• Nusantara
  • Catatan Kelam Kematian Buruh Migran Indonesia, di Mana Tanggung Jawab Negara?

Catatan Kelam Kematian Buruh Migran Indonesia, di Mana Tanggung Jawab Negara?

Koalisi Buruh Migran Berdaulat (KBMB) mencatat sepanjang Maret 2021 hingga Juni 2022 ada sebanyak 2.191 buruh migran dan keluarganya dideportasi. 

Buruh dari serikat pekerja KASBI saat aksi unjuk rasa di Bandung, Jawa Barat, 14 Oktober 2021. KASBI terus mendesak pemerintah untuk membatalkan omnibus law dan aturan-aturan yang merugikan buruh dalam aksi yang juga digelar sebagai bagian dari peringatan berdirinya Federasi Serikat Buruh Dunia atau World Federation of Trade Unions. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Emi La Palau30 Juni 2022


BandungBergerak.idPersoalan buruh migran dan perdagangan orang masih menjadi persoalan pelik yang menjadi pekerjaan rumah yang harus ditangani pemerintah. Buruh migran Indonesia banyak menjadi korban tindakan sewenang-wenang dari majikan. Tidak sedikit kasus buruh migran yang dipulangkan dalam kondisi sudah tak bernyawa.

Koalisi Buruh Migran Berdaulat (KBMB) mencatat sepanjang Maret 2021 hingga Juni 2022, telah terjadi 10 kali deportasi dari 5 pusat tahanan imigrasi di Sabah, Malaysia menuju Nunukan, Kalimantan Utara. Pada periode tersebut, ada sebanyak 2.191 buruh migran dan keluarganya dideportasi. Dengan rincian 1.765 di antaranya buruh migran laki-laki, dan 426 perempuan.

Kemudian sebanyak 1.996 orang merupakan deportan dewasa, dan 195 adalah anak-anak berusia 18 tahun, yang di antaranya 57 anak-anak berusia di bawah 5 tahun atau balita.

Lembaga Bandung Hukum (LBH) Bandung yang juga tergabung dalam KBMB mengungkapkan bahwa dalam kurun waktu selama 2.021 terdapat 101 warga negara Indonesia yang meninggal di seluruh pusat tahanan imigrasi Sabah. Pada periode Januari hingga Juni 2022 ada 48 WNI yang meninggal di seluruh pusat imigrasi. Sehingga total ada 149 buruh migran yang meninggal dunia di pusat tahanan imigrasi.

“Catatan dari kami, perlindungan buruh migran di luar negeri masih sangat lemah sampai saat ini,” kata anggota LBH Bandung Bidang Kampanye, Wisnu Prima, kepada BandungBergerak.id, di kantor LBH Bandung, Selasa (28/6/2022) malam.

Wisnu Prima mengungkapkan pihaknya pada 2019 sempat menangani beberapa kasus buruh migran salah satunya di Arab Saudi yang bentuknya perdagangan orang. Mereka kurang mendapatkan perlindungan dari pemerintah.

Beberapa alasan yang selalu dilontarkan pemerintah yakni keterbatasan anggaran. Padahal menurut Wisnu pemerintah khususnya KBRI memiliki tanggung jawab untuk melindungi warga negaranya.

“Beberapa kendalanya adalah karena lintas yuridiksi yang membuat mereka sulit untuk mengakses beberapa masalah lainnya adalah. Mereka selalu bilang tidak punya anggaran,” ungkap Wisnu, seraya menambahkan bahwa lemahnya perlindungan terhadap buruh migran terjadi juga pada buruh migran secara umum, baik di Arab Saudi maupun yang sekarang yang sedang ramai jadi sorotan, yakni buruh migran di Sabah, Malaysia.

Baca Juga: Ajakan Donasi untuk Buruh Migran Indonesia
Buruh Migran Indonesia Terjebak Praktik Penahanan Dokumen
KBMB Menuntut Malaysia agar Menghentikan Penangkapan Buruh Migran Indonesia

Angka Kematian Buruh Migran terus Meningkat di NTT

Suster Laurentina, selaku pengurus Badan Pengurus Komisi Keadilan Perdamaian Migran Perantau Konferensi Wali Gereja Indonesia sekaligus Koordinator Pekerja Migran NTT, mengungkapkan beberapa kondisi yang dialami oleh buruh migran Indonesia yang berasal dari Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).

Laurentina yang juga bertugas sebagai pelayan kargo jenazah mengungkapkan catatan kematian buruh migran terus meningkat, sejak ia bertugas dari 2017 lalu. Pada 2017 terdapat 64 kasus kematian yang dipulangkan ke NTT. Meningkat pada 2018 menjadi 108 kasus, 2019 kembali meningkat menjadi 119 kasus.

Lalu pada 2020, karena pandemi banyak jenazah yang tak dapat dipulangkan, hanya ada 75 jenazah yang berhasil dipulangkan. Lalu pada 2021 terdapat 136 jenazah yang dipulangkan. Dan sejak Januari hingga Juni 2022 sudah ada 40 jenazah yang dipulangkan.

Angka kematian ini terus meningkat dan memprihatinkan. Laurentina mengatakan bahwa tiap minggu ada jenazah yang dipulangkan ke NTT. Awal-awal beberapa jenazah tak memiliki dokumen karena direkrut oleh para calo yang ingin mengambil keuntungan.

Laurentina menjelaskan faktor ekonomi menjadi salah satu pemicu mengapa masyarakat khususnya di NTT menjadi korban perdagangan orang. Selain itu, kondisi di NTT dengan sumber daya alam yang ada dan keterbatasan sumber daya manusia yang masih minim, tak mampu meningkatkan perekonomian maupun kehidupan warga. Pemerintah setempat juga cenderung lepas tangan dan tak mampu menghadirkan kesejahteraan terhadap warganya.

Faktor pendidikan menjadi persoalan lainnya. Pemuda di kawasa NTT banyak yang berpendidikan rendah karena keterbatasan ekonomi.

“Anak muda di NTT kebanyakan ingin menjadi PNS, sementara pemuda di pedalaman lainnya hanya bekerja sebagai petani. Untuk membiayai sekolah mereka membutuhkan uang cash. Jika bertani harus menunggu hasil beberapa bulan dan ada potensi kegagalan,” cerita Laurentina, dikutip dalam diskusi Migrant Talk #1 yang diadakan di kantor LBH Bandung, Selasa (28/6/2022).

Warga NTT yang tergiur mencari uang dengan cara cepat, akhirnya terbujuk calo yang datang ke kampung-kampung menawarkan pekerjaan. Sementara calo tersebut meraup keuntungan per kepala dihargai 9 juta hingga 30 juta Rupiah.

Sementara itu, para calon pekerja karena tak mendapatkan edukasi dan informasi yang memadai terpaksa menjadi korban perdagangan manusia. Yang kemudian dikirim menjadi buruh migran nonprosedural.

“Calo itu cari uang, mau yang buta huruf maupun gila juga tetap dikirim,” kata Laurentina.

Kebanyakan kasus yang menumpa buruh migran NTT adalah perempuan, beberapa di antaranya mereka masih berusia anak. Bahkan Laurentina menurutkan, ada perempuan buruh migran yang menjadi korban perdagangan mayat. Persoalan perdagangan orang maupun kasus orang hilang di NTT, banyak terjadi.  

“Kasus orang hilang banyak terjadi di NTT, termasuk tadi ada seorang anak 10 tahun, sejak SMP hanya pamit mau ke Kupang lalu tidak kembali hingga kini. Ada yang bilang dibawa ke Malaysia, sampai saat ini apakah dia masih hidup atau sudah meninggal, itu tidak diketahui,” ungkapnya.

Pemerintah Harus Bertanggung Jawab

Sudah sejak 2017 Laurentina menjadi pelayan kargo jenazah para buruh migran nonprosedural khususnya untuk wilayah NTT. Ia membantu mengurusi jenazah-jenazah buruh migran Indonesia yang tak memiliki dokumen, untuk dipulangkan pada keluarga.

Tentu bukan pekerjaan mudah. Pun pemerintah sering kali luput menunaikan tugas dan tangung jawab. Menurutnya, manusia meski sudah tak bernyawa, mestinya mendapat hak untuk diperlakukan dengan baik oleh negara. Jika pemerintah tak hadir, ia mencoba menggantikan peran itu. Namun, jika sudah tak bisa, ia akan bersuara dengan keras menuntut kehadiran pemerintah. Sama halnya ketika beberapa waktu lalu ia dan buruh migran lainnya melakukan aksi demonstrasi di depan kantor Kedubes Malaysia di Jakarta.

“Kami menghargai martabat manusia meskipun dia sudah menjadi jenazah, bukan soal seonggok daging yang kaku tapi bagaimana itu adalah martabat manusia yang harus tetap dijunjung tinggi. Itu prinsip kami dalam pelayanan kargo,” ungkapnya.

Hingga kini, pemulangan jenazah buruh migran nonprosedural tak diurus oleh Pemerintah. Kementerian Luar Negeri pernah mengeluarkan pernyataan bahwa tak akan mengurusi buruh migran nonprosedural. Akibatnya, ada para pekerja buruh migran nonprosedural ini yang didapati meninggal dunia di Malaysia. Keluarga harus memulangkan menggunakan dana pribadi. Atau mengandalkan dana udunan sesama buruh migran.

Laurentina berharap besar agar pemerintah mau bertanggung jawab dengan memberikan perlindungan terhadap buruh migran prosedural maupun yang nonprosedural. Bagaimanapun, mereka memberikan sumbangsih pendapatan yang tak sedikit kepada negara.

“Kalau harapan kami sebagai penggiat pekerja migran yang ada di daerah dan pada umumnya di Indonesia, jadi siapa pun mereka pekerja di luar negeri ya harusnya dapat perlindungan,” kata Laurentina.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//