• Kolom
  • CIGURIANG, KAMPUNG DOBI DALAM INGATAN #21: Ngabuburit Cara Anak-anak Bandung Baheula

CIGURIANG, KAMPUNG DOBI DALAM INGATAN #21: Ngabuburit Cara Anak-anak Bandung Baheula

Ngabuburit anak-anak Bandung tempo dulu tentu dilakukan dengan cara-cara tradisional, kreatif, dan lebih dekat dengan alam.

Ernawatie Sutarna

Ibu rumah tangga, peminat sejarah, anggota sejumlah komunitas sejarah di Bandung.

Wafiq dan temannya bermain bulu tangkis di Ciguriang, Bandung, 8 Maret 2025. (Foto: Ernawatie Sutarna/penulis)

9 Maret 2025


BandungBergerak.idSalah satu kegiatan populer di bulan Ramadan adalah ngabuburit. Ngabuburit berasal dari bahasa Sunda, burit yang artinya sore. Ngabuburit sendiri adalah kegiatan yang dilakukan untuk mengisi waktu luang sambil menunggu waktu buka puasa.

Di Bandung istilah ngabuburit mulai ngetren di tahun 1980-an. Istilah ngabuburit dipopulerkan banyak media yang menjangkau masyarakat ketika itu, sehigga pada akhirnya menjadi satu istilah umum yang tidak hanya digunakan di Bandung atau di tanah Sunda saja, tetapi banyak digunakan di daerah lain di Indonesia. Media massa nasional juga menggunakan istilah ngabuburit untuk menyebut aktivitas yang dilakukan kaum muslimin untuk menunggu waktu azan maghrib sebagai tanda waktu berbuka puasa.

Ngabuburit Tahun 1950-an

Tetapi kegiatan untuk melupakan lapar dan haus karena berpuasa dan menunggu azan maghrib itu sudah berlangsung bahkan sejak zaman dulu. Di dalam bukunya Basa Bandung Halimunan, Us Tiarsa menyebutkan, ketika kecil, wartawan senior itu menunggu waktu berbuka dengan bermain ke stasiun Bandung, menyimpan paku di rel kereta dan membiarkan kereta menggilasnya. Tentu saja paku itu akan berubah bentuk menjadi gepeng, lalu mereka berlomba membentuknya menjadi pisau yang bagus.

Resep ulin di setatsion téh, komo ari bulan puasa mah. Ngabuburit téh sok ulukutek di dinya wè. Mun teu turun-unggah kana bordés, sok ngageleng-gelengkeun paku. Paku lincar téh diteundeun dina erel sina kageleng ku kareta api. Puguh wé paku téh jadi maleber. Terus wé dilelempeng dipékprékan, dikosréng-kosréng kana batu. Jadi wéh pépesoan. Ku kolot gé sok kapaké ari pépésoanana diperahan, dialus-alus mah, [Seru sekali main di stasiun, apalagi bulan puasa. Ngabuburit sering dilakukan di sana. Kalau tidak naik-turun di bordes, seringnya menggilas paku. Paku besar itu diletakkan di rel agar dilindas kereta api. Tentu saja paku itu menjadi lebar. Lalu diluruskan dan dipukul-pukul, digosok-gosokkan ke batu. Jadi deh pisau. Oleh orang tua juga pisau tersebut sering dipakai],” cerita Us Tiarsa.

Tempat lain untuk ngabuburit untuk anak-anak di tahun 1950-1960-an menurut ua Us, di antaranya Kherkof, Bonk di Babakan Ciamis, atau bermain bola di Tegallega. Satu yang menarik adalah ketika  ua Us yang tinggal di kampung Kebonkawung, lalu ngabuburit nguseup – mancing, dan ngecrik menangkap ikan di beberapa tempat di Bandung, memang jarambah sekali, ua ini.

“Saminggu sakali waé mah osok ngecrik. Komo ari bulan Puasa mah. Itung-itung ngabuburit. Sok ka sorenakeun ngecrik téh. Sok rada jauh ari ngecrik mah. Mun ka kidul, turun the sok lebah Situ Taraté, Situgunting, atawa Cibaduyut. Mapay susukan ka wétankeun. Hanjat-hanjat di Legok Ciseureuh. Da apan ari ngecrik mah kudu ti hilir mapay ka girang. Mun teu ka dinya sok ka Cihaurgeulis. Ancrub ti lebah Cikutra terus ka tonggoh ka Cicukang mapay sisi lembur Cihaurgeulis. Hanjat kuloneun Sékéloa. Balik sok mapay lembur, bras ka Alun-alun. Cihaurgeulis. Loba laukna téh. Lauk emas ogé galedé, papalidan tina balong, meureun.

[Sekali seminggu biasanya suka jalan-jalan. Apalagi saat bulan puasa. Sambil ngabuburit. Seringnya sore-sore jalan-jalan. Kadang agak jauh kalau jalan-jalan. Kalau ke selatan, turun ke daerah Situ Taraté, Situgunting, atau Cibaduyut. Menelusuri sungai ke arah barat. Mendaki-mendaki di Legok Ciseureuh. Soalnya kalau jalan-jalan itu harus dari hilir menuju ke hulu. Kalau tidak ke sana, biasanya ke Cihaurgeulis. Menyusuri dari daerah Cikutra, lalu belok ke Cicukang menelusuri sisi desa Cihaurgeulis. Mendaki ke atas Sékéloa. Pulangnya biasanya menyusuri desa, lalu ke Alun-alun. Cihaurgeulis. Banyak ikannya di sana. Ikan emas juga besar-besar, mungkin berasal dari kolam],” ungkap Us Tiarsa.

Dan sepertinya tempat-tempat yang disebutkan di buku Basa Bandung Halimunan itu sebagian besar sudak tidak bisa ditemukan lagi di Bandung saat ini.

Ngabuburit di Ciguriang Tahun 1960-an

Dari sisi ibu saya yang seorang anak perempuan di tahun 1960-an, ngabuburit masih dilakukan di sekitar Ciguriang dan Kebonkawung. Pada saat itu anak-anak perempuan cenderung lebih banyak berkegiatan di lingkungnan sekitar rumah saja, apalagi pada saat itu rumor adanya culik masih sangat sering terdengar, dan menjadi hal yang menakutkan buat anak-anak.

Sebuah pos ronda di jalan Haji Mesri menjadi salah satu tempat berkumpulnya anak-anak perempuan yang tinggal di daerah Kebonkawung pada saat itu. Mereka berkumpul menunggu tibanya waktu berbuka puasa dengan aneka permainan yang dimainkan bersama. Anak-anak perempuan ada yang bermain congklak, juga bermain halma. Anak-anak laki-laki yang tidak bermain jarambah, bermain dam-daman.

Permainan congklak adalah satu permainan populer sampai sekitar tahun 1990-an, dengan menggunakan alat yang berupa kayu panjang berlubang sepanjak dua baris yang masing-masing berjumlah tujuh lubang, dan dua lubang yang juga berbentuk lingkaran besar di masing-masing ujung papan kayu. Permainan ini memerlukan 98 butir biji-bijian sebagai alat permainan, biji-bijian yang digunakan saat itu adalah biji sirsak atau biji asam.

Kebiasaan ibu saya menggunakan biji sirsak untuk bermain congklak turun pada kami anak-anaknya, dan kebetulan Abah menanam pohon sirsak di halaman rumah kami, jadi cukup mudah mendapatkan bijinya. Pos ronda itu terletak tidak jauh dari Ciguriang, jadi ibu bisa segera pulang jika tiba-tiba dipanggil Ma Abah, atau jika waktu maghrib sudah tiba.

Dan satu tempat lain favorit anak-anak perempuan adalah pohon kelapa doyong yang letaknya tak jauh dari mata air Ciguriang. Di sana mereka biasa bermain sambil bernyanyi-nyanyi lagu-lagu yang mereka kenal melalui radio transistor. Permainan lainnya apalagi kalau bukan petak umpet ucingucingan, ucing sumput, dan lain-lain.

Baca Juga: Ciguriang, Kampung Dobi dalam Ingatan #18: Cai dan Guriang
Ciguriang, Kampung Dobi dalam Ingatan #19: Batu Nisan yang Pecah
CIGURIANG, KAMPUNG DOBI DALAM INGATAN #20: Nuansa Ramadan di Masa Lalu

Ngabuburit di Ciguriang Tahun 1980-an

Di tahun 1980-an anak-anak di Ciguriang menjalankan aktivitas ngabuburit juga dengan melakukan banyak hal. Sebagian besar seperti anak-anak pada umumnya bermain petak umpet, ucing bancakan, galah, boy-boyan, main kelereng, main layangan dan banyak permainan lain. Jumlah anak yang banyak itu berkumpul di satu tempat, di lapangan bulutangkis di tengah kampung yang masih berupa lapangan tanah.  Sebagian yang mempunyai sepeda bermain sepeda dari Ciguriang ke jalan Haji Iskat, patokan terjauh saat itu adalah sampai ke rumah nomor 7, karena kami akan kena omel orang tua jika bermain terlalu jauh. Waktu itu, selain congklak dan beklen, bermain monopoli, kuartet, atau cangkulan dengan kartu remi juga mengasyikkan, biasanya saya melakukannya bersamasaudarasaudara sepupu yang cukup banyak berkumpul. 

Rio, satu teman seangkatan penulis menyebutkan, selain bermain kelereng mereka juga sering sekadar menonton bapak-bapak yang ngabuburit bermain kelereng. Itu saat kami masih di usia sekolah dasar. Ketika mulai remaja, daerah tujuan ngebuburit pun berubah sesuai kesepakatan dengan temen-temen yang tinggaldi daerah lain. Saya sendiri lebih memilih membaca buku di atas pohon jambu, atau mengunjungi toko buku Gramedia di Jalan Merdeka dengan berjalan kaki, sekadar numpang baca buku. Sasaran saya adalah buku-buku karangan Enid Blyton, seperti Lima Sekawan, Pasukan Mau Tahu, Sapta Siaga, Malory Towers, dan lain-lain. Lalu ngabuburit seperti apa favorit teman-teman pembaca di waktu kecil?  

*Kawan-kawan yang baik, silakan menengok tulisan-tulisan lain Ernawatie Sutarna atau artikel-artikel lain tentang Sejarah Bandung

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//