• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Sistem Pendidikan Indonesia, dari Kenyamanan yang Membelenggu Menuju Perubahan yang Membangun

MAHASISWA BERSUARA: Sistem Pendidikan Indonesia, dari Kenyamanan yang Membelenggu Menuju Perubahan yang Membangun

Pemerintah juga harus mempertimbangkan dan mengubah tekanan terhadap guru yang sifatnya administratif dan kewajiban birokrasi yang berat.

Yoga Ariansyah Tarigan

Mahasiswa Telkom University

Ilustrasi. Pendidikan berperan penting bagi kemajuan suatu bangsa. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id)

13 Maret 2025


BandungBergerak.id – Hasil penelitian Program for International Student Assessment (PISA) 2022 telah diumumkan pada 5 Desember 2023 lalu. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa, Indonesia berada di peringkat 69 dari 81 negara, dengan skor matematika 397 poin, sains 398 poin, dan membaca 371 poin. Data tersebut merupakan bukti bahwa terdapat sistem yang salah pada pendidikan di Indonesia. Sistem pendidikan yang salah ini menjadi hambatan untuk mencapai sesuatu pendidikan yang berkualitas. Ketika sesuatu yang semestinya terjadi tidak berjalan sesuai kenyataan yang ada, pasti terdapat ketimpangan yang nyata merugikan. Inilah yang menjangkiti sistem pendidikan kita sekarang ini.

Terdapat beberapa faktor yang memengaruhi kualitas pendidikan kita, salah satunya yang paling berpengaruh adalah sistem pada pendidikan itu sendiri. Sistem pendidikan yang kita miliki saat ini tidak cukup memberikan tekanan untuk mengubah kualitas pendidikan, baik pada guru, siswa, maupun tenaga pendidikan, bahkan kepada orang tua siswa. Tekanan yang dimaksud bukanlah tekanan yang menyebabkan stres atau beban berlebihan, melainkan tekanan yang mendorong siswa, guru, dan semua pihak pada sistem pendidikan itu terus berkembang.

Ada saat di mana kondisi dan tekanan yang mengubah kita, yang akan meningkatkan kualitas diri kita. Sama halnya dengan pendidikan kita saat ini. Sistem pendidikan kita seperti selalu dimanjakan, murid yang belum melewati standar diluluskan, guru-guru yang belum cukup berkompeten diperbolehkan mengajar, pengawasan sekolah yang buruk, orang tua membiarkan anaknya bermain handphone seharian, dan banyak hal lainnya yang mana itu dibiarkan, itulah yang nantinya menjadi standar pendidikan kita. Keburukan itu lama-kelamaan akan dianggap menjadi suatu hal yang wajar.

Keburukan itu lama-kelamaan akan dianggap menjadi suatu hal yang wajar. Hal itu terjadi karena kita sudah terlalu nyaman dengan kondisi saat ini yang menyebabkan hilangnya gairah untuk berkembang. Tampaknya pembiasaan tersebut telah menjangkiti lingkungan pendidikan dan pembuat kebijakan itu sendiri. Itu akan menyebabkan sistem pendidikan kita berjalan tanpa adanya tantangan yang membangun setiap individu pada sistem pendidikan itu.

Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Meyakinkan Publik adalah Tugas Pejabat Publik!
MAHASISWA BERSUARA: Ketika Nepotisme Menggerogoti Organisasi Mahasiswa
MAHASISWA BERSUARA: Puasa, Perlawanan terhadap Sistem Ekonomi yang Menindas

Lingkungan Belajar

Lingkungan belajar yang telah terjangkit pembiasaan buruk itu menciptakan kondisi yang cukup memprihatinkan. Kini peserta didik tidak lagi memiliki gairah untuk menjadi yang terbaik di lingkungan belajar mereka. Karena kebanyakan teman-teman di sekitarnya juga tidak cukup berprestasi untuk membuat gairah belajar itu semakin tinggi. Belum menyoal pada prestasi, bahkan untuk melewati standar kemampuan belajar saja, sebagian besar siswa tidak mampu untuk mencapainya. Hal tersebut membuat mereka merasa bahwa, tidak ada yang salah jika tidak cukup kompetensi untuk mencapai standar tersebut.

Namun, tidak hanya dari lingkungan belajar sesama peserta didik yang kurang memberikan tekanan. Bahkan, dari orang yang seharusnya membangun peserta didik seolah-olah tidak peduli terhadap kualitas setiap individu yang mereka didik. Mereka terlihat sangat mengabaikan kompetensi dalam meluluskan anak didiknya. Banyak fakta yang telah membuktikan bahwa guru-guru sering menaikkan nilai siswa agar bisa lulus sesuai dengan standar kompetensi yang telah ditentukan.

Seperti yang terjadi pada bulan Agustus 2024 lalu di Depok, 12 guru SMPN 19 Depok manipulasi nilai rapor 51 murid pada lima semester. Dan masih banyak kasus lainnya. Kalian juga pasti pernah melihat kejadian serupa. Ditambah lagi dengan aturan pada kurikulum merdeka yang mengutamakan siswa akan naik kelas dan lulus dari pada membiarkan siswa tinggal kelas dan tidak lulus. Siswa akan kehilangan motivasi belajarnya karena selalu bisa naik kelas dan lulus. Sehingga kita akan menghasilkan lulusan yang ramai di media sosial yang anak SMA tidak bisa membaca, disuruh sebutkan negara di Eropa malah dijawab Garut.

Selain itu, tekanan yang ada sering kali tidak diarahkan pada hal yang seharusnya. Misalnya, guru sebagai pendidik memberi tuntutan untuk menghafal tanpa benar-benar memahami konsepnya. Siswa disuruh meringkas dan menulis materi satu bab. Praktik pendidikan yang seperti ini hanya sebagai transfer of knowledge bukan transfer of value. Penerapan yang tidak efektif ini tentu akan memberikan hasil yang sia-sia. Dengan pendekatan yang salah, tekanan justru menjadi beban, bukan peluang untuk berkembang.

Tekanan yang salah juga kerap dilakukan oleh pemerintah terhadap tenaga pendidik kita. Tenaga pendidik sering kali diberikan tekanan pada beban administrasi yang berat, seperti membuat laporan, mengisi data, dan kewajiban birokrasi lainnya yang bukan pada peningkatan kualitas pendidikan. Beban administratif ini sangat menguras waktu dan tenaga pendidik yang seharusnya dapat digunakan untuk mengembangkan metode pembelajaran dan meningkatkan kualitas pengajaran mereka. Tidak hanya terjadi di sekolah, bahkan pada perguruan tinggi sekalipun praktik ini terjadi.

Pendekatan Baru

Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah perlu melakukan pendekatan baru terhadap tekanan dan standar yang jelas. Pemerintah harus melakukan perbaikan pada standar kompetensi siswa dan dibarengi dengan pengawasan yang intens terhadap standar tersebut. Sehingga siswa lebih termotivasi, karena konsekuensi yang mereka harus tanggung jika tidak mencapai kompetensi itu. Pemerintah juga harus mempertimbangkan dan mengubah tekanan terhadap guru yang sifatnya administratif dan kewajiban birokrasi yang berat. Selain itu, untuk menerapkan tekanan yang sesuai, harus dilakukan penelitian yang sesuai dengan kondisi dan fasilitas yang kita miliki, dan melihat dari sudut pandang yang berbeda, sehingga dapat diambil kebijakan berdasarkan penelitian tersebut.

Selain daripada manfaat yang dapat diperoleh, tekanan justru dapat menjadi pedang bermata dua jika tidak dengan pengelolaan yang matang. Tekanan yang tidak terkelola dengan baik sering kali menghasilkan dampak negatif.

Tidak dapat dipungkiri lagi, bahwa mental peserta didik kita sangat lemah karena telah terbiasa belajar tanpa tekanan. Dengan situasi yang seperti ini, sangat berisiko dan dapat berdampak buruk jika diberikan tekanan yang terlalu tinggi. Tekanan yang tidak sesuai ini akan mengakibatkan kehilangan motivasi belajar pada peserta didik. Tekanan yang tidak sesuai akan menyebabkan depresi dan kecemasan yang cukup tinggi pada siswa.  Hal ini dapat berakibat buruk pada kesehatan mental, dan pada akhirnya juga memengaruhi pendidikan mereka.

Masalah ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan bagi pemerintahan yang baru. Kurikulum yang sedikit berubah bukan menjadi masalah ketika terdapat masalah pada kurikulum sebelumnya. Sehingga kualitas pendidikan kita dapat menjadi lebih baik lagi. Pemerintah tidak hanya harus menerapkan tekanan itu, tetapi juga mempertimbangkan tekanan yang sesuai. Sehingga kita dapat memperoleh manfaatnya tanpa harus mendapatkan mudaratnya.

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain Mahasiswa Bersuara

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//