Bangsa, mewakili fase kedua, yakni Turba (Turun ke Bawah). Fase ini mengungkap antagonisme yang sesungguhnya. Bukanlah feodalisme ataupun modernisme yang menjadi duduk perkara seluruh persoalan di atas bumi-(nya) manusia. Setelah menceritakan perlawanan Trunodongso dan beberapa petani penggarap di Sidoarjo untuk mempertahankan tempat hidupnya, roman ini seolah menyadarkan pembacanya bahwa penguasa sesungguhnya adalah Modal. Antagonisme kelas sejati bukanlah antara priayi dan hamba; pribumi dan penjajah; maupun kulit putih dan berwarna. Jauh di balik itu semua, terdapat cengkeraman tak terlihat tangan-tangan Modal.

Dalam seri Jejak Langkah, berbekal kesadaran kelas yang diperolehnya dari hasil Turba, Minke melanjutkan pendidikan tinggi sebagai calon dokter sekaligus mulai mengorganisir diri ke dalam organisasi politik. “Didik rakyat dengan organisasi, dan didik penguasa dengan perlawanan.” Tulis Pram seolah-olah menekankan pentingnya sebuah organisasi politik dalam rangka menumbangkan dominasi Modal. Dan yang terakhir, Rumah Kaca, merupakan pengejewantahan akhir dari seluruh fase: Persemaian kesadaran ideologis dalam sebuah gerakan politik guna melawan kelas yang mendominasi.

Mematikan Cinta dalam Sastra

Sebagai seorang sastrawan terkemuka, karya-karya Pram menunjukkan bahwa sastra tidak melulu tentang romansa dan cinta. Karya cipta Pram menunjukkan sebuah karya yang tendensius. Pram mengubah pena menjadi senjata dan menulis menjadi laku politik. Gaya sastra yang demikian sudah sangat sukar dijumpai belakangan ini. Sastra kekinian selalu hadir dalam bentuk puja-puji dan “menye-menye” atas keagungan cinta, kesucian wanita, kemuliaan para raja dan pemimpin, dan seterusnya. Sastra semakin jauh dari realitas zaman. Sastra menjadi semacam media katarsis individual pelaku seni semata. Dengan demikian, watak seni sebagai media komunikasi emansipatif hilang bersama ngak ngik ngok para sastrawan. Tidak semua memang, tapi kebanyakan.

Tidaklah salah menggarami sastra dengan romansa dan asmara. Banyak sastra yang mengusung tema cinta, Siti Nurbaya misalnya. Bahkan Pramoedya pun membumbui Bumi Manusia dengan kisah cinta antara Annelies dan Minke. Meskipun demikian, tema cinta tersebut hanya menjadi pemanis cerita, bukan sebagai tujuan sastra. Siti Nurbaya mengubah cinta menjadi media perlawanan atas kultur kawin-paksa ala feodalisme. Bumi Manusia melakukan hal serupa untuk menggugat kekuasaan kolonialisme yang dibayangi oleh cengkeraman kapitalisme. Syahdan, cinta tidak seharusnya terlalu diagungkan dan dijadikan tujuan menulis sastra. Kegagalan dalam cinta itu jangan berhenti pada tataran fenomena semata, sebagaimana kegagalan Minke untuk hidup bahagia bersama Annelies bukan sekedar persoalan hati dan perasaan belaka. Telaah dan telisiklah akar persoalannya secara dialektis dan historis. Di sana akan ditemukan persoalan yang sifatnya lebih fundamental dan struktural.

Dengan demikian, Pramoedya telah memadamkan cinta dalam sastra. Cinta yang mana? Cinta yang hanya menyangkut persoalan laki-laki, perempuan, isi hati dan celana dalam mereka, kemudian menggantinya dengan cinta yang lebih nyata dan paripurna: Cinta yang membebaskan.

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain tentang Buku atau tentang Pramoedya Ananta Toer

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//