• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Ketika Nepotisme Menggerogoti Organisasi Mahasiswa

MAHASISWA BERSUARA: Ketika Nepotisme Menggerogoti Organisasi Mahasiswa

Nepotisme dalam sebuah organisasi mahasiswa (ormawa) bukanlah merupakan hal yang bisa dinormalisasikan dengan alasan apa pun itu.

Swandaru Aghni

Anggota Lembaga Pers Mahasiswa GEMA Universitas Negeri Surabaya (Unesa)

Ilustrasi. Gerakan mahasiswa menghadapi tantangan di era yang dikuasai kapital. (Ilustrator: Zakinah Sang Mando/BandungBergerak)

6 Maret 2025


BandungBergerak.id – Organisasi mahasiswa, atau yang biasa disebut ormawa, merupakan salah satu wadah bagi mahasiswa untuk mengembangkan diri. Ormawa diyakini mampu membentuk karakter anggotanya melalui berbagai pembelajaran, pengalaman, dan dinamika yang terjadi di dalamnya. Organisasi ini diharapkan dapat mencetak mahasiswa yang berintegritas, kompeten, kritis, serta menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Namun, bagaimana jika wadah yang seharusnya menjadi pendorong perubahan positif justru berubah menjadi tempat berkumpulnya individu-individu yang tidak kompeten, yang gemar mempraktikkan budaya busuk bernama nepotisme, sebuah racun yang merusak dan membawa kehancuran.

Nepotisme berasal dari bahasa latin nepos yaitu yang berarti anak atau saudara. Menurut Ozsemerci (2003), nepotisme boleh diartikan sebagai pencapaian proses pengambilan dan proses pemilihan, promosi, penyediaan keadaan kerja yang lebih baik dan keuntungan yang serupa tanpa mengira pengetahuan, kebolehan, kemahiran, tahap pendidikan dan pengalaman tetapi disebabkan hubungan kekeluargaan mereka. Sedangkan, Dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), pengertian nepotisme adalah tindakan yang hanya menguntungkan sanak saudara atau teman-teman sendiri, terutama dalam pemerintahan walaupun objek yang diuntungkan tidak kompeten. Dari berbagai pendapat tadi kita dapat mengambil kesimpulan bahwa secara umum, arti nepotisme adalah suatu tindakan seseorang yang memanfaatkan jabatan atau posisi untuk mengutamakan kepentingan keluarga atau kerabat di atas kepentingan umum dengan memilih orang bukan atas dasar kemampuannya tetapi atas dasar hubungan keluarga atau kedekatan.

Hubungan kekeluargaan yang dimaksud dalam pengertian nepotisme, tidaklah hanya merujuk pada hubungan karena ada ikatan darah, akan tetapi merupakan hubungan keakraban atau kedekatan bahkan kemesraan antar individu yang disebabkan oleh interaksi yang dilakukan antar individu tersebut. Bentuk kedekatan di sini bisa dalam bentuk rekan kerja, rekan berolahraga, memancing, atau rekan ngopi di warung kopi dari matahari baru terbenam sampai ayam jantan berkokok.

Sungguh ironis jika organisasi mahasiswa kini justru kembali menumbuhkan dan melestarikan budaya nepotisme hingga mengakar dalam sanubari anggotanya. Padahal, hal ini bertentangan dengan semangat perjuangan mahasiswa pada tahun 1998. Saat itu, demonstrasi besar-besaran terjadi hampir di seluruh penjuru negeri sebagai bentuk perlawanan terhadap nepotisme yang memorak-porandakan tatanan negara di bawah pemerintahan Presiden ke-2 RI Soeharto. Ribuan mahasiswa bersatu, saling melindungi, dan dengan tegas menuntut reformasi serta tegaknya demokrasi. Oleh karena itu, membiarkan nepotisme kembali berkembang dalam organisasi mahasiswa bukan hanya menjilat ludah sendiri, akan tetapi merupakan sebuah kemunduran, juga sebagai bentuk pengkhianatan terhadap perjuangan mahasiswa dan rakyat Indonesia dalam menegakkan demokrasi.

Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Pembangunan IKN, Harapan atau Malapetaka Bagi Daerah Lain?
MAHASISWA BERSUARA: Siapa pun Pemimpinnya Gua mah Tetap Kerja dan Cari Duit Sendiri, Apa Sesederhana itu?
MAHASISWA BERSUARA: Meyakinkan Publik adalah Tugas Pejabat Publik!

Nepotisme dalam Organisasi Mahasiswa

Mahasiswa yang diharapkan sebagai agen perubahan, sebagai tonggak perjuangan rakyat, sebagai pejuang aspirasi masyarakat justru tidak bisa mengemban amanah itu karena individunya hanya fokus untuk memikirkan jabatan dirinya serta keluarga dan kerabatnya. Nepotisme ibarat bangkai busuk di tengah daging segar, mencemari citra serta merusak kualitas entitas lingkungan di sekitarnya, menyebarkan racun yang perlahan menggerogoti karakter siapa pun yang terpapar.

Nepotisme dalam sebuah organisasi mahasiswa bukanlah merupakan hal yang bisa dinormalisasikan dengan alasan kemesraan hubungan, kedekatan, maupun alasan apa pun itu. Akan tetapi nepotisme harus menjadi musuh utama para mahasiswa dan pemangku jabatan. Layaknya sebuah bangkai yang sudah membusuk, nepotisme membawa banyak sekali racun-racun mematikan bagi lingkungan di mana tempatnya hinggap. Oleh karena itu, sudah sewajibnya siapa pun itu untuk membuang bangkai busuk tersebut jauh-jauh untuk menyelamatkan dirinya dan entitas lingkungannya dari terjangkitnya berbagai penyakit mematikan seperti, mengikisnya nilai kejujuran, tingkat persaingan yang kian melemah, menghilangkan urgensi membangun kualitas diri, menormalisasikan berbagai penyimpangan, rusaknya akal dan pikiran, serta menghilangkan integritas, dan masih banyak lagi penyakit-penyakit mematikan lainnya.

Tak usah jauh-jauh untuk melihat bentuk atau fenomena nepotisme itu seperti apa, tak usah melihat fenomena para pejabat yang nun jauh di sana, tak usah juga kita menelusuri silsilah keluarga seorang presiden yang bahkan kita tidak pernah berjabat tangan dengannya. Cukup tengok organisasi mahasiswa di kampus kita sendiri, tempat yang seharusnya menjadi ajang perjuangan dan pengembangan diri. Di sana, nepotisme justru tumbuh subur, terpampang jelas dalam berbagai bentuk yang, ironisnya, mengakar di lingkungan yang seharusnya menolak praktik busuk ini. Sungguh menggelikan sekaligus memprihatinkan melihat bagaimana ormawa, yang seharusnya menjunjung tinggi nilai keadilan dan kompetensi, malah membiarkan bangkai busuk bernama nepotisme hinggap dan menjangkit secara sporadis tanpa upaya untuk membuang atau menyingkirkannya.

Salah satu bentuk nepotisme yang paling sering terjadi di lingkungan organisasi mahasiswa adalah dalam proses seleksi anggota dan perekrutan individu untuk menjadi bagian dari program kerja organisasi. Idealnya, seleksi ini didasarkan pada potensi dan kualitas diri, memastikan bahwa hanya individu yang benar-benar kompeten yang dapat bergabung. Namun, kenyataan berkata lain. Prinsip meritokrasi telah mati di tangan mereka yang terbiasa mengunyah bangkai busuk nepotisme, hingga racunnya meresap ke dalam akal sehat dan menjangkiti seluruh entitas lingkungan organisasi.

Nepotisme Tidak Bisa Dinormalisasi

Hal ini bukan sekadar anomali, melainkan bentuk degradasi nilai yang tidak bisa dinormalisasi. Akibatnya, individu yang ingin bergabung dengan organisasi tidak lagi berfokus pada pengembangan diri, tidak lagi berpikir bagaimana cara meningkatkan kapasitas agar layak mendapatkan tempat. Sebaliknya, yang ada di benak mereka hanyalah bagaimana mencari relasi yang tepat, bagaimana membangun kedekatan dengan pemangku jabatan agar bisa melangkahi proses seleksi dan perekrutan dengan mudah. Ini bukan sekadar praktik yang keliru, tetapi sebuah pengkhianatan terhadap esensi organisasi mahasiswa yang seharusnya menjadi ruang pembelajaran, bukan arena transaksi relasi dan kepentingan.

Lebih tragis lagi, racun nepotisme ini telah melahirkan mahasiswa yang tidak lagi percaya pada kompetensi, tetapi lebih mengandalkan koneksi. Mereka kehilangan semangat berkompetisi, kehilangan urgensi untuk membuktikan dan mengembangkan diri, dan pada akhirnya, hanya menjadi bagian dari sistem bobrok yang terus-menerus merawat kebusukan.

Dengan hilangnya semangat berkompetisi dan urgensi untuk meningkatkan kualitas diri, nepotisme melahirkan suatu organisasi mahasiswa yang dipenuhi berbagai individu yang gemar memakan bangkai, individu yang tidak peduli dengan kualitas dirinya, individu yang tidak bisa berpikir jernih dan sering menimbulkan logical fallacy, yang pastinya mereka-mereka itu sudah rusak sel-sel di otaknya. Nepotisme akhirnya melahirkan organisasi mahasiswa yang tidak berdaya saing, organisasi mahasiswa yang tidak bisa berinovasi, organisasi mahasiswa yang menumbuh suburkan budaya-budaya busuk di lingkungannya, organisasi mahasiswa yang tidak menjunjung prinsip-prinsip keadilan, organisasi mahasiswa yang hanya bisa melakukan hal yang itu-itu saja,  organisasi mahasiswa yang hanya menjadi sarang penyakit dan siap menjangkiti siapapun yang mencoba untuk mendekatinya, serta organisasi mahasiswa yang hanya memikirkan jabatan dirinya dan orang-orang terdekatnya tanpa melihat kualitas yang dimilikinya.

Mereka-mereka yang terjebak dalam nepotisme mungkin menyadari bahwa apa yang mereka lakukan adalah kesalahan besar. Namun, keberanian untuk meninggalkan warisan sistem usang ini rupanya lebih sulit daripada membangun kebiasaan baru yang berlandaskan kejujuran dan integritas, padahal kejujuran dan integritas merupakan fondasi utama dalam sebuah kemajuan.

Pramoedya Ananta Toer, sastrawan besar Indonesia pernah berkata dalam bukunya yang berjudul Bumi Manusia, “Seorang terpelajar sudah harus berlaku adil sejak dalam pikiran, apalagi perbuatan.” Pram ingin menyampaikan kepada kita bahwa individu yang terpelajar atau individu yang berpendidikan sudah sepatutnya untuk bertindak secara adil sejak dalam pikirannya. Akan tetapi hal itu tidak bisa dilakukan oleh mereka-mereka yang gemar memakan bangkai busuk sehingga sudah rusak akal dan pikirannya, mereka tidak bisa untuk berlaku adil sejak dalam pikiran, apalagi bertindak secara adil dalam perbuatan.

Jika pembaca merasa dan menilai organisasi mahasiswanya atau tempat mengembangkan dirinya tidak memberikan dampak positif terhadap berkembangnya kualitas diri, dan terkesan hanya membuang-buang tenaga, waktu,  materi, dan pikiran pembaca saja, sudah sewajibnya pembaca untuk angkat kaki demi kesehatan akal dan pikiran pembaca semua. Karena bisa dikatakan bahwa tempat pembaca untuk berkembang sudah terjangkit racun akibat suka menyimpan dan gemar memakan bangkai busuk yang bernama nepotisme.

Tan Malaka, salah satu tokoh besar bangsa, yang menginginkan kemajuan dan kemerdekaan bangsanya, akan tetapi malah berakhir terbunuh di tangan bangsanya sendiri pernah berkata, “Idealisme adalah kemewahan terakhir yang dimiliki oleh pemuda.”

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain Mahasiswa Bersuara

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//