• Cerita
  • Mengundi Nasib ‘Kabur Saja Dulu’ dari Bandung ke Australia tak Semudah yang Dibayangkan

Mengundi Nasib ‘Kabur Saja Dulu’ dari Bandung ke Australia tak Semudah yang Dibayangkan

Perantauan Ryan Erlangga dimulai dari kebingungan akan masa depan di tanah sendiri, lalu memutuskan mengundi nasib ke benua hijau Australia.

Ryan Erlangga tengah bekerja menanam sayur di ladang Australia. (Sumber: Dok. Ryan Erlangga)

Penulis Fauzan Rafles 12 Maret 2025


BandungBergerak.id - Mengundi nasib di tanah air harus berbenturan dengan kerasnya kehidupan. Belum lagi pajak yang semakin membesar dengan tidak adanya transparansi uang pajaknya dialihkan ke mana. Sementara syarat-syarat pekerjaan yang diajukan oleh perusahaan tidak masuk logika.

Berpenampilan menarik, memiliki pengalaman minimal lima tahun, memiliki ijazah S1, sudah muak dibaca oleh para pencari kerja. Ryan Erlangga (30 tahun) salah satunya.

Ia merantau dari Kota Padang ke Kota Bandung sejak 2014. Tujuan awalnya sederhana, hanya mengisi waktu libur kuliah sembari mencari tambahan uang jajan dengan menjadi supir ojek online (ojol).

Sejak lulus kuliah, ia melanjutkan perantauannya di Kota Kembang. Berbagai macam jenis pekerjaan ia lamar. Mulai dari pekerjaan yang selaras dengan jurusan kuliahnya yaitu Teknik Elektro, hingga yang sangat bertolak belakang sekali pun.

Tidak satu perusahaan pun memanggil. Beberapa surel yang masuk hanya berisi ucapan terima kasih dan penjelasan kalau ia tidak masuk kriteria perusahaan. Banyak yang menolak karena ia hanya memiliki ijazah D3. Hingga akhirnya, itulah yang membuat ia memutuskan untuk tetap melanjutkan menjadi driver ojol.

Sembari melanjutkan perjalanan menjadi ojol, Ryan belum putus asa, ia tetap mengirim surat lamaran, dan kali ini ke luar kota. Undian nasib pertama adalah Pulau Dewata. Bekerja di bidang hospitality menjadi pemandu wisata daerah Bali.

Pekerjaan yang bukan lagi mungkin, tapi memang tidak sesuai dengan jurusan kuliahnya di Universitas Negeri Padang. Satu tahun menjadi pemandu wisata, Ryan merasa pekerjaannya tidak cukup untuk menopang hidup. Gajinya hanya cukup membiayai biaya harian. Sedangkan porsi kerjanya lumayan menguras banyak tenaga.

Setelah setahun, Ryan memutuskan untuk pindah ke mantan Ibu Kota Indonesia yaitu Jakarta. Perjalanan dalam pengundian nasib hidupnya berlanjut dengan menjadi pegawai bank. Salah satu pekerjaan yang mungkin terlihat layak di mata keluarga besar. Namun, tetap saja ini masih di Indonesia. Pekerja masih jauh dari mendapatkan kehidupan yang layak.

Tidak memiliki keahlian secara spesifik dalam satu bidang membikin Ryan menjadi kesulitan dalam mendapat pekerjaan tetap di Indonesia. Hal itu membuatnya frustasi tinggal di negeri ini. Persaingan ketat serta jumlah lapangan pekerjaan yang tidak banyak, dan tidak adanya pengalaman kerja di satu bidang yang sama membuatnya muak.

Di ambang kebingungannya, ia mulai banyak meriset sedalam mungkin di internet. Bermuhasabah diri, sehingga akhirnya terlintas di benaknya untuk pergi meninggalkan Indonesia. Menurutnya, sekeras-kerasnya bekerja di perantauan masih lebih keras menjadi pekerja apa pun di Indonesia.

Dengan cerita dan relasi teman-teman, Ryan menemukan cara untuk pergi ke luar Indonesia. Tujuannya yakni adalah salah satu negara di benua hijau: Australia.

Ia menargetkan visa WHV (Working Holiday Visa). Visa yang memungkinkan warga negara tertentu tinggal sementara di Australia sambil bekerja, berlibur, atau belajar.

Tujuan awal Ryan meninggalkan Indonesia sejatinya sederhana: membangun masa indah di hari tua nanti. Tentu, membantu perekonomian keluarga juga menjadi tujuan.

Meski, menurutnya, membantu keluarga tidaklah dapat dilakukan jika diri sendiri belum kenyang. Dengan demikian, merantau adalah solusi terbaik baginya untuk memutarkan roda perekonomian.

Persyaratan khusus untuk mengikuti program ini adalah harus memiliki skor IELTS (International English Language Testing System) di atas 5, memiliki uang di rekening bank sejumlah AUD 5,000, pernah berkuliah setidaknya 2 tahun, tes kesehatan, dan yang baru-baru ini adalah tes polio.

Ryan dengan kerasnya mengusahakan berbagai macam persyaratan itu. Les IELTS, mengumpulkan modal, mendata dokumen, mencari koneksi di Australia, semua ia persiapkan seperti halnya anak SMA yang sedang mempersiapkan daftar masuk kuliah.

Kegelisahannya terhadap pekerja di Indonesia yang kurang dihargai membulatkan tekadnya. Menurutnya, Australia menjadi negara yang bisa menghargai pekerja. Bukan hanya dari upah, tapi keringat para buruh betul-betul diberikan kelayakan hidup oleh pemerintah.

Pemikiran Ryan sejatinya adalah benar bila merujuk pada data yang disebutkan oleh OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development). Australia secara konsisten masuk dalam daftar negara dengan upah minimum tertinggi di dunia.

Tidak hanya itu, indeks dari OECD Better Life Index yang mengukur kualitas hidup di berbagai negara berdasarkan keseimbangan kehidupan kerja, pendapatan, dan pekerjaan. Australia secara konsisten mendapat skor tinggi dalam indeks ini.

Pajak dan biaya hidup juga tentunya jauh lebih besar dari Indonesia. Selain ekonomi, Ryan juga mempertimbangan kualitas hidup, transportasi umum, dan kesehatan yang lebih terjamin. Satu hal lagi, yang paling penting, di Australia tidak ada ormas meresahkan dan tukang parkir liar.

Ryan berangkat dari Indonesia ke Australia Februari 2023. Di negeri Kanguru tidak hanya ia yang belum memiliki nasib baik di Indonesia. Ia bertemu dengan mantan manajer bank, hotel, dan restoran, bahkan juga mantan dosen.Dari ceritanya, mereka juga sama-sama memiliki pemikiran yang sama dengan Ryan: mencari kehidupan yang lebih kayak.

“Kalau pengalaman saya kerja di Indo, agak susah sih buat upgrade skill atau gaji. Dan ternyata bukan saya aja, beberapa rekan saya di Aussie (Australia) juga begitu. Banyak yang di Indonya dulu manajer atau dosen, tapi dia tetep milih kerja kasar di Aussie,” curah Ryan, kepada BandungBergerak, 23 Januari 2025.xxx

Di Indonesia sendiri, Ryan tidak pernah bekerja yang sesuai dengan jurusannya. Malahan saat di Australia, justru ia pernah jadi teknisi atau maintenance yang sesuai dengan jurusannya.

Gelar Ahli Madya Teknik Elektro yang ia miliki ternyata jauh lebih dihargai di Australia. Dan meski ia tidak memiliki pengalaman khusus bekerja di bidang itu.

Ryan Erlangga di Australia. Ryan tiba di perantauan tahun 2023. (Sumber: Dok. Ryan Erlangga)
Ryan Erlangga di Australia. Ryan tiba di perantauan tahun 2023. (Sumber: Dok. Ryan Erlangga)

Tak Lekang oleh Panas, tak Lapuk oleh Hujan

Setelah tiba di Australia, Ryan tetap mencari kerja dengan mengandalkan komunitas atau perkumpulan Warga Negara Indonesia (WNI) di sana. Pekerjaan pertamanya adalah bekerja di restoran milik orang Indonesia. Sekitar satu musim di sana, Ryan melanjutkan lagi perjalanan dengan bekerja di perkebunan.

Menjadi seorang pekebun yang dibayar sesuai dengan jumlah buah yang berhasil ia petik membuat perjalanannya semakin tidak mudah. Kerasnya kehidupan di kebun bagi Ryan adalah ketika ia harus cekatan dalam memetik buah. Pintar memetik saja tidak cukup.

Suhu dan cuaca juga menjadi penghalang. Bila suhu terlalu terik, maka ia tidak bisa bekerja. Jika ia berhenti memetik, itu berarti ia juga harus rela tidak mendapat upah. Banting tulang di perkebunan membuat seorang Ryan pernah mendapat penghasilan kotor sebanyak 40 juta rupiah sebulan.

“Jangan terlalu berharap bekerja enak kalau mau pakai visa WHV. Meski uangnya gede, tapi kalau mau kerja sesuai passion, tetap butuh rekomendasi, tes, dan lain-lain. Temen saya di sini yang mantan manajer dan mantan dosen juga sama-sama kerja kasar sama saya yang cuma jurusan D3 ini, kok,” tuturnya, tegas.

Ia juga menambahkan “persiapkan juga fisik sama mental yang utama. Di sini kerjanya keras, harus tekun dan tahan banting. Jangan malas, karena kalau gak kerja berarti gak dapet duit.“

Kini, ia tengah bekerja di pabrik daging. Upah yang bisa didapatkan adalah sekitar AUD 1,000 dalam seminggu. Namun, ia harus rela mengalokasikan uangnya sebanyak AUD 70 untuk bensin, AUD 200 untuk sewa kost, makan sehari-hari, dan harus rela dipotong pajak 15 persen selaku pengguna visa WHV.

Australia memang menyandang gelar salah satu negara yang mensejahterakan pekerjanya. Namun, bagai kerakap tumbuh di batu, hidup segan mati tak mau. Kehidupan Ryan di perantauan tidaklah semulus itu. Ia diharuskan tetap bertahan walau diterpa getir kehidupan.

Banyaknya giuran dari konten figur publik yang mengemas WHV seakan adalah pekerjaan mudah untuk menghasilkan uang. Realitanya, WHV adalah pertaruhan yang cukup dahsyat. “Kalau kita gak punya ilmu, pengalaman kerja, dan kenalan, mau di mana pun negaranya tetap susah,” jelas Ryan.

Bekerja dengan menggunakan visa WHV sebenarnya memang dapat membuat ekonomi seseorang menjadi jauh lebih baik. Asalkan, setiap individu dapat mengelola keuangannya dengan sangat baik dengan kata lain: berhemat.

“Sekarang saya bekerja di dua pekerjaan. Pagi sampai sore di pabrik daging, lanjut dari sore sampai malam di restoran Indonesia. Terus kalau libur, saya sempatkan buat narik taxi online. Soalnya kalau gak gitu, gak akan kekumpul-kumpul ini uangnya. Hidup di sini gak seenak yang influencer liatin di sosmed,” curah sang perantau

WHV dan Ketimpangan dalam Pasar Kerja Migran

Di balik peluang kerja dan ekonomi yang lebih baik, skema WHV juga menyimpan berbagai tantangan yang kerap tidak terekspos dalam narasi populer. Salah satu persoalan yang muncul dalam WHV adalah ketimpangan posisi kerja antara migran dan pekerja lokal.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Laurie Berg dan Bassina Farbenblum (2017) dalam jurnal Wage Theft in Australia: Findings of the National Temporary Migrant Work Survey, ditemukan bahwa hampir 30% pekerja migran di Australia termasuk pemegang WHV dibayar di bawah upah minimum.

Ketimpangan ini tidak hanya terjadi akibat status visa mereka yang sementara, tetapi juga karena kebijakan migrasi yang membatasi akses mereka terhadap perlindungan tenaga kerja yang lebih kuat.

Kondisi ini juga lebih rentan bagi perempuan pekerja migran. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Anna Boucher (2022) dalam jurnalnya Migrant Labour and the Politics of Protection: A Gendered Perspective, ditemukan bahwa perempuan pemegang WHV lebih sering mengalami ketidakstabilan kerja dibandingkan laki-laki.

Mereka cenderung mendapatkan pekerjaan dengan sistem kontrak jangka pendek, lebih sulit mendapatkan promosi atau visa sponsor, serta lebih rentan terhadap pelecehan di tempat kerja. Banyak dari mereka yang akhirnya memilih pekerjaan di sektor informal, yang meskipun fleksibel, tetapi lebih berisiko dalam hal jaminan sosial dan hukum ketenagakerjaan.

Fenomena ini menunjukkan bahwa WHV bukan hanya sekadar “jalan keluar” dari permasalahan ekonomi di negara asal, tetapi juga memiliki dampak sistemik yang lebih luas terhadap pengalaman pekerja migran, terutama bagi kelompok yang lebih rentan seperti perempuan.

Meskipun WHV menawarkan kesempatan bekerja dengan gaji lebih tinggi dibandingkan di Indonesia, status pekerja migran tetap menempatkan mereka dalam posisi negosiasi yang lemah di pasar tenaga kerja negara tujuan.

Baca Juga:

Catatan Kelam Kematian Buruh Migran Indonesia, di Mana Tanggung Jawab Negara?

Buruh Migran Indonesia Terjebak Praktik Penahanan Dokumen

Ajakan Donasi untuk Buruh Migran Indonesia yang Dideportasi Malaysia 

Memantau Tujuan Akhir Sang Perantau

Hidupnya di Australia bisa dibilang terbatas dengan tenggat waktu yang sudah ditentukan. WHV hanya dapat bertahan selama tiga tahun. Dalam kata lain, Ryan harus berhasil mewujudkan mimpinya sebelum masa berlaku visa habis.

Namun, kembali ke Indonesia belum ada di dalam kamus seorang Ryan Erlangga. Ia bersikeras untuk tetap tinggal di negara kangguru itu bagaimanapun caranya. Yang kini tengah ia usahakan adalah visa rekomendasi dari yang mempekerjakannya.

Meski masih ada harapan melalui visa rekomendasi dari bosnya, Ryan juga tetap butuh banyak pengorbanan. Loyalitas dan etos kerja tetap menjadi penilaian. Meski yang punya tetap orang satu bangsa, atasannya tetap tidak akan berani memberinya visa tanpa pertimbangan panjang.

Ryan sendiri mengatakan sedikit nasihat untuk rekan-rekan seperjuangannya juga: “Kalau mau hidup di sini dan punya banyak relasi apalagi sampai dikasih visa, kita jangan belagu atau berulah. Gak boleh baperan juga. Apalagi bikin masalah di negeri orang.”

Sudah dua tahun ia berada di negeri yang dijuluki “the land down under” dan masih belum terpikirkan untuk pulang ke rumah. Tujuan keuangannya masih jauh dari kata memenuhi target. Hampir semua jenis pekerjaan yang tersedia pernah ia ambil. Ryan pernah menjadi supir taxi online, pekebun, teknisi, pegawai pabrik, sampai restoran.

Tahun sudah bertambah dua sejak kepergiannya dari tanah air. Kota-kota seperti Sydney, Devonport, Maffra, Brisbane, Caboolture, dan Sale, telah Ryan jajaki. Dasar lidah natural Nusantara, Ryan masih saja memiliki kendala terhadap bahasa.

Bahasa sebenarnya adalah bagian dari budaya. Menurutnya, banyak faktor yang membuat dirinya masih susah berkomunikasi dalam Bahasa Inggris. Seperti kosakata, kultur, bahasa gaul, dialek, dan lain-lain.

“Ngomongnya pada cepet dan pada pake slang. Tapi, bagusnya, orang sini pada baik dan masih mau ngejelasin apa maksudnya. Dan rata-rata orang sini juga senang ngobrol. Emang sih udah pernah tes IELTS, tapi ternyata bahasa akademik dan bahasa sehari-hari jauh berbeda,” kata Ryan

Menurut Ryan, karena peluangnya untuk kerja kantoran sangat kecil, rencana selanjutnya adalah memperjuangkan visa dari sang juragan. Tujuannya rajin bekerja di restoran Indonesia adalah untuk mendapat rekomendasi visa dari bosnya guna menetapkan hidup di Australia.

Dalam kata lain, saat ini, Ryan di tengah usaha mengumpulkan modal untuk hidup di hari tua, dan juga mencari relasi untuk visa rekomendasi.

Meski dari kacamata orang Indonesia, hidupnya sudah sejahtera, Ryan masih harus terus berjuang. Memang ekonominya sudah membaik. Perutnya kenyang dan keluarganya pun sudah banyak terbantu. Namun, itu tidak serta merta menjadi jaminan. Banyak hal-hal yang tidak sesuai ekspektasi dan itu adalah realita yang tengah ia jalani.

“Yaa, sekarang sih lagi belajar investasi biar uangnya gak hilang gitu aja. Setengah dari penghasilan langsung saya investasiin. Dan setengahnya lagi dipake buat biaya hidup. Kalau gak gitu, gak akan kekumpul uangnya. Nanti makin lama deh pensiunnya,” katanya.

Sudah meninggalkan tanah air, bukan berarti tidak ada secercah pemikiran tuk kembali. Bagaimanapun Ryan adalah bocah asli Nusantara. Ia tumbuh besar di kampung Malin Kundang. Belajar mencari uang di Tanah Pasundan. Tentu, ia akan kembali. Tidak dalam waktu dekat. Tapi saat masa tua nanti, ia akan habiskan di kampung halaman.

“Kapan pulang? Mungkin setelah usaha yang saya miliki bisa memberikan saya penghasilan untuk hidup di Indonesia setara dengan penghasilannya di Australia,” tuturnya dengan penuh keyakinan.

*Kawan-kawan bisa membaca artikel-artikel lain dari Fauzan Rafles, atau tulisan-tulisan menarik lain Buruh Migran

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//