Menelusuri Arah Totalitarianisme Rezim Jokowi
Konsolidasi kekuasaan Jokowi membawa Indonesia masuk ke dalam sistem totalitarian baru di mana pemerintah berupaya mengontrol penuh masyarakat dengan berbagai cara.

Ardhyansyah
Mahasiswa STHI Jentera
6 Maret 2025
BandungBergerak.id – Indonesia merupakan salah satu negara yang menerapkan sistem presidensial, di mana kekuasaan eksekutif dipimpin oleh seorang presiden sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Untuk membatasi sebuah kekuasaan, Indonesia sendiri juga menerapkan sebuah konsep pembagian kekuasaan yang digagas oleh John Locke, di mana kekuatan dalam suatu negara dibagi menjadi tiga kekuasaan, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Walaupun terdapat tujuan untuk membagi kekuasaan, pada hakikatnya sistem presidensial memiliki masalah yang sulit dihilangkan. Salah satunya adalah godaan besar untuk mengarahkan negara kepada sistem otoriter hingga kepada totaliter.
Baca Juga: Ingar-bingar Politik dan Kepanikan Presiden Jokowi di Ujung Kekuasaan
Jokowi, Mitos Politik, dan Kematian Nalar Publik
Mengupas Cawe-Cawe Politik Jokowi dan Dampaknya Terhadap Kemunduran Demokrasi
Tentang Totalitarianisme
Totalitarianisme memiliki sifat alamiah yang mana rezim totaliter selalu menuntut kekuasaan yang tidak terbatas, absolut, atau kontrol total. Kekuasaan tersebut hanya bisa terjadi jika kekuasaan dapat mendominasi seluruh manusia, tanpa terkecuali, dalam segala aspek kehidupan mereka.
Dalam sebuah pemerintahan totaliter, pemerintah tidak boleh bergantung kepada norma-norma yang dapat menghalangi tindakan yang dibutuhkan dalam hubungannya dengan warga negara. Masyarakat dalam rezim totalitarian dipecah-pecah ke dalam beberapa unit kecil menjadi massa yang tidak berbentuk dan dipolakan oleh pemerintahan totaliter yang mengeksploitasi hukum untuk sebagai sarana rekayasa sosial untuk kepentingan kekuasaan. Pemerintah tidak membedakan antara ruang publik dan ruang privat dalam segala urusan kehidupan setiap individu warganya.
Istilah Totalitarian dimaksudkan bahwa suatu negara yang ideal harus bersifat totalitarian, yaitu sebagai suatu totalitas yang pemerintahannya didasarkan atas prinsip “semua ada di dalam negara, tidak ada yang di luar negara, dan tidak ada yang melawan negara” (everything within the state, none outside the state, and none against the state).
Hannah Arendt dalam bukunya yang berjudul The Origin of Totalitarianism menjelaskan bahwa totalitarianisme merupakan sebuah konsep yang baru dan berbeda dari bentuk-bentuk pemerintahan yang menindas, seperti despotisme, tirani, dan kediktatoran. Menurut Hannah Arendt, rezim totaliter selalu mengembangkan atau membentuk lembaga-lembaga politik yang benar-benar baru dan menghancurkan semua tradisi sosial, hukum, dan politik yang sudah ada di negaranya. Mula konsep totalitarian berawal dari istilah yang sering dipakai oleh pemimpin fasis Benito Mussolini untuk menyebut ideologi fasisme yang ia terapkan selama menjabat sebagai Perdana Menteri Italia.
Istilah Totalitarian dimaksudkan bahwa suatu negara yang ideal harus bersifat totalitarian, yaitu sebagai suatu totalitas yang pemerintahannya didasarkan atas prinsip “semua ada di dalam negara, tidak ada yang di luar negara, dan tidak ada yang melawan negara” (everything within the state, none outside the state, and none against the state) (Jimly Asshiddiqie, 2022; Oligarki dan Totalitarianisme Baru).
Dalam sebuah pemerintahan totaliter, pemerintah tidak boleh bergantung kepada norma-norma yang dapat menghalangi tindakan yang dibutuhkan dalam hubungannya dengan warga negara. Masyarakat dalam rezim totalitarian dipecah-pecah kedalam beberapa unit kecil menjadi massa yang tidak berbentuk dan dipolakan oleh pemerintahan totaliter yang mengeksploitasi hukum untuk sebagai sarana rekayasa sosial untuk kepentingan kekuasaan. Pemerintah tidak membedakan antara ruang publik dan ruang privat dalam segala urusan kehidupan setiap individu warganya (Jimly Asshiddiqie, 2022; Oligarki dan Totalitarianisme Baru: hal. 40-41).
Dalam Kamus Merriam-Webster, Totalitarianisme didefinisikan sebagai centralized control by an autocratic authority, atau the political concept that the citizen should be totally subject to an absolute state authority, yaitu suatu konsep politik dimana setiap warga negara diharuskan tunduk secara total kepada otoritas penguasa yang absolut (Totalitarianism Definition & Meaning, 2024; Merriam-Webster).
Konsep totalitarian ini bertolak belakang dari konsep demokrasi; rakyat yang memegang kendali negara, baik secara langsung, maupun tidak langsung melalui dewan perwakilan rakyat yang dipilihnya. Dalam konsep demokrasi, Lord Acton menjelaskan bahwa power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely, yaitu terdapat sebuah kecenderungan bahwa kekuasaan absolut akan berperilaku korup. Maka, pemisahan kekuasaan menjadi sebuah keharusan bagi negara demokrasi.
Totalitarianisme memiliki sifat alamiah yang mana rezim totaliter selalu menuntut kekuasaan yang tidak terbatas, absolut, atau kontrol total. Kekuasaan tersebut hanya bisa terjadi jika kekuasaan dapat mendominasi seluruh manusia, tanpa terkecuali, dalam segala aspek kehidupan mereka (Hannah Arendt 1962; The Origin of Totalitarianism: hal. 456).
Ciri-ciri Transisi ke Arah Totalitarianisme
Transisi sebuah negara ke arah totalitarianisme terjadi jika telah memenuhi beberapa syarat atau ciri.
Pertama, kekuasaan eksekutif dalam hal ini presiden memiliki kekuasaan yang sangat besar tanpa adanya pengawasan yang efektif dari lembaga-lembaga lain seperti DPR. Presiden mengupayakan untuk mengkonsolidasikan kekuatan politik untuk mendukung program kerjanya dengan dukungan mayoritas dalam DPR yang dapat membuka ruang bagi presiden untuk bertindak sewenang-wenang. Dalam banyak kasus yang terjadi, presiden menggunakan kekuasaan eksekutif dan dukungan mayoritas di parlemen untuk melakukan amandemen, perpanjangan masa jabatan, memperkuat kontrol negara atas publik, dan lain sebagainya. Ketika kekuasaan eksekutif tidak lagi bisa diimbangi oleh lembaga yang ada, hal tersebut dapat mengarahkan negara kepada pemerintahan yang totaliter.
Kedua, pemerintah berupaya mengendalikan arus media informasi dalam negaranya. Pengendalian sangatlah penting untuk mengendalikan narasi publik, menarik simpati atau dukungan masyarakat, dan menyebarkan propaganda untuk mendukung kebijakan dan tindakan pemerintah yang sekaligus membungkam kritik terhadap pemerintah. Kerap kali ideologi dipropagandakan dalam media komunikasi massa karena totalitarianisme bergantung pada dukungan massa.
Ketiga, meniadakan kekuatan oposisi baik di DPR maupun diluar. Upaya yang dilakukan sama dengan yang sebelumnya, yaitu melakukan konsolidasi kekuatan politik dengan berbagai cara, baik melalui tindakan hukum, intimidasi, atau yang lainnya, sehingga dapat memperlemah atau meniadakan kekuatan politik oposisi di negara. Ketika tidak ada lagi ruang untuk perbedaan pendapat, masyarakat akan berpotensi terjebak dalam satu narasi yang didominasi oleh narasi pemerintah.
Keempat, menggunakan aparatus represi negara yaitu militer dan polisi. Penguatan kekuataan militer dan aparat keamanan adalah kunci untuk mempertahankan kekuasaan secara maksimal. Ketika aparat keamanan digunakan untuk menindas lawan politik. Sebagai contoh, Jerman di bawah rezim Nazi Hitler. Upaya untuk mengendalikan penduduk dan mendapatkan dukungan absolut atas dirinya, Hitler membentuk aparatus represi yang dikenal sebagai SS, Gestapo, dan SD. Ketiga kelompok ini memiliki tugas yang sama, yaitu untuk mengendalikan penduduk, mengarahkan dukungan rakyat secara absolute kepada sang Fuhrer, dan menghancurkan oposisi atau kelompok perlawanan.
Terakhir, yaitu memanfaatkan krisis. Keadaan darurat atau krisis menjadi celah bagi negara untuk membatasi hak-hak sosial politik warganya dan meniadakan jaminan perlindungan hukum dan hak-hak individu, serta ia menjelaskan bahwa negara dapat mengesampingkan demi kepentingan publik terutama dalam situasi krisis. Pengimplementasian keadaan darurat memiliki resiko, yaitu penyalahgunaan kekuasaan. perlindungan hukum. Maka, negara dapat mengesampingkan hak-hak tersebut demi kepentingan publik yang lebih besar terutama dalam situasi krisis (Giorgio Agamben, 2005; State of Exception).
Saat ini, totalitarianisme menjadi tren bentuk pemerintahan yang terjadi di beberapa negara di dunia. Salah satu celah yang digunakan untuk menerapkan pemerintahan totaliter adalah situasi darurat suatu negara. Upaya tersebut secara hukum internasional dapat dilakukan, tertuang didalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), yang didalamnya menjelaskan kewenangan negara untuk membatasi hak sosial politik warganya ketika terjadi situasi darurat.
Arah Totalitarianisme Rezim Jokowi
Selama dua periode pemerintahan di bawah Presiden Jokowi, terjadi banyak peristiwa yang membuat indeks demokrasi Indonesia mengalami penurunan. Bahkan, menurut OCCRP, Presiden Jokowi masuk ke dalam nominasi presiden terkorup di dunia.
Perihal korupsi tidak hanya diartikan sebagai mengambil kekayaan negara untuk menguntungkan pribadi sehingga negara mengalami kerugian, akan tetapi ia lebih luar daripada itu yaitu mencakup sikap yang semula bermoral menjadi tidak bermoral, merusak atau melecehkan tatanan prinsip yang telah ada, dan lainnya. Selama pemerintahannya, upaya negara melakukan kontrol terhadap warganya sangatlah terlihat. Upaya Presiden Jokowi mengarahkan Indonesia ke dalam sistem totalitarianisme, hal ini terlihat dengan beberapa tahap dan peristiwa yang terjadi.
Pertama, Presiden Jokowi berusaha dan berhasil mengkonsolidasikan berbagai kekuatan, baik dari legislatif dalam hal ini DPR, sehingga mengakibatkan koalisi besar di Parlemen; para pengusaha, media, dan massa. Hal ini menjadi permasalahan bahwa tindakan untuk menyatukan kekuatan-kekuatan tersebut menjadi terintegralistik dibawah kekuasaan eksekutif akan memungkinkan terjadinya pemusatan kekuasaan yang mengarah pada sifat totaliter (Jimly Asshiddiqie, 2022; Oligarki dan Totalitarianisme Baru). Hal ini menjadi ancaman bagi para demokrasi karena prinsip check and balance tidak akan berjalan secara maksimal karena DPR yang seharusnya menjalankan prinsip tersebut namun pada kenyataannya diisi oleh sebagian besar anggota DPR yang berkoalisi dengan pemerintahan serta tidak ada oposisi yang patut diperhitungkan di DPR. Hal tersebut merupakan permasalah yang tidak dapat dihindari dalam sistem presidensial.
Kedua, terjadinya pemberangusan terhadap serikat atau perkumpulan, seperti pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia dan Front Pembela Islam yang menyalahi prosedur hukum. Kekuatan Islam saat itu menjadi kekuatan yang sangat diperhitungkan dan dianggap menjadi ancaman besar bagi pemerintahan saat itu. Hal ini serupa seperti apa yang dilakukan oleh rezim Nazi kepada umat Yahudi di Eropa. Nazi melakukan pemberangusan terhadap kaum Yahudi kala itu karena terdapat sentimen kebencian dan dianggap ancaman bagi pemerintahan, serta ras arya. Indonesia menerapkan hal yang sama kepada kelompok Islam yang sedang berkembang pesat saat itu, yaitu merupakan sebuah ancaman bagi pemerintahan. Maka dari itu, upaya yang dilakukan adalah dengan membubarkan organisasi-organisasi yang dianggap radikal atau tidak dapat berkompromi dengan pemerintah seperti Hizbut Tahrir Indonesia dan Front Pembela Islam. Terlebih, diperparah lagi dengan melakukan labeling terhadap mantan anggota ormas tersebut yang membuat mereka teralienasi dari masyarakat dan mendapatkan stigma buruk.
Ketiga, munculnya berbagai undang-undang kontroversi seperti UU Ciptaker, UU ITE, UU KUHP, dan lainnya. UU tersebut mendapatkan kritik dari berbagai elemen karena dapat membahayakan demokrasi. Lebih lagi, pada periode penghujung DPR, terdapat revisi UU yang dimasukan yang mana dapat membahayakan iklim demokrasi di Indonesia, yaitu RUU TNI, RUU Polri, dan RUU Penyiaran yang kelak akan menjadi produk legislasi bagi pemerintah untuk menguasai, dan menghukum kelompok oposisi yang dinilai mengganggu jalannya pemerintahan. Ditambah lagi, pembahasan UU dan RUU yang menjadi polemik tersebut tidak melibatkan partisipasi publik yang bermakna (meaningfull participation) dalam proses pembentukannya.
Keempat, dalam hal menyikapi protes atau demonstrasi terhadap kebijakan pemerintah. Pemerintahan Presiden Jokowi sering kali menggunakan cara-cara represif untuk menekan kelompok oposisi. Telah terjadi banyak kekerasan yang melibatkan polisi, tentara, hingga ormas untuk merepresi kelompok yang melakukan protes terhadap kebijakan pemerintah. Ditambah lagi, bentuk represif yang berkembang saat ini adalah penyerangan di dunia maya, yaitu menggunakan doxing, serangan buzzer, hingga ancaman kriminalisasi melalui jeratan UU ITE.
Dari serangkaian peristiwa berikut, peneliti melihat telah terjadi peristiwa yang serupa dengan negara-negara yang menerapkan sistem totaliter. Di mana negara di bawah Presiden Jokowi berusaha mengontrol masyarakat secara penuh dan menggunakan berbagai komponen negara totaliter, seperti hukum, kekuatan politik, massa, ekonomi, dan media massa. Dampak dari pemusatan kekuasaan atau konsolidasi kekuasaan yang dilakukan oleh Presiden Jokowi adalah semakin melemahnya demokrasi di Indonesia.
Kesimpulan
Masalah dalam sistem presidensial menjadi ancaman serius bagi demokrasi terlebih dengan berkaca pada masa pemerintahan Jokowi yang berkuasa selama 10 tahun yang mana telah mengarahkan Indonesia ke arah totalitarianisme. Dengan hal ini, beberapa syarat dari sebuah negara totaliter telah dipenuhi oleh pemerintahan Jokowi.
Konsolidasi kekuasaan merupakan ide yang buruk untuk meningkatkan kinerja pemerintah dalam mewujudkan cita-cita negara karena kekuasaan absolut memiliki kecenderungan untuk berperilaku korup. Ditambah lagi, terdapat permasalahan yang tidak dapat terhindarkan dalam sistem presidensial yang membuat kekuasaan menjadi tidak terkontrol karena upaya kekuasaan membentuk koalisi besar di legislatif.
Konsolidasi kekuasaan oleh Presiden Jokowi membawa Indonesia masuk ke dalam sistem totalitarian baru di mana pemerintah berupaya mengontrol penuh masyarakatnya dengan berbagai cara. Perubahan arah ini tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga terjadi di beberapa negara lain atau bisa dikatakan tren global pada saat ini yang mengancam demokrasi dan hak asasi manusia.
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain tentang politik