Belajar dari Pram, Minke, dan Bangsa yang Tengah Mendewasa
Pramoedya Ananta Toer menggambarkan benih kebangkitan nasional melalui sudut pandang seorang pemuda pribumi bernama Minke.

Abraham Asadel Achwan
Seorang murid kehidupan yang dapat dipanggil dengan nama tengahnya. Ia kini tengah menempuh pendidikan Arsitektur di Universitas Gadjah Mada (UGM).
7 Maret 2025
BandungBergerak.id – Cerita bermula tatkala usia seseorang beranjak dua puluh, bagi sebagian bahkan lebih dini dari pada itu. Timbul suara-suara baru dalam relung pikiran. Kecemasan kini datang menggerogoti kenangan masa-masa yang telah silam. Masa-masa yang indah memang, ia dapat membuat seseorang terjebak hingga entah kapan. Masa yang menanti seolah diselubungi kabut misteri. Sebuah predikat disematkan kepada mereka yang mampu lulus dan keluar sebagai pemenang; dewasa.
Dunia beserta segala ujiannya, menggerus segala yang ada tanpa pernah memandang ke siapa. kendati demikian, zaman hanyalah mengulangi dirinya. Hari esok tak lain adalah masa lampau dalam wajah yang baru. Alangkah bijak mereka yang berhasil memetik barang sebuah pelajaran atas para penyintas zaman. Merekalah orang-orang yang makin kuat ditempa kehidupan, makin membara tatkala kobaran api ujian merintangi langkah. Kadang kala, sosok tersebut tak pernah nyata. Ia hanya berupa ekstensi seseorang dan mewujud dalam kumpulan kata-kata yang membentuk imaji di dalam kepala.
Fiksi, sebuah dunia tersendiri yang dengannya para pemikir menyalurkan aspirasi, isi hati, atau bahkan ego pribadi. Ia mampu menyajikan apa yang tak sempat terekam oleh dunia nyata sebagaimana dialami oleh para pelaku zaman dalam bentuk ragam tokoh serta latar. Apa yang termuat di dalamnya tak lain merupakan ekstensi serta distorsi realitas kehidupan sang penggagas. Kehidupan yang diwarnai oleh ragam tempaan dan barang kali pembungkaman. Ia seolah menjadi nyanyian bagi para jiwa yang tengah terbelenggu keadaan. sebuah udara kebebasan di balik susunan aksara. Jikalau Afrika punya sosok seperti Nelson Mandela, patutlah kita berbangga sebab memiliki Pramoedya Ananta Toer!
Pramoedya Ananta Toer atau kerap disapa Mas Pram merupakan sosok yang melintasi zaman dengan ragam pemerannya. Meski pemegang kuasa atas bangsa ini silih berganti tetapi baginya yang tetap sama adalah jeruji besi. Mulai dari kompeni Belanda, orde lama, hingga orde baru seolah bersepakat untuk membuatnya terbungkam. Namun, penjara tidaklah cukup untuk membungkam Pram. Di balik segala keterbatasan, ia mampu melahirkan barang puluhan karya tulis yang mampu merekam ragam pergolakan masa.
Salah satunya bahkan mampu membuat namanya melambung tinggi di ragam penjuru bumi. Sebuah kisah roman tragis yang terlahir dari tempat yang tak kalah tragis pula. kini kita mengenalnya sebagai Roman Tetralogi Pulau Buru (The Buru Quartet).
Baca Juga: Tarian Larasati dalam Arus Revolusi di IFI Bandung, Sebuah Adaptasi dari Novel Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya, Lekra, dan Cinta yang Paripurna
Memahami Pramoedya Ananta Toer
Minke
Dalam Mahakaryanya ini, Mas Pram mencoba untuk menggambarkan benih kebangkitan nasional yang tengah disemai di segala penjuru bangsa. Segala pergolakan yang terjadi digambarkan melalui sudut pandang seorang pemuda pribumi bernama Minke. Ia merupakan sosok yang terlahir dari perkawinan antara fakta sejarah dan juga buah pikiran sang pengarang. Ragam rintangan serta ujian yang membentang selama perjalanannya menyingkap sebuah fakta menarik: sebelum lebih jauh membangkitkan bangsa, dirinya sendiri perlu bangkit. ia perlu bangkit dari cengkeraman kenyamanan masa muda untuk tampil di panggung dunia dewasa.
Baginya, kisah bermula pada usia yang lebih belia. Waktu itu, ia menjadi satu satunya pribumi yang duduk di bangku HBS Surabaya (SMA Belanda). Doktrin pedagogi Eropa pun merasuki dirinya. Ia menjadi satu dari sekian pengagum kemajuan peradaban Eropa. Cangkang tradisi Jawa yang selama ini menyelubunginya pun ia anggap sebagai relik kuno yang membatasi kemajuan seseorang. Semboyan revolusi prancis berupa liberte, egalite, fraternite (kebebasan, keadilan, dan persaudaraan) kini seolah menjadi kompas hidupnya.
Semua berjalan sebagaimana biasa sampai tiba hari yang mengubah alur kehidupan seorang Minke. Sebuah disrupsi hadir di balik kunjungan tak terduganya menuju rumah seorang yang kelak akan dipujanya. Rumah itu tampak begitu besar, tidak hanya bangunannya tetapi juga kehidupan di dalamnya. Segala perjumpaan ini membuatnya mempertanyakan kembali asumsi yang selama ini terbangun di balik usia mudanya. Kunjungan ini di kemudian hari memaksanya keluar dari keamanan masa muda yang begitu ia agungkan.
Ragam permasalahan pun silih berganti sejak awal kakinya memijak pada lantai kayu rumah ini. Satu per satu berhasil ia lalui dan lebih jauh mengukuhkan kepribadiannya selama ini. Tentu ia tak sendiri, dalam prosesnya, banyak sosok yang menjadi guru kehidupan baginya. Kerap kali prinsipnya terukir akibat pemikiran dari orang-orang sekitarnya yang lebih tua. Salah satu nasihat yang cukup membekas dalam benaknya berbunyi demikian: “Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan.”
Masih sebagai seorang pelajar tetapi alam pikirnya kini tengah menua, memasuki alam kehidupan yang lebih dalam. Perlahan, ia pun mulai terasing di tengah pergaulan sebaya. Seolah, inilah harga yang harus dibayarkan seseorang menuju pendewasaan. Ia lantas berlindung di balik dunia aksara. Segala keluh kesah dirangkainya menjadi untaian kata. Dunia jurnalisme perlahan terbentang dalam hidupnya.
Ia pun lantas memutuskan untuk kawin selepas tamat sekolah. keputusan yang terlahir bukan atas kemauan semata tetapi atas himpitan keadaan. Tatkala ikrar terucap, di situlah ia harus menanggung penghidupan anak orang. Perkawinan dan segala yang terikat di dalamnya pun lebih jauh mematangkan kepribadian serta mengukuhkan langkahnya. Selama kisahnya terbentang, peristiwa ini akan menjadi yang pertama tetapi yang bukan terakhir.
Namun, Minke tetaplah sama seperti dahulu dengan segala pemujaan terhadap kemajuan peradaban negeri nun jauh di sana. Orang-orang di sekitarnya pun mendorongnya keluar dari zona nyaman, untuk mengenal manusia sebangsanya sendiri. Peristiwa-peristiwa sekitar yang dia alami secara langsung lantas membuka mata-hatinya terhadap sisi kelam dari peradaban yang selama ini ia puja, kolonialisasi. Perjumpaannya dengan sosok petani sederhana yang tengah terinjak oleh para pemilik kapital pun berhasil menanamkan bibit perjuangan dalam dirinya. Bibit yang kelak akan tumbuh menunjangkan akar ke inti bumi serta menjulangkan pokok ke wajah kolonalisme Eropa.
Perjumpaan
Berbekal tempaan serta wejangan, perjalanannya pun diteruskan melalui jalur laut. Batavia, kota yang kelak akan menjadi tempat kapal yang ditumpanginya berlabuh. Ia ingin mencari kebebasan serta kejayaan yang tak dapat ditemuinya di Surabaya. STOVIA adalah jalan yang lantas ia pilih. Meski datang seorang diri di kota asing ini, ragam peluang terbentang di hadapannya. Terlebih, perjumpaannya tempo waktu dengan seorang jurnalis mampu menghantarkannya lebih jauh menuju dunia yang selama ini ia idamkan. Ia mendapat kehormatan untuk dapat menjadi teman berpikir seseorang yang kelak menjadi gubernur jenderal Hindia. oleh karenanya, ia menjadi pengecualian dalam sekolah dokter ini.
Kesendiriannya pun lantas tumpas selepas berjumpa dengan seorang wanita menawan. Kini, ia berasal dari kaum yang bukan sebangsanya tetapi sama-sama memiliki kepedulian terhadap bangsa masing-masing. Bersamanyalah bahtera rumah tangga untuk kedua kali kembali diarungi. selama berjalan bersama, banyak hal kehidupan sang Minke yang hilang lantas berganti. Puncaknya tatkala Sang Istri & STOVIA pada akhirnya harus berpisah darinya. Sebagai gantinya, pintu untuk memulai kembali terbuka lebar. memulai apa yang selama ini menjadi garis kehidupannya; membangkitkan sebangsanya.
Pada titik ini dan seterusnya, kisah-kisah heroisme pun silih berganti dengan ragam aral rintang yang tak kalah hebatnya. Semua berhasil ia arungi dengan menerabas segala keraguan dan rasa tak enak hati. lelah letih pun berujung pada lahirnya Medan Priyaji, surat kabar pribumi pertama, anak yang ia banggakan. Sang anak pun berhasil membuat nama ayahnya dikenal seantero jagat Hindia. Namun sang anak tentu membutuhkan kasih seorang ibu. Itulah yang kiranya ditemukan oleh Minke pada sosok putri raja Maluku yang tengah dibuang di Pulau Jawa. Pernikahan untuk yang ketiga kali kembali terjadi.
Sang istri setia menemani derap langkah perjuangan Minke. Kasih yang mereka berdua tukarkan tak kalah besar dengan pengaruh Medan pada pribumi Hindia. Perbesaran ini pun dinilai mengancam kelangsungan kuasa sang penjajah. Ancaman demi ancaman berdatangan tanpa pernah menyurutkan langkahnya dalam memperjuangkan kebenaran. Api di dalam jiwanya kian berkobar begitu besarnya, ujian hanyalah kayu yang membuat nyalanya semakin membara.
Sedemikian besar api terus berkobar, sang kolonial seolah kebakaran jenggot dibuatnya. Hingga suatu ketika, ultimatum dilancarkan kepadanya: pengasingan. Perpisahan pun harus menyudahi segala perjuangannya selama ini. Ia harus berpisah dengan segala yang telah menjadi bagian hidupnya. Tak lain semua ia tanggapi dengan air muka yang tenang. Ia pribadi yang telah berhasil mendewasakan diri serta bangsanya. di tengah segala akhir yang pilu, ia telah melawan dengan sebaik-baiknya. ia kalah dengan terhormat.
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain tentang Buku atau tentang Pramoedya Ananta Toer