• Nusantara
  • Buruh Migran Indonesia Terjebak Praktik Penahanan Dokumen

Buruh Migran Indonesia Terjebak Praktik Penahanan Dokumen

Tahun 2020, remitansi yang dikirimkan buruh migran ke Indonesia mencapai 189 triliun. Tetapi kontribusi ini tak sepadan dengan jaminan keselamatan kerja.

Cuplikan film dokumenter Penahanan Dokumen PMI Melanggar Hukum yang diputar di sela-sela jumpa pers daring Kabar Bumi, Rabu (15/12/2021). (Dok. Kabar Bumi)

Penulis Iman Herdiana16 Desember 2021


BandungBergerak.idPepatah nahas “sudah jatuh tertimpa tangga” kerap dialami para buruh migran atau tenaga kerja Indonesia (TKI) yang berniat memperbaiki nasib di luar negeri. Alih-alih bisa membantu beban ekonomi rumah tangga, mereka justru mendapatkan perlakuan buruk dari berbagai lini, baik di dalam maupun di luar negeri. Salah satu masalah yang sering dihadapi buruh migran adalah penahanan dokumen pribadi.

Kasus penahanan dokumen pribadi yang dihadapi para buruh migran direkam dalam film “Penahanan Dokumen PMI Melanggar Hukum” yang diputar di sela-sela jumpa pers daring Kabar Bumi, Rabu (15/12/2021). Salah satu narasumber film ini perempuan berinisial EA yang pada 1 April 2019 terbang ke luar negeri untuk bekerja. Setibanya di rumah majikan, EA malah jatuh sakit. Selama tiga minggu ia harus menginap di agensi sebelum bisa kembali ke Indonesia, Mei 2019.

Sayangnya, dengan kepulangannya tidak berarti masalah EA selesai. Perusahaan atau agen TKI yang kini disebut P3MI yang memberangkatannya kerja meminta uang ganti rugi sebesar Rp 15 juta. P3MI tidak mau mengembalikan dokumen jika EA tidak membayar uang ganti rugi.

EA akhirnya mendapatkan pendampingan dari Keluarga Besar Buruh Migran Indonesia (Kabar Bumi). Organisasi buruh migran ini kemudian mendampingi EA agar mendapatkan dokumen-dokumen pentingnya yang ditahan P3MI. Setelah melewati mediasi yang alot, akhirnya EA bisa mendapatkan dokumennya.

Lain lagi dengan Eka Meilianti, istri seorang buruh migran yang berkerja di Malaysia. Suami Eka pulang pada 2010. Ketika hendak mengambil dokumen pribadinya berupa KTP, Kartu Keluarga, ijazah, dan lain-lain, rupanya calo yang memberangkatannya telah meninggal dunia. Suami Eka sempat menanyakan keberadaan dokumennya kepada istri si calo.

“Istrinya (calo) tidak tahu. Katanya (dokumen) suami saya di PT (P3MI), tapi suami saya tidak tahu alamatnya. Suami saya kehilangan ijazahnya,” katanya.

Menurutnya, kehilangan KTP dan KK masih bisa bikin baru lagi. Tapi kalau sudah ijazah, sangat sulit menggantinya. Akhirnya suami Eka tidak bisa melamar pekerjaan di pabrik-pabrik. Ia hanya bisa bekerja sebagai buruh bangunan atau serabutan. 

Baca Juga: KBMB Menuntut Malaysia agar Menghentikan Penangkapan Buruh Migran Indonesia
Pertanyaan tentang Kemerdekaan dari Buruh dan warga Tamansari Bandung

Cuplikan film dokumenter Penahanan Dokumen PMI Melanggar Hukum yang diputar di sela-sela jumpa pers daring Kabar Bumi, Rabu (15/12/2021). (Dok. Kabar Bumi)
Cuplikan film dokumenter Penahanan Dokumen PMI Melanggar Hukum yang diputar di sela-sela jumpa pers daring Kabar Bumi, Rabu (15/12/2021). (Dok. Kabar Bumi)

Sebanyak 7 dari 10 Buruh Migran Mengalami Penahanan Dokumen

Penahanan dokumen pribadi milik Pekerja Migran Indonesia (PMI) oleh calo, P3MI, agen, maupun majikan di luar negeri sudah jelas perbuatan ilegal. Ketua Kabar Bumi, Karsiwen, mengatakan Indonesia maupun konvensi hukum internasional menyatakan bahwa penahanan dokumen milik PMI merupakan pelanggaran hukum.

“Hak PMI untuk mendapatkan dan menguasai dokumen identitas dan hukum, merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dijamin oleh Konstitusi,” papar Karsiwen, dalam jumpa persnya.

Salah satu payung hukum bagi PMI ialah UU 18 tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia. Pasal 6 ayat 1 terkait hak Calon PMI disebutkan bahwa “Setiap Calon Pekerja Migran Indonesia atau Pekerja Migran Indonesia memiliki hak untuk menguasai dokumen perjalanan selama bekerja dan memperoleh dokumen dan perjanjian kerja Calon Pekerja Migran Indonesia dan/atau Pekerja Migran Indonesia”.

Bahkan Indonesia telah meratifikasi konvensi PBB tantang tentang Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan pada  UU Nomor 7 Tahun 1984. Pada Angka 26 huruf d tegas disebutkan, “Perlindungan hukum bagi kebebasan bergerak: Negara Peserta hendaknya memastikan bahwa majikan dan perekrut tidak menyita atau menghancurkan dokumen perjalanan atau identitas milik perempuan migran”.

Tetapi aturan tinggal aturan. Faktanya, mayoritas buruh migran mengalami penahanan dokumen. Temuan terbaru, Kabar Bumi melakukan survei terhadap 100 orang buruh migran di Cilacap. Hasilnya, 70 persen PMI mengalami penahanan dokumen. Sebanyak 73 persen PMI yang mengalami penahanan dokumen adalah perempuan yang bekerja sebagai PRT migran. Terdapat 84 persen responden P3MI menolak mengembalikan dokumen, dan 68 persen calo tidak mau membantu mengambil dokumen milik PMI.

Dokumen pribadi yang ditahan oleh P3MI dan agen di luar negeri antara lain: KTP, KK, akta lahir, surat nikah, ijazah dan sertifikat tanah, paspor, dan perjanjian kerja. Alasan agen TKI atau P3MI menolak mengembalikan dokumen bermacam-macam, antara lain, sebagai jaminan untuk pembayaran biaya penempatan yang dijadikan utang.

Karsiwen menyayangkan hingga saat ini tidak ada mekanisme penyelesaian kasus penahanan dokumen oleh P3MI. Jalur penyelesaian yang umumnya dipakai adalah mediasi. Kebanyakan PMI dan keluarganya harus bertarung sendiri dengan P3MI untuk mengambil dokumen mereka. Kalaupun ada peran pemerintah, dalam hal ini Kemnaker, sifatnya hanya sebagai mediator.

“Ketika mediasi pekerja dan PT akan saling berargumentasi. Pemerintah hanya mediator saja, bukan sebagai penegak hukum,” katanya.

Karsiwen berharap, pemerintah mestinya bisa berperan sebagai penegak hukum karena penahanan dokumen merupakan pelanggaran hukum. Tetapi penahanan dokumen terus berulang dan ada impunitas terhadap pelaku penahanan dokumen karena tidak adanya mekanisme penanganan dan penghukuman untuk pelaku penahanan dokumen pribadi.

Hasil survei Kabar Bumi, P3MI di Indonesia terbilang menjamur. Ia mencatat ada 300 lebih P3MI yang sudah teregistrasi, itu belum termasuk cabang-cabangnya. “Dalam praktiknya banyak yang tidak teregistrasi secara langsung, hanya cabang yang menginduk. Hasil survei kami, semuanya melakukan penahanan dokumen,” kata Karsiwen.

Sementara mengenai payung hukum yang ada saat ini, Karsiwen menyatakan belum ada pasal yang bisa diterapkan untuk menindak agen TKI yang menahan dokumen milik PMI. Pemerintah seharusnya membuat payung hukum untuk menindak para P3MI nakal ini.

“Sayangnya memang di sini payung hukum untuk menindak P3MI itu tidak ada. Ini sedang diupayakan bagaimana pemerintah menegakkan hukum atas kasus penahanan dokumen,” katanya.

Selain itu, tidak adanya standar atau mekanisme biaya penempatan TKI membuat para buruh migran menjadi ladang eksploitasi berupa beban biaya penempatan yang berlebih (overcharging), pemalsuan,  penyitaan dan penahanan dokumen hukum, kependudukan, dan identitas pribadi, kerja paksa (debt bondage) dan  jeratan hutang. Hal tersebut dapat terjadi pada setiap tahapan migrasi pra-keberangkatan, masa bekerja, dan saat kembali.

Pahlawan Devisa

Tanpa payung hukum yang tegas, nasib PMI akan terus tertimpa tangga. Di dalam negeri menjadi ladang bisnis bagi para calo atau P53MI, di luar negeri menjadi bulan-bulanan majikan. Padahal mereka adalah pahlawan devisa yang berkontribusi besar pada negara. Tahun 2020 ini saja nilai remitansi yang dikirimkan buruh migran ke Indonesia mencapai 189 triliun! Namun besarnya kontribusi ini tak berbanding lurus dengan jaminan keselamatan kerja yang mestinya mereka dapatkan.

Kabar Bumi merilis bahwa Indonesia merupakan negara asal jutaan pekerja migran di seluruh dunia. Menurut Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, 4,79 juta WNI bekerja di luar negeri (BP2MI, 2020). Namun, sebuah studi yang dilakukan Bank Dunia pada 2017 memprediksi jumlah pekerja migran Indonesia (PMI) jauh lebih banyak, diperkirakan terdapat sembilan juta PMI yang berkerja di sekitar 40 lebih negara tujuan kerja (Bank Dunia, 2017). Dari jumlah tersebut, 65-70 persen adalah perempuan yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga (PRT). 

Ada banyak faktor mengapa PMI khususnya perempuan memilih bekerja di luar negeri. Yang utama adalah dorongan persoalan struktural yaitu kemiskinan dan ketiadaan lapangan pekerja yang layak. Hal tersebut beriringan dengan cita-cita dan harapan untuk memajukan kondisi ekonomi, meningkatkan pendapatan rumah tangga, dan meningkatkan kesempatan pendidikan bagi keluarga. Faktor lainnya, bekerja di luar negeri sebagai cara untuk menghindari dan bahkan melarikan diri dari kekerasan yang terjadi di dalam rumah tangga.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//